tirto.id - Kasus kekerasan terhadap perempuan cukup banyak ditemukan dalam kehidupan. Laporan yang dirilis Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Jawa Tengah hingga Mei 2022, ditemukan 632 kasus kekerasan. Perempuan dan anak adalah pihak yang rentan mengalaminya karena dianggap lemah.
Kekerasan pada perempuan, termasuk anak, menimbulkan berbagai kerugian pada korban. Berbagai dampak yang muncul setidaknya akan menurunkan kualitas kehidupan mereka. Sayangnya, di sisi lain, banyak para korban masih enggan melapor atas tindak kekerasan yang mereka alami.
Tindak kekerasan tidak hanya terjadi di dalam rumah tangga. Kekerasan perempuan juga ditemukan di fasilitas umum, tempat bekerja, sekolah, dan sebagainya. Upaya edukasi terus-menerus diperlukan untuk meminimalisasi terjadi kekerasan, terutama pada perempuan dan anak.
Apa Saja Bentuk dan Jenis Kekerasan Terhadap Perempuan?
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan jenis. Berikut bentuk kekerasan yang kerap ditemui:
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik dilakukan dengan serangan pada fisik yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit, sampai luka berat pada korban. Kekerasan fisik dilakukan dengan memukul, menampar, menendang, sampai membunuh.
b. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual dilakukan pelaku melalui pemaksaan hubungan seksual dengan ancaman dan intimidasi. Korban dipaksa bersenggama tanpa keinginan sendiri, atau memaksakan keinginan tersebut pada orang lain.
c. Kekerasan psikologis atau psikis
Bentuk kekerasan psikologis antara lain mengintimidasi, menganiaya, dan mengancam. Dampak pada korban seperti mengalami ketakutan, lenyapnya kepercayaan diri, tidak mampu bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau mengalami penderitaan psikis berat.
Contoh kekerasan psikis cukup banyak. Korban diungkinkan mendapat ancaman ditinggalkan atau disiksa, dikurung dalam rumah, ancaman pengambilan hak asuh anak, penghancuran benda-benda pribadi, mengisolasi korban, atau menghina dan melakukan serangan secara verbal.
d. Penelantaran
Penelantaran terjadi karena pelaku melepas tanggung jawab yang seharusnya dilakukannya sebagai akibat adanya hubungan kekeluargaan. Contohnya yaitu tidak mengakui anak hasil hubungan di luar nikah, membuang anggota keluarga karena faktor ekonomi, menelantarkan anak penderita penyakit mental, dan sebagainya.
e. Eksploitasi
Eksploitasi dilakukan pelaku dengan memanfaatkan seseorang sewenang-wenang atau berlebihan demi keuntungan ekonomi. Korban tidak dipertimbangkan mengenai kepatutan, keadilan, sampai kompensasi kesejahteraan. Pelaku hanya punya tujuan memanfaatkan orang lain demi keuntungannya sendiri.
f. Trafficking
Trafficking dimaknai sebagai tindakan yang memiliki unsur perekrutan, pengangkutan antardaerah atau antarnegara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan, dan penampungan sementara hingga penampungan di tempat tujuan pada perempuan dan anak.
Para korban sering mendapatkan kekerasan fisik dalam kejahatan ini. Di dalamnya juga melibatkan aksi penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan, dan pembayaran atas korban.
g. Kekerasan lainnya
Cakupan bentuk kekerasan masih luas yang belum dikategorikan. Contohnya yaitu perundungan yang efeknya dapat dialami korban cukup berat. Perundungan bisa mengakibatkan gangguan fisik, psikis, dan masalah sosial.
Faktor Penyebab Kekerasan pada Perempuan
Kekerasan pada perempuan bisa tersulut karena berbagai hal. Dalam jurnal AKSARA: Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal Volume 8 (September 2022), setidaknya lima alasan ini dapat memicu kekerasan tersebut:
1. Rendahnya kesadaran hukum
Banyaknya kasus kekerasan pada perempuan yang tinggi menunjukkan masih rendahnya kesadaran hukum dari pelaku. Sebaliknya, korban juga enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya karena beragam alasan seperti malu, menganggap air keluarga, diancam, dan sebagainya.
2. Budaya patriarki
Budaya patriarki menempatkan posisi laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan. Budaya ini membuat perilaku kekerasan sampai pelecehan pada perempuan dianggap wajar. Perempuan yang menjadi korban pelecehan kadang turut disalahkan, misalnya berpakaian tidak sopan.
3. Kemiskinan
Keluarga yang berada dalam kemiskinan dan tidak mampu menemukan solusi bersama, rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Kemiskinan turut mempengaruhi kestabilan emosi suami-istri yang memicu percekcokan berujung kekerasan.
4. Perselingkuhan
Perselingkuhan turut menjadi pemicu kekerasan pada perempuan. Pada pasangan yang telah menikah, ada kalanya mereka memasuki pubertas kedua di usia tertentu. Mereka yang tidak bisa menahan diri dari siklus hormonal ini memutuskan selingkuh.
Perselingkuhan membuat sebagian pasangan melakukan kekerasan, baik akibat sakit hati atau melindungi selingkuhannya. Pengelolaan emosi diperlukan untuk meredakan konflik dan mendapatkan solusi bersama. Hanya saja, sebagian suami menggunakan kekerasan untuk membungkam aspirasi dan keluh kesah istrinya akibat perselingkuhan.
5. Pernikahan dini
Pernikahan umumnya dilakukan oleh pasangan dalam masa pubertas sekira usia 10-19 tahun. Dampak pernikahan dini dirasakan pada sisi psikologis, kesehatan, hingga ekonomi terutama bagi perempuan.
Perempuan yang menikah dini mengalami stres, takut, terbebani, hingga malu saat melakukan. Dia juga berisiko mendapatkan kelahiran prematur ketika hamil terlalu muda. Selain itu, pernikahan dini sering disertai belum tercukupinya kebutuhan ekonomi pasangan yang bisa memicu mereka saling cekcok dan berujung terjadi kekerasan.
Dampak Kekerasan yang Terjadi Terhadap Perempuan
Dampak kekerasan pada perempuan paling parah adalah kematian. Kekerasan melukai fisik perempuan. Jika kekerasan terjadi tanpa terkendali oleh pelaku atau dilakukan terus menerus, korban rentan mendapatkan kematian.
Komnas Perempuan menyatakan, masih banyak dampak fatal lain yang dapat muncul dari kekerasan tersebut. Contohnya yaitu upaya bunuh diri karena serangan mental bertubi-tubi pada korban sudah kian parah. Di sisi lain, perempuan juga rentan terkena penyakit HIV/AIDS.
Dampak non-fatal akibat kekerasan pada perempuan di antaranya termasuk gangguan kesehatan fisik, keadaan kronis, ganguan mental, perilaku tidak sehat, sampai masalah dalam kesehatan reproduksi. Dua dampak ini - fatal dan non-fatal - sama-sama membuat perempuan mengalami penurunan kualitas dalam hidup.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Nur Hidayah Perwitasari