Menuju konten utama

Apa Itu Baju Awul-awul dan Bahaya Pakaian Bekas Bagi Kesehatan

Bahaya thrifting, baju bekas impor atau baju awul-awul bagi kesehatan, apa saja?

Apa Itu Baju Awul-awul dan Bahaya Pakaian Bekas Bagi Kesehatan
Pembeli memilih pakaian bekas yang dijual di Lantai 2 Blok III Pasar Senen pada H-1 Lebaran di Jakarta Pusat, Rabu (12/5/2021). ANTARA/Dewa Wiguna/am

tirto.id - Penjualan baju awul-awul atau lebih dikenal dengan sebutan thrifting pakaian bekas impor, resmi dilarang di Indonesia karena dinilai dapat merugikan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Larangan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permen) Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Pada Pasal 2 Ayat 3 butir d regulasi tersebut tertulis dengan jelas bahwa “barang dilarang impor berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.”

Bisnis thrifting tidak sepenuhnya dilarang di Indonesia asalkan pakaian bekas yang dijual adalah produk dalam negeri, bukan produk impor.

Kesempatan untuk memasarkan pakaian bekas atau baju awul-awul yang dibeli dari dalam negeri dibuka dengan luas. Sehingga, tidak melanggar ketentuan yang berlaku.

Thrifting kalo sesuai koridor hukum, barang-barang bekasnya dibeli di Indonesia bukan berdasarkan barang impor yang sudah dilarang, ini tentunya sangat dibuka kesempatan,” kata Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) dikutip dari Antaranews.

Menjamurnya pemasaran pakaian bekas impor di Indonesia dinilai dapat mengancam tumbuh kembang UMKM dalam negeri.

Kebijakan ini diambil sebagai langkah pengamanan dan perlindungan industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri.

Selain itu, pemerintah juga menyoroti pemasaran pakaian bekas impor rentan bahaya kesehatan yang berkaitan dengan infeksi jamur dan bakteri yang mungkin masih menempel pada pakaian bekas.

Apa Itu Thrifting atau Baju Awul-Awul?

Thrifting adalah istilah baru yang kerap digunakan anak muda untuk merujuk proses berburu dan membeli barang bekas.

Belanja barang bekas bukanlah hal baru, ini sudah ada sejak zaman dahulu. Namun, istilah yang dipakai biasanya adalah belanja awul-awul.

Istilah yang digunakan mungkin berbeda tergantung daerah, misalnya saja di Bengkulu dikenal dengan baju batam, atau di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan monja.

Saat ini, berburu pakaian bekas di thrift shop tengah digandrungi oleh masyarakat. Sebab, selain harga yang dibanderol lebih murah dibandingkan pakaian baru, thrifting juga menjadi ajang berburu pakaian bermerek dengan harga miring namun masih dalam kondisi bagus.

Kemudian, pakaian bekas yang di jual di thrift shop kerap diimpor dari luar negeri, oleh karenanya pakaian tersebut acap memiliki desain yang berbeda dari pakaian dalam negeri.

Keunikan ini menjadi daya tarik bagi pecinta fashion agar bisa tampil beda dan gaya.

ANCAMAN IMPOR PAKAIAN BEKAS DI INDONESIA

Pedagang menata pakaian bekas pakai yang dijualnya di Pasar Senen Blok 3, Jakarta Pusat, Senin (4/7/2022). ANTARA FOTO/Agha Yuninda/wsj.

Selain itu, menurut Riri Rengganis, Vice Executive Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) dalam laman resmi Pemerintah Kota Surakarta menjelaskan bahwa belanja thrifting mempunyai daya tarik sendiri karena menawarkan sensai belanja yang menantang kreatifitas dalam bergaya.

Dilansir Jurnal Ilmiah Mahasiswa Sosiologi, Vol. 1, No. 2, Agustus 2022: 186-195, bagi pecinta trifting, berburu pakaian bekas juga memiliki misi lingkungan yang tak kalah menarik.

Thrifting dinilai merupakan aktivitas kesadaran pemanfaatan limbah pakaian akibat produk fast-fashion.

Bahaya Kesehatan Baju Bekas Menurut Studi

Baju bekas sangat rentan terinfeksi virus, jamur, bakteri, dan tungau. Apabila dipakai tanpa dibersihkan atau dicuci terlebih dahulu sangat berbahaya bagi kesehatan kulit.

Bahkan, bukan tidak mungkin infeksi dapat menjadi penyebab penyakit lainnya.

Sebuah studi oleh Arash Rakhshanpour dkk pada tahun 2021 berjudul Second-Hand Clothe, a New Threat for Acquiring Parasitic Infection menyasar 800 pakaian bekas (400 pakaian bekas yang dicuci dan 400 pakaian bekas yang tidak dicuci) dari 2018-2019 di Teheran, Iran.

Deteksi dilakukan dengan teknik pita transparan menggunakan pita transparan berukuran 2x6 cm.

Sisi perekat swab pita transparan ditempatkan pada pakaian, ditarik dan ditempatkan, sisi perekat menghadap ke bawah, pada slide berlabel.

Slide lalu dikumpulkan dan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Slide dibersihkan menggunakan setetes lacto phenol dan diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 4 dan 10 X.

Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS (Chicago, IL, USA) 14. Uji Chi-Square diterapkan untuk menentukan signifikansi asosiasi untuk prevalensi parasit.

Dari 800 pakaian bekas, 22 (2,7%) positif terkontaminasi parasit dan ektoparasit.

Agen berikut ditentukan pada pakaian yang tidak dicuci Telur Enterobius 10 (1,25%), Pediculus spp. telur 6 (0,75%) dan Sarcoptes scabiei 6 (0,75%) tetapi tidak ada kontaminasi yang teramati pada pakaian cuci yang diperiksa.

Perbedaan yang signifikan adalah antara kontaminasi pakaian bekas dan pakaian bekas yang tidak dicuci (P<0,05).

Tabel 1 menunjukkan tingkat prevalensi kontaminasi pada pakaian bekas yang diperiksa dan tidak dicuci.

Tingkat kontaminasi tertinggi pada pakaian pria dan terendah pada pakaian anak. Sementara, jenis pakaian dengan tingkat kontaminasi tertinggi adalah pakaian berbahan jeans.

Tidak ada agen parasit yang diamati pada pakaian bekas yang dicuci sedangkan tingkat prevalensi parasit yang signifikan ditentukan pada pakaian bekas yang tidak dicuci.

Semua agen yang dikumpulkan memiliki signifikansi yang besar karena penularan serta penggandaannya yang mudah.

Infestasi manusia oleh ektoparasit yang dikumpulkan termasuk Pediculus spp. dan S. scabiei menyebabkan penyakit pedikulosis dan scabies, masing-masing dari pakaian bekas yang tidak dicuci.

Ektoparasit dapat menyebabkan reaksi alergi yang parah, hipersensitivitas, dermatitis, dan infeksi sekunder pada individu yang rentan.

Pakaian yang terkontaminasi Pediculus spp. mungkin tidak hanya mentransfer kutu ke inang tetapi juga penyakit yang ditularkan oleh kutu seperti demam kambuhan yang ditularkan kutu, tifus epidemik, dan demam parit.

Agen lain yang terkumpul adalah S. scabiei, yaitu tungau berkaki delapan yang masuk ke dalam kulit inang dan menyebabkan rasa gatal dan lecet yang hebat. Umumnya terjadi pada populasi yang padat.

Tingkat kontaminasi tertinggi dalam sampel yang diperiksa terkait dengan Enterobius ova. Parasit tersebar di seluruh dunia dan menelan telur adalah penyebab utama penularan.

Kesimpulannya, prevalensi parasit dan ekto-parasit pada pakaian bekas yang tidak dicuci cukup tinggi.

Pakaian bekas dapat menyebarkan penyakit kulit dan rambut terutama pedikulosis dan kudis.

Selain itu, pakaian ini harus dicuci, disetrika, atau disinfektan untuk mengurangi kemungkinan penularan patogen ke manusia.

Baca juga artikel terkait APA atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Balqis Fallahnda