Menuju konten utama

Foya-Foya Dana Otsus Aceh ala Elite Eks-GAM

Diduga menerima suap tapi masih mendapat simpati, Irwandi punya segudang kebijakan populis untuk mengambil hati rakyat.

Foya-Foya Dana Otsus Aceh ala Elite Eks-GAM
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menunjukkan surat perpanjangan masa tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (20/7/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

tirto.id - Aceh mendapat kejutan. Sang Gubernur Irwandi Yusuf, eks-propagandis Gerakan Aceh Merdeka, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan suap dalam proyek yang bersumber dari dana otonomi khusus Aceh tahun anggaran 2018 dan melibatkan Bupati Bener Meriah Ahmadi pada awal Juli lalu.

Senin pekan berikutnya, 9 Juli, sekelompok orang yang menamakan Koalisi Masyarakat Aceh Bersatu menggelar aksi protes di depan Masjid Raya Baiturrahman, menuntut agar Irwandi dibebaskan.

Aksi ini berlanjut seminggu setelahnya. Lokasi acara beralih ke gubernuran di Jalan Teuku Nyak Arief, Banda Aceh. Tuntutannya masih sama. Kali ini massa bertahan lebih lama hingga lepas isya. Tak hanya dari Banda Aceh, massa berasal dari sejumlah kabupaten atau kota seperti Pidie, Meulaboh, dan Lhokseumawe.

"Kami tidak akan pulang sebelum Irwandi dibebaskan!”

Massa bahkan mengancam akan menghentikan roda pemerintahan Aceh jika tuntutan mereka tak dikabulkan.

Irwandi diduga menerima suap Rp500 juta, bagian dari 8 persen uang pelicin dari total pemberian Rp1,5 miliar. Meski diduga menerima suap begitu, Irwandi tetap dibela sedemikian rupa. Mengapa?

Bagi Ida, warga Pidie, Irwandi adalah sosok pemimpin yang peduli pada rakyat. Ia tak percaya begitu saja jika gubernur pilihannya itu melakukan praktik suap. Sejumlah kebijakannya dinilai pro rakyat seperti Jaminan Kesehatan Aceh (JKA, sekarang JKRA), program beasiswa pendidikan ke dalam maupun luar negeri, hingga santunan terhadap janda dan anak yatim.

“Saya tiap bulan dapat santunan itu,” kata Ida, semangat.

Maryono, salah satu pendemo, merasakan manfaat JKA, “Enak sama Pak Irwandi. Tiap sakit bisa langsung berobat. Enggak pakai bayar."

“Saya tiap bulan berobat gratis. Tiap enggak enak badan, ya periksa. Tinggal bawa KTP dan kartu keluarga,” timpal Ida.

“Ada juga beasiswa, bisa ke luar negeri,” sahut Nila, warga Meulaboh.

Kendati ada indikasi suap yang melibatkan nama Irwandi, hal itu tak lantas membuat warga turun simpati.

“Ya kalau korupsi di sini banyak. Hampir semua. Tapi Pak Irwandi itu yang paling kelihatan kerjanya. Jadi enggak apa-apalah,” ujar Lydia, warga Banda Aceh.

Kebijakan Populis Bikin Kantong Anggaran Miris

“Ingat JKA, Ingat Bang Wandi!”

Begitu slogan yang dipakai Irwandi saat kampanye Pilkada 2017. Jaminan Kesehatan Aceh memang program unggulan Irwandi sejak mencalonkan diri pertama kali sebagai gubernur pada 2007. Program ini berhasil mendulang simpati rakyat saat awal penerapan pada 2010.

Melihat keberhasilan program itu, gubernur terpilih selanjutnya Zaini Abdullah, mantan menteri luar negeri GAM, mengadaptasinya dan mengubahnya menjadi Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA). Kendati berganti pemimpin, program populis ini dilanjutkan hingga sekarang. Sumber pendanaannya? Dari alokasi dana otonomi khusus Aceh.

Salah satu amanat Nota Kesepahaman Helsinki 2005 adalah dana otonomi khusus harus dialokasikan untuk peningkatan kesehatan. Selama ada dana otsus, JKA menyedot cukup banyak anggaran.

Pada 2010, JKRA menyedot 15 persen dana otsus (sekitar Rp241 miliar), 9,5 persen pada 2011 (Rp208 miliar), 15 persen dengan besaran yang lebih tinggi yaitu Rp420 miliar, hingga per September 2017 mencapai Rp773 miliar. Sejak 2008 hingga sekarang, total sekitar Rp66,5 triliun dana otsus yang sudah digelontorkan pemerintah Indonesia untuk Aceh.

