tirto.id - Batas waktu pelaksanaan puasa ganti adalah di Syakban, sebelum memasuki Ramadan tahun berikutnya. Lalu, bagaimana jika sudah menginjak pekan terakhir bulan tersebut? Apakah boleh puasa di hari Jumat terakhir Syaban untuk qadha Ramadhan?
Jumat terakhir bulan Syakban 1444 H berdasarkan Kalender Islam 2023 Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) dan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) serta Kalender Islam Global 2023 terbitan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, jatuh pada 17 Maret 2023 mendatang.
Puasa qada pada Jumat terakhir Syakban diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Berikut ini penjelasan terkait hukumnya berdasarkan hadis.
Hukum Puasa di Hari Jumat Terakhir Syaban untuk Qadha Ramadhan
Pada Jumat terakhir bulan Syakban, umat Islam masih diperbolehkan menjalankan puasa qada bagi yang masih berutang tanpa memiliki uzur syar’i. Qada puasa merupakan ibadah wajib yang harus dijalankan bagi umat Islam yang memiliki utang puasa sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah ayat 184.
“[Yaitu] beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan [lalu tidak berpuasa], maka [wajib mengganti] sebanyak hari [yang dia tidak berpuasa itu] pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (QS. Al-Baqarah [2]: 184).
Kendati demikian, apakah puasa qada di Jumat terakhir diperbolehkan, padahal ada dalil hadis dari Abu Hurairah yang melarang sebagai berikut:
“Ketika Syakban sudah melewati separuh bulan, maka janganlah kalian berpuasa,” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah).
Para ulama berbeda pandangan dalam melihat hadis di atas. Syekh Wahbah Al-Zuhaili, seorang ulama asal Suriah, dalam kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu menuliskan sebagai berikut:
“Ulama mazhab Syafi’i mengatakan, puasa setelah nisfu Sya’ban diharamkan karena termasuk hari syak, kecuali ada sebab tertentu, seperti orang yang sudah terbiasa melakukan puasa dahar, puasa daud, puasa senin-kamis, puasa nadzar, puasa qadha’, baik wajib ataupun sunnah, puasa kafarat, dan melakukan puasa setelah nisfu Sya’ban dengan syarat sudah puasa sebelumnya, meskipun satu hari Nisfu Sya’ban.”
Ulama Mazhab Syafi’i melarang pelaksanaan puasa sunah setelah Nisfu Syakban (15 Syakban) apabila tidak terbiasa menunaikannya. Sementara itu, para ulama di luar Mazhab Syafi’i membolehkan pelaksanaan puasa sunah setelah Nisfu Syakban tanpa adanya kebiasaan sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar Al-Asqalani seorang ulama Mesir dalam kitab Fathul Bari sebagai berikut:
“Mayoritas ulama [selain ulama Mazhab Imam Syafi’i] membolehkan puasa sunah setelah Nisfu Syakban.”
Syekh Wahbah Al-Zuhaili, masih dