Menuju konten utama
Tips Kesehatan

Apa Itu Hemophobia: Gejala, Penyebab dan Pengobatannya

Apa itu hemophobia atau ketakutan melihat darah, gejala, penyebab dan cara mengobatinya.

Apa Itu Hemophobia: Gejala, Penyebab dan Pengobatannya
Ilustrasi. foto/IStockphoto

tirto.id - Hemophobia adalah kondisi di mana seseorang merasa takut melihat darah disertai dengan perasaan cemas yang luar biasa ketika melihat darah, baik darah mereka sendiri, orang lain maupun darah binatang.

Dalam kondisi yang lebih parah, seorang dengan hemophobia bisa pingsan ketika melihat darah.

Menurut Jurnal Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), hemophobia termasuk dalam kategori "fobia spesifik" dengan penentu fobia darah-injeksi-cedera (BII), dan fobia ini dapat berdampak serius pada hidup seseorang, khususnya jika tidak ditangani oleh tim medis.

Gejala Hemophobia

Laman Healthline menuliskan, semua jenis fobia memiliki gejala fisik dan emosional yang serupa. Dengan hemofobia, gejala dapat dipicu dengan melihat darah dalam kehidupan nyata atau di televisi maupun dunia maya.

Beberapa orang mungkin merasakan gejala setelah memikirkan darah atau prosedur medis tertentu, seperti tes darah.

Gejala fisik yang dipicu oleh fobia ini mungkin termasuk:

  • Kesulitan bernapas
  • Detak jantung cepat
  • Sesak atau nyeri di dada
  • Gemetar
  • Pusing
  • Merasa mual saat berada di sekitar darah (misalnya saat kurban atau disuntik)
  • Badan panas atau dingin
  • Berkeringat
Sementara gejala emosional hemophobia mungkin termasuk:

  • Perasaan cemas atau panik yang ekstrem
  • Kebutuhan luar biasa untuk melarikan diri dari situasi di mana ada darah
  • Detasemen dari diri sendiri atau merasa "tidak nyata"
  • Merasa seperti kehilangan kendali
  • Merasa seperti akan mati atau pingsan
  • Merasa tidak berdaya atas ketakutanmu
Hemofobia unik karena juga menghasilkan apa yang disebut respons vasovagal. Respons vasovagal berarti Anda mengalami penurunan detak jantung dan tekanan darah sebagai respons terhadap pemicu, seperti melihat darah.

Ketika ini terjadi, penderitanya mungkin merasa pusing atau pingsan. Sekitar 80 persen orang dengan hemophobia mengalami respons vasovagal, menurut survei dari sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2014. Respons ini tidak umum dengan fobia spesifik lainnya.

Hemofobia pada anak-anak

Anak-anak mengalami gejala fobia dengan cara yang berbeda. Anak-anak dengan hemofobia dapat mengalami gejala berikut ini:

  • Mengamuk
  • Tidak mau lepas dari orang tua
  • Menangis
  • Bersembunyi
  • Menolak untuk meninggalkan pengasuh mereka di sekitar darah atau situasi di mana darah terlihat

Penyebab Hemophobia dan Faktor Risiko

Para peneliti memperkirakan bahwa antara 3 dan 4 persen populasi manusia di dunia mengalami hemophobia atau fobia BII. Fobia spesifik sering pertama kali muncul di masa kanak-kanak, antara usia 10 dan 13 tahun.

Hemofobia juga dapat terjadi dalam kombinasi dengan gangguan psikoneurotik lainnya, seperti agorafobia, fobia hewan, dan gangguan panik.

Penyebab dan faktor risiko tambahannya termasuk:

  • Genetika. Beberapa orang lebih mungkin mengembangkan fobia daripada yang lain. Mungkin ada hubungan genetik, atau Anda mungkin sangat sensitif atau emosional secara alami.
  • Orang tua atau pengasuh yang cemas. Penderitanya mungkin belajar untuk takut akan sesuatu setelah melihat rasa takut terpola. Misalnya, jika seorang anak melihat ibu mereka takut darah, mereka dapat mengembangkan fobia di sekitar darah juga.
  • Orang tua atau pengasuh yang terlalu protektif. Beberapa orang mungkin mengembangkan kecemasan yang lebih umum. Ini mungkin hasil dari berada di lingkungan di mana Anda terlalu bergantung pada orang tua yang terlalu protektif.
  • Trauma. Peristiwa stres atau traumatis dapat menyebabkan fobia. Dengan darah, ini mungkin terkait dengan rawat inap di rumah sakit atau cedera serius yang melibatkan darah. Beberapa trauma lainnya dikutip situs VeryWell Mind, seperti:

    - Dentophobia, atau takut dengan dokter gigi;

    - Iatrophobia, atau takut pada dokter;

    - Gangguan kecemasan penyakit, atau ketakutan akan kondisi kesehatan yang parah;

    - Mysophobia, atau takut kuman;

    - Nosophobia, atau ketakutan akan penyakit tertentu.

Sementara fobia sering dimulai pada masa kanak-kanak, fobia pada anak kecil umumnya berkisar pada hal-hal seperti ketakutan akan kegelapan, orang asing, suara keras, atau menggelegar.

Seiring bertambahnya usia anak-anak, antara usia 7 dan 16 tahaun, maka ketakutan lebih cenderung terfokus pada cedera fisik atau kesehatan. Ini bisa termasuk hemofobia.

Usia rata-rata onset hemofobia adalah 9,3 tahun untuk pria dan 7,5 tahun untuk wanita.

Pengobatan Hemophobia

Hemophobia merespons dengan sangat baik terhadap banyak metode pengobatan. Terapi umumnya merupakan pilihan pengobatan lini pertama, dan obat-obatan juga terbukti membantu.

1. Obat-obatan

Jika fobia Anda parah, obat-obatan seperti antidepresan atau obat anti-kecemasan dapat membantu.

Ini mungkin diresepkan untuk mengendalikan kecemasan dan memungkinkan penderita fokus pada perawatannya, atau mungkin berguna dalam situasi ketika harus menjalani prosedur medis atau menghadapi ketakutan Anda akan darah.

2. Psikoterapi

Salah satu pilihan psikoterapi yang paling umum untuk fobia adalah terapi perilaku kognitif (CBT).

Dalam CBT, menurut sebuah penelitian, penderita belajar untuk mengganti self-talk yang menakutkan dengan respons yang lebih sehat saat melihat darah. Penderitanya juga mempelajari perilaku baru dan strategi mengatasi.

Terapis biasanya mencoba terapi eksposur, di mana penderita hemophobia secara bertahap terpapar pada hal-hal yang memicu rasa takutnya. Dalam terapi pemaparan, terapis akan membantu dan memberikan lingkungan yang aman untuk membantu belajar bagaimana menenangkan diri saat melihat darah.

Bentuk lain dari terapi bicara, hipnosis, dan bahkan perawatan alternatif juga dapat membantu. Terapis yang terampil dapat memandu melalui proses pemulihan, yang mungkin sulit atau tidak mungkin dilakukan sendiri.

Infografik SC Hemophobia

Infografik SC Hemophobia. tirto.id/Fuad

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Yantina Debora