Kendati program jaminan kesehatan diminati warga, nyatanya Badan Pemeriksa Keuangan punya pendapat lain. Dalam laporan audit BPK tahun 2015-2016, atau saat Zaini Abdullah menjabat, BPK menilai ada pemborosan dalam pengelolaan dana JKRA sebesar Rp63 miliar.

Pertama, data awal peserta JKRA sebanyak lebih dari 2 juta jiwa belum divalidasi. Lalu pada 2016, data peserta yang divalidasi baru mencapai 634 ribu jiwa. Pemerintah Aceh juga tetap membayarkan premi sebesar Rp63,4 miliar atas 460 ribu NIK yang tidak valid.

Sementara pada era Irwandi, penggunaan dana JKA bergerak liar. Hampir semua warga dapat mengakses baik kaya maupun miskin. Hal ini kemudian dimanfaatkan banyak orang, terutama dari perbatasan Medan yang membuat KTP di Aceh demi mendapatkan pengobatan gratis.

Saat ini JKRA mendapat subsidi dana dari BPJS Kesehatan. Idealnya, pelayanan seharusnya menjadi lebih baik ketimbang daerah lain. “Tapi nyatanya sama saja,” keluh Fahmi, warga Banda Aceh.

Infografik HL Indepth Aceh

Beasiswa Tak Tepat Sasaran

Kebijakan populis lain Irwandi Yusuf adalah pemberian dana beasiswa pendidikan dalam maupun luar negeri. Sayangnya, dana program itu dikebiri para elite pemerintahan Aceh. Kasusnya saat ini tengah ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh tapi nyaris tak ada perkembangan.

Selain dikorup, program beasiswa ini dinilai tak tepat sasaran. Dalam laporan yang disusun Inspektorat Aceh pada Mei 2018, dana beasiswa itu tak sepenuhnya digunakan untuk membiayai studi. Banyak di antara mereka yang menggunakan dana beasiswa untuk membayar kredit motor, membeli kamera, membeli lahan kebun baru, dan sebagainya. Pendeknya, menyimpang dari tujuan awal pemberian beasiswa. Selain itu, mahasiswa penerima diketahui berasal dari banyak keluarga mampu atau mereka telah menerima beasiswa dari penyelenggara lain.

Lagi pula, pemberian beasiswa ini tak memutus mata rantai angka pengangguran di Aceh.

Dari data Mata Garuda Aceh, banyak alumnus beasiswa Lembaga Pengembangan Sumber Daya Masyarakat yang kembali dari studi menjadi pengangguran lantaran minim lapangan kerja di Aceh yang sesuai disiplin ilmu yang mereka ambil.

Komoditas politis Irwandi lain adalah santunan terhadap janda dan beasiswa anak yatim. Pos ini menyedot alokasi dana otsus yang cukup besar, dari 4-9 persen. Kendati demikian, angka kemiskinan Aceh tak juga menurun.

Pada Juli 2018, Badan Pusat Statistik Aceh merilis angka baru kemiskinan di provinsi Serambi Mekkah. Hasilnya, ada kenaikan 10 ribu warga miskin dari 829 ribu pada 2017 menjadi 839 ribu jiwa.

Kendati amanat Nota Kesepahaman Helsinki memfokuskan peningkatan kesehatan dan pendidikan masyarakat Aceh, tapi pemerintah Aceh terkesan tak punya ide apa pun untuk membangun daerah selain dari segi fisik.

Jalan dibangun tapi lengang, pasar dibangun tapi disfungsional, menggratiskan biaya pengobatan tapi alpa dalam pencegahan penyakit.

Alokasi dana yang begitu besar untuk biaya konsumsi seperti Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh dan beasiswa seharusnya dapat dialokasikan untuk pos anggaran lain yang dapat meningkatkan pendapatan daerah demi bersiap untuk 2027, tahun ketika dana otsus Aceh dihentikan pemerintah Indonesia.

“Misalnya di sektor pertanian. Karena Aceh punya potensi besar di situ. Ekonomi itu soal alokasi yang tepat,” ujar Rustam Effendi, dosen ekonomi dari Universitas Syiah Kuala.

Masyarakat Aceh punya banyak luka akibat konflik berkepanjangan dan tsunami. Butuh waktu untuk pulih seutuhnya dan bangkit menjadi daerah mandiri serta maju dengan segala potensinya. Sayangnya, bantuan berupa dana otonomi khusus tak digunakan Aceh sebagai alat pancing, tapi justru untuk terus menerus membeli ikan sebanyak-banyaknya.

Rustam mencontohkan program JKRA yang menggembosi dana otsus, "Rumah Sakit itu kita sakit cuma butuh obat 2 macam, tapi dikasih 8 macam. Puskesmas tidak mau terima sakit ringan. Dirujuk ke RS biar dia dapat bagian juga. Semua soal proyek."

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI DANA OTSUS atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam