Menuju konten utama

Arti "Mikul Duwur Mendem Jero" & Kaitan dengan Soeharto

Arti "Mikul Duwur Mendem Jero" dalam filosofi Jawa. Apa kaitan dengan Soeharto hingga sikapnya terhadap Soekarno?

Arti
Presiden Indonesia Soeharto melambaikan tangan saat kedatangannya di Bandara Internasional Ninoy Aquino di Manila, Minggu 24 November 1996. Suharto bergabung dengan 17 pemimpin lainnya dalam KTT perdagangan Lingkar Pasifik. AP / Richard Vogel

tirto.id - Arti "Mikul Duwur Mendem Jero" menjadi perhatian publik dan dikait-kaitkan dengan nama Soeharto. Ada apa dan apa kaitannya?

Jagat maya saat ini diramaikan dengan kalimat "Mikul Duwur Mendem Jero". Gabungan kata berbahasa Jawa itu banyak dituliskan netizen di media sosial. Salah satunya via X atau dulu dikenal sebagai Twitter.

"Belajar mikul duwur mendem jero, agar kita tak hanya bangga pada asal-usul, tapi juga menjaga kehormatan leluhur. Mikul Duwur Mendem Jero," tulis seorang pengguna X dengan nama akun @gevariel64618.

Jika berdasarkan penelusuran di media sosial X, kata "Mikul Duwur Mendem Jero" dikait-kaitkan dengan terpilihnya Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2025.

Mereka seolah tidak ingin melupakan jasa Soeharto pada zaman dulu hingga dinilai perlu untuk dihargai.

"Belajar dari pepatah Jawa Mikul Duwur Mendem Jero — menghormati jasa dan menutupi aib mereka yang telah berjasa. Sebuah nilai luhur yang menegaskan pentingnya adab dalam berbangsa," tulis @ulum_anisatul.

Seorang pengguna lain juga turut menuliskan bahwa bangsa yang besar katanya adalah bangsa yang tahu cara berterimakasih kepada para pemimpin dan pahlawannya.

Arti dan Filosofi "Mikul Duwur Mendem Jero"

Kalimat "Mikul Duwur Mendem Jero" termasuk sebuah petuah dalam adat Jawa. Tak salah bila hal ini dikait-kaitkan dengan Soeharto.

Alasannya, menurut Probosutedjo, adik tiri Soeharto, petuah itu merupakan prinsip yang dipegang Soeharto dalam menjalankan filsafat kehidupan.

"Orang yang mengaku-ngaku reformis itu, kurang memahami sejarah bangsa Indonesia," ujar Probosutedjo, mengutip pernyataan Soeharto, sebagaimana diwartakan Antaranews, 24 Januari 2008.

Hal ini menjawab ketika banyak orang yang disebut mengaku-ngaku sebagai reformis, tetapi ternyata seorang oportunis hingga melupakan sejarah.

"Serangan Umum 1 Maret 1948 merupakan bagian sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Ketika itu Soeharto masih berpangkat Letnan Kolonel, tetapi sudah berani menjalankan perintah penguasa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX," tambah Probosutedjo.

Soeharto peroleh gelar pahlawan nasional

Pengunjung mengamati koleksi yang dipajang di Museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto, Sedayu, Bantul, D.I Yogyakarta, Senin (10/11/2025). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/nz

Sementara mengutip isi pidato dalam sebuah pengukuhan Guru Besar berjudul “Konsep Edukasi Mikul Duwur Mendem Jero dalam Perspektif Ilmu Pendidikan Islam (Kajian Fundamental Structure dalam Kearifan Lokal Masyarakat Jawa)” di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan (UIN Gus Dur), ungkapan "Mikul Duwur Mendem Jero" memiliki makna tersendiri.

"Mikul Duwur Mendem Jero" memiliki arti filosofis. Ini mengacu pada pemahaman bahwa pembelajaran sejati dimulai dari pemahaman diri (mendem jero) dan mencapai puncaknya dengan mencari pengetahuan yang lebih tinggi (mikul duwur).

Dalam budaya Jawa, "Mikul Duwur Mendem Jero" termasuk menjadi wajah etika sosial. Maknanya menjunjung tinggi kehormatan keluarga, harga diri, pengguatan jati diri seseorang, hingga menggambarkan rasa hormat kepada orang lain.

Contoh penerapan etika adalah seperti anak kepada orang tua, cucu kepada kakek dan nenek, hingga seorang murid kepada guru.

Menurut laman Islamic Center Kaltim, "Mikul Duwur Mendem Jero" secara harfiah bermakna sebagai mengangkat tinggi-tinggi dan mengubur dalam-dalam.

"Mikul Duwur" adalah lambing kewajiban anak dalam menjunjung tinggi nama baik orang tua dan keluarga.

Di antaranya mencakup penghormatan, menjaga citra, dan melanjutkan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh generasi sebelumnya.

Sementara "Mendem Jero" adalah mengubur dalam-dalam kesalahan atau aib orang tua dan keluarga.

Filosofi yang sama tidak bermaksud mengajarkan untuk menutupi kesalahan, tetapi menahan diri atas perbuatan mengumbar keburukan orang tua dan keluarga kepada orang lain. Alasannya adalah menjaga keharmonisan dan kehormatan.

Header sisi gelap ekonomi Sukarno Soeharto

Header sisi gelap ekonomi Sukarno-Soeharto. tirto.id/Quita

Bagaimana Sikap Soeharto Terhadap Soekarno?

Konsep "Mikul Duwur Mendem Jero", sebagaimana dituliskan Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung, juga bisa dimaknai sebagai berikut:

"Mikul Duwur" adalah mengangkat tinggi harkat, martabat, dan nama baik leluhur atau orang tua.

Artinya adalah menghormati, menjaga, memuliakan nama baik, dan kebaikan yang telah diwariskan. Semisal usaha menjaga nama baik keluarga dengan berperilaku baik dan berprestasi.

Sedangkan "Mendem Jero" ialah mengubur dalam-dalam segala aib, kesalahan, atau kekurangan dari leluhur atau orang tua.

Kemudian tidak mengungkapkan atau menyebarluaskan hal-hal negatif atau perbuatan memalukan yang bisa jadi pernah dilakukan. Tujuannya adalah menunjukkan rasa hormat dan menjaga kehormatan keluarga.

Kendati demikian, "Mikul Duwur Mendem Jero" katanya pernah disalahartikan oleh Soeharto terhadap Soekarno. Tindakan Soeharto dinilai tidak sesuai dengan prinsip tersebut selama menjalani masa transisi kekuasaan.

Masih berdasarkan sumber yang sama, Soekarno justru ditempatkan dalam tahanan rumah ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan di Indonesia mulai 1967.

Jika menurut konsep “Mikul Duwur”, Soekarno seharusnya dihormati dan dimuliakan sebagai seorang pendahulu. Akan tetapi, Soekarno malah dibatasi secara fisik dan sosial dari lingkungan hingga keluarga.

"Pembersihan sejarah pada masa orde baru, banyak upaya dilakukan untuk menggambarkan Soekarno dalam cahaya negatif. Ini bertentangan dengan prinsip “mendem jero”, yang mengharuskan menutupi atau setidaknya tidak mengungkapkan aib pendahulu secara terbuka," tulisnya.

Tindakan Soeharto terhadap pendahulunya kala itu dinilai menunjukkan penyimpangan dari konsep “Mikul Duwur Mendem Jero”. Soeharto dianggap tidak hanya gagal menghormati dan memuliakan Soekarno. Namun juga dinilai mengurangi pengaruh dan warisan pendahulunya, Soekarno.

Baca juga artikel terkait PAHLAWAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Beni Jo

tirto.id - Edusains
Penulis: Beni Jo
Editor: Iswara N Raditya