Menuju konten utama

Arab Saudi Punya Mega-Proyek NEOM, Tapi Harus Izin Israel Dulu

Mega-proyek baru Saudi: kota metropolis ramah investasi yang membentang hingga ke Yordania dan Mesir. Masalahnya, proyek ini melintasi teritori Israel.

Arab Saudi Punya Mega-Proyek NEOM, Tapi Harus Izin Israel Dulu
Proses pembangunan mega proyek King Abdullah Financial District di Riyadh, Arab Saudi. REUTERS/Faisal Al Nasser

tirto.id - Garis pantai sepanjang lebih dari 468 kilometer membentang dari Teluk Aqaba hingga ke Laut Merah sebelah selatan dan barat. Angin tak henti-hentinya bertiup dari samudera menuju daratan, dan sebaliknya, membuat cuacanya senantiasa sedang. Lanskap tersebut menarik perhatian Pangeran Arab Saudi, Muhammad bin Salman, yang pada Selasa (24/10/2017) mengumumkan sebuah proyek raksasa yang akan mengubah teritori Arab Saudi dan Yordania tersebut menjadi kawasan metropolis bernama NEOM.

NEOM akan mengubah gurun gersang seluas 26.500 km persegi menjadi peradaban urban modern yang membentang hingga ke Mesir. Megaproyek ambisius ini digadang-gadang sebagai investasi swasta pertama yang menjangkau tiga negara. Saat sudah selesai nanti, NEOM akan bertindak sebagai juru hubung investasi global yang datang dari Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika, demikian menurut rilis pers yang diterima Al Arabiya.

Ada banyak fakta menarik tentang NEOM. Proyek ini didukung oleh dana yang juga berjumlah fantastis: $500 miliar. Duit ini berasal dari kantong Kerajaan Arab Saudi, Dana Investasi Publik Arab Saudi, dan beberapa investor lokal serta internasional. Fokus investasinya meliputi sembilan bidang, yakni energi, air, transportasi, bioteknologi, makanan, ilmu-teknologi digital, manufaktur, media, dan hiburan. Aksesibilitasnya yang berkualitas baik membuat 70 persen populasi dunia diklaim dapat mencapai NEOM dalam waktu (maksimal) delapan jam saja.

Sang Pangeran tak ketinggalan untuk menanggalkan pernyataan yang dibungkus dengan optimisme maksimal kepada awak media. Bahwa "NEOM bercita-cita menjadi tempat yang paling aman, paling efisien, paling berorientasi masa depan, dan terbaik untuk tinggal dan bekerja."

Ada yang memperkirakan bahwa megaproyek tersebut akan selesai tahap pertamanya pada 2025, dan akan rampung sepenuhnya pada 2030. Namun, Pangeran Muhammad tak menargetkan kapan proyek NEOM akan selesai. “Ini adalah tantangan. Kami memahami bahwa (pembangunan proyek) ini butuh waktu... Kami di tengah tekanan untuk menghadirkan sesuatu yang baru dan untuk memberikan ide yang inovatif.” katanya sebagaimana dikutip CNN.

Dalam hitung-hitungan bisnis, NEOM terdengar menjanjikan—miliarder asal Inggris Richard Branson pun turut meliriknya. Namun di ranah politik, tantangan Arab Saudi muncul pada pembangunan jembatan penyeberangan lintas Laut Merah. Di titik ini, Saudi mesti mengantongi izin dan kerja sama dari Israel selaku negara yang juga memiliki sebagian teritorinya di Laut Merah berdasarkan Perjanjian Damai Mesir-Israel tahun 1979.

Ada Masa Lalu di Antara Dunia Arab dan Israel

Perjanjian damai antara Mesir dan Israel ditandatangani beberapa belas bulan setelah Anwar Sadat, presiden Mesir, mengunjungi Israel di tahun 1977 usai berakhirnya Perang Yom Kippur antara keduanya (plus Suriah). Wilayah Laut Merah terutama di sekitar Teluk Aqaba dan Selat Tiran adalah perairan di mana Mesir, Israel, dan Arab Saudi bertemu. Jembatan penghubung yang masuk dalam bagian proyek NEOM akan melewati Selat Tiran, sehingga peran Israel amat krusial di sini mengingat ketiga negara punya masa lalu yang menegangkan.

