tirto.id - Singa Atjeh menceritakan kisah hidup seorang sultan yang dianggap paling sukses memimpin Aceh dalam periode kerajaan: Sultan Iskandar Muda. Ditulis oleh H.M. Zainuddin, buku ini membahas banyak aspek dari kehidupan sang sultan, termasuk bagaimana ia menggempur Portugis di Malaka.
Meski akhirnya kalah, kisah heroiknya terus diingat oleh rakyat Aceh. Ia menjadi inspirasi, termasuk bagi Irwandi Yusuf—kini menjabat Gubernur Aceh. Isi buku tersebut begitu melekat di kepalanya. Dalam wawancara dengan Tempo pada 2006 lalu, ia bahkan mengatakan kalau kisah yang diabadikan dalam buku itulah yang membuatnya memutuskan bergabung ke Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Mungkin karena itu, saya kemudian masuk GAM," kenang Irwandi.
Irwandi Yusuf lahir di Bireun, 2 Agustus 1960. Ia jadi satu dari sekian banyak remaja Aceh yang jadi saksi terbentuknya GAM. Tepat pada 4 Desember 1976, atau ketika Irwandi berusia 16 tahun, Hasan Tiro mendeklarasikan diri melawan pemerintah Indonesia di Perbukikan Halinon, Pidie. Hasan Tiro dan kelompoknya menganggap Indonesia adalah penjajah.
Katanya: "penyerahan kedaulatan tanah nenek moyang secara ilegal dari Belanda selaku kolonialis lama kepada Jawa sebagai kolonialis baru."
"Pemberontakan" ini terjadi ketika Orde Baru sedang kuat-kuatnya. Suharto sedang fokus menyelenggarakan pembangunan ekonomi dengan doktrin stabilitas politik. Tentu gerakan Hasan Tiro jadi kerikil, sehingga pemerintah pusat mengambil langkah keras. Darmansjah Djumala, dalam Soft Power untuk Aceh,mencatat ketika GAM masih berupa kelompok kecil dengan anggota puluhan orang, Suharto tak segan melancarkan operasi militer.
Banyak anggota GAM yang tewas dalam operasi tersebut. Sisanya, "tercerai berai ke berbagai tempat dan mulai melakukan gerakan bawah tanah." (hlm 33).
Kepala Intelijen dan Juru Runding
Irwandi masuk GAM pada tahun ketika Suharto lengser. Suami Darwati A. Gani ini memilih masuk dalam gerakan pro-kemerdekaan, alih-alih fokus pada bidang ilmunya: dokter hewan lulusan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dan master di College of Veterinary Medicine State University, Oregon, Amerika Serikat. Oleh kawan-kawannya, ia dipercaya sebagai staf khusus komando pusat tentara GAM dari 1998 hingga 2001. Ia juga menjabat sebagai kepala intelijen GAM.
Dalam catatan Justin V. Hastings, sebagai kepala intelijen tugas Irwandi adalah mengabarkan apa-apa saja yang terjadi di tanah kelahirannya ke dunia luar, termasuk mengorganisir akses untuk para jurnalis—baik lokal maupun internasional—selama memungkinkan. Bagaimana caranya agar tak terdeteksi pemerintah Indonesia? Ia rutin mengganti kartu SIM ponselnya. Namun, itu tetap gagal membuat Irwandi bebas selamanya. Pada hari kelima menginjakkan kaki di Jakarta, Irwandi tertangkap aparat.
Ia ditangkap bukan sebagai orang yang punya posisi penting di Aceh, tapi hanya orang yang ketahuan menyebarkan informasi soal apa yang terjadi di sana.
Di kantor polisi, Irwandi cukup kooperatif, setidaknya ia menjawab dengan baik semua pertanyaan aparat. Namun, ia cukup cerdas. Informasi yang diberinya tidak akurat, dan aparat percaya-percaya saja dengan itu dan pengakuannya sebagai orang Aceh biasa yang diupah GAM untuk menjadi penerjemah jurnalis Amerika. Irwandi pun diizinkan tinggal di "kantor yang lumayan mewah."
Sehari di kantor polisi, Irwandi dijenguk adiknya yang memang tinggal di Jakarta. Pada penjengukan kedua, adiknya itu memberikannya telepon seluler. Dimungkinkan dengan tak ada lagi pemeriksaan, "Irwandi melanjutkan berkoordinasi dengan jaringan intelijen dari dalam sel penjara." (hlm 133)
Meski bisa bekerja di "sarang musuh", Irwandi tetap tak bisa lepas dari jerat hukum. Ia kemudian divonis sembilan tahun penjara karena kasus makar dan dikerangkeng di Penjara Keudah, Banda Aceh.
Ketika Aceh diterjang Tsunami, Irwandi bisa lolos dari penjara. Hanya satu tahun ia mendekam di sana. Ke mana dia setelah lolos? Swedia. Ia bisa melewati semua penjagaan karena tiba-tiba semuanya melonggar pasca-tsunami. Bayangkan saja, Irwandi hanya melewati tiga checkpoints ketika lari ke Medan lewat jalur darat. Padahal, biasanya ada 10 pos pemeriksaan.
Masih menurut buku No Man's Land: Globalization, Territory, and Clandestine Groups in Southeast Asia (hlm 134), Irwandi langsung terbang ke Jakarta lewat Medan. Ia melanjutkan perjalanan ke Batam dengan pesawat, lalu menaiki kapal feri ke Johor, Malaysia. Irwandi terbang ke Swedia dari Kuala Lumpur. Pelarian ini ia lakukan satu bulan, dari Desember 2004 sampai Januari 2005.
Menjadi pelarian tak membuatnya berhenti beraktivitas sebagai pejuang GAM, apalagi kapok. Ia ditugaskan petinggi GAM yang ada di Swedia sebagai koordinator juru runding GAM. Tentu saja, Irwandi menerimanya dengan senang hati.
Kita semua tahu ujung dari ini semua: tsunami mempercepat semuanya hingga Indonesia dan GAM berdamai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Segera setelah itu, Irwandi didapuk menjadi senior perwakilan GAM untuk Misi Pemantau Aceh (Aceh Monitoring Mission/AMM), lembaga ad hoc yang bertugas untuk memonitor implementasi dari komitmen dalam perjanjian perdamaian.
Dua tahun kemudian, Irwandi menjadi Gubernur Aceh untuk periode lima tahun. Tahun lalu, ia kembali terpilih untuk jabatan yang sama.
Kini, Irwandi harus menghadapi persoalan hukum. Ia menjalani pemeriksaan bukan karena pasal subversif atau masalah politik, melainkan soal commitmentfee yang sedang didalami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Editor: Maulida Sri Handayani