Yoram Meital selaku Ketua Chaim Herzig Center untuk Kajian Timur Tengah dan Diplomasi di Universitas Ben-Gurion, Israel, berkata pada Bloomberg bahwa tidak ada jalan yang bisa mewujudkan pembangunan jembatan tersebut kecuali ada pembicaraan secara rinci antara kedua negara. “Harus ada 'saluran belakang' dalam pembicaraan tersebut,” katanya.

Baca juga: Sang Raja Menjajakan Saham Minyak

Banyak yang percaya bahwa Arab Saudi adalah kunci untuk mendamaikan Israel dan Palestina. Israel berharap hal tersebut bisa terwujud sebab kerja sama dengan Saudi tergolong sebagai investasi masa depan yang baik. Teluk Aqaba, yang menjadi teritori Israel, dipandang oleh para pemimpin negara Zionis tersebut sebagai patokan menuju investasi ekonomi yang kokoh dengan Yordania Arab Saudi, dan juga Mesir.

Pulau Tiran dan Sanafir adalah dua pulau kecil yang berada di Selat Tiran. Pulau tersebut diklaim masuk teritori Mesir, namun beberapa tahun belakangan Arab Saudi juga mengklaimnya. Mesir yang melunak mau untuk menyerahkan kedua pulau kepada Saudi, namun prosesnya masih panjang dan belum selesai hingga kini. Proyek NEOM diperkirakan akan memunculkan sejumlah syarat baru. Di antaranya adalah penyelesaian penyerahan kedua pulau dan konsensus ekonomi akan makin merekatkan hubungan kedua negara.

Pembicaraan Jalan Belakang

Terkait izin yang mesti Saudi dapatkan dari Israel, sejumlah pengamat mengatakan hal tersebut bisa diperoleh, dengan catatan prosesnya barangkali tak akan blak-blakan. Sebagaimana prediksi Meital, melalui jalan belakang.

Simon Henderson, direktur Program Kebijakan Teluk dan Energi di Washington Institute for Near East Policy menambahkan bahwa diperkirakan akan ada campur tangan Amerika Serikat, namun yang jelas Israel akan tetap senang dengan proyek NEOM asal tak ada perubahan status quo atas wilayah yang dilewati jembatan penghubung.

Meski di permukaan hubungan antara Israel dan Arab Saudi terkesan dingin akibat situasi politik di kawasan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu beberapa kali menyebutkan bahwa hubungan dengan negara-negara Arab Sunni sedang baik-baiknya.

Hubungan ini tak bisa dirinci oleh Netanyahu sendiri sebab negara-negara yang disinggungnya sesungguhnya tak punya ikatan formal dengan Israel. Artinya, yang disinggung Netanyahu bisa diinterpretasikan ada hubungan bawah tanah yang bersifat ekonomi antara Israel dan negara-negara Arab Sunni.

Baca juga: Tebar Janji Investasi Arab Saudi

Pernyataan Netanyahu dibantah oleh Pangeran Turki al-Faisal. Mantan kepala badan intelijen dan duta besar Arab Saudi untuk AS itu baru-baru ini mengatakan bahwa apa yang disampaikan Netanyahu tergolong dilebih-lebihkan. Ia pun menolak kabar tentang pembicaraan bawah tanah antara kedua negara.

Secara politik, Arab Saudi dan Israel sesungguhnya punya musuh bersama: Iran. Namun alih-alih menonjolkan kerja sama bidang politik, keduanya justru menguatkan hubungan ekonomi. Dalam catatan Bloomberg, seorang pebisnis eksekutif Israel mengatakan bisnis kedua negara berkembang terutama di bidang keamanan dunia maya, peralatan untuk pembangunan infrastruktur, dan sarana konservasi air. Katanya banyak kontraktor swasta asal Israel yang berurusan dengan Saudi melalui anak perusahaan AS dan perusahaan asing lain.

Terkait NEOM, Menteri Komunikasi Israel Ayoob Kara berkata pada Bloomberg bahwa semua orang telah mengetahui perihal proyek tersebut, juga tentang peluang bisnisnya. Namun, agar tak merusak optimisme masa depan tersebut, Kara memilih untuk tak membicarakannya secara rinci pada saat ini. Toh proyek NEOM baru diluncurkan baru-baru ini, dan proses mewujudkannya hingga ke bagian teritori Israel masih tergolong lama.

“Kami ingin menemukan formula yang tepat agar bisa berada di atas radar,” pungkasnya.

Apalah Arti Kemajuan Ekonomi Tanpa Perubahan Sosial

Bukan rahasia lagi bahwa Arab Saudi sedang menjajaki platform ekonomi baru agar lepas dari ketergantungan minyak. Pangeran Muhammad, yang menjadi salah satu tumpuan utama dalam visi ini, juga memahami bahwa reformasi sosial di negaranya dibutuhkan untuk menyokong pertumbuhan platform ekonomi baru. Ia pun telah berjanji untuk mengembalikan Saudi ke jalur "Islam moderat" dan meminta dukungan global untuk mewujudkan masyarakat Saudi yang lebih terbuka agar investor juga tertarik datang.

infografik raksasa neom

"Kami adalah negara G20. Salah satu ekonomi dunia terbesar. Kami berada di tengah tiga benua. Mengubah Arab Saudi menjadi sarana yang lebih baik berarti pula membantu kawasan ini dan mengubah dunia,” katanya usai peluncuran NEOM.

Dalam wawancaranya dengan The Guardian, pewaris tahta Saudi itu mengatakan bahwa negara ultrakonservatif itu "tidak normal" selama 30 tahun terakhir. Muhammad juga menyalahkan doktrin kaku yang telah mengatur masyarakat sebagai reaksi atas revolusi Iran. Menurut Muhammad, para pemimpin terdahulu "tidak tahu cara menangani" dampak revolusi Iran.

Baca juga: Jalinan Renggang Ekonomi Indonesia dan Arab Saudi

"Apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir ini bukan Arab Saudi. Apa yang terjadi di wilayah ini dalam 30 tahun terakhir bukanlah Timur Tengah. Setelah revolusi Iran pada tahun 1979, orang ingin menyalin model [negara ultrakonservatif] ini ke berbagai negara, salah satunya Arab Saudi. Kami tidak tahu bagaimana mengatasinya. Dan masalahnya tersebar di seluruh dunia. Sekarang saatnya untuk menyingkirkannya,” katanya menambahkan.

Sebelumnya Pangeran Muhammad telah menyampaikan, "Kami hanya kembali pada apa yang kami ikuti: Islam moderat yang terbuka terhadap dunia dan semua agama. Sebanyak 70 persen orang Saudi berusia di bawah 30 tahun. Sejujurnya kita tidak akan menyia-nyiakan 30 tahun kehidupan kita untuk melawan pemikiran ekstremis, kita akan menghancurkan mereka sekarang dan segera."

Pernyataan putra mahkota Arab Saudi ini merupakan paling tegas yang dia buat selama program reformasi enam bulan. Reformasi Arab Saudi ini berupa reformasi budaya dan dorongan ekonomi untuk mengubah wajah kerajaan yang selama beberapa dekade dituding mempromosikan Islam berbasis ekstremisme dan radikalisme yang telah menyebabkan munculnya aksi terorisme di banyak negara.

Baca juga: Usaha Arab Saudi Menyedot Riyal dari Umrah dan Haji

Gagasan soal reformasi ini telah memecah persekutuan antara ulama garis keras yang telah lama mendefinisikan karakter masyarakat di satu pihak, dan Dinasti Saud yang telah menjalankan urusan negara di pihak lain. Perubahan di Arab Saudi telah berdampak pada perubahan sosial, misalnya dihapuskannya larangan mengemudi wanita yang baru-baru ini serta peninjauan ulang atas undang-undang perwalian yang membatasi peran perempuan.

Pangeran Muhammad berulang kali menegaskan bahwa tanpa membuat kontrak sosial baru antara warga negara dan negara, rehabilitasi ekonomi akan gagal. "Transformasi ekonomi itu penting tapi sama pentingnya adalah transformasi sosial. Anda tidak pilih satu saja. Kecepatan transformasi sosial adalah kunci. Itu harus bisa diatur," kata salah satu pengusaha terkemuka di Saudi menyepakati sang pangeran, sebagaimana dikutip The Guardian.

Baca juga artikel terkait ARAB SAUDI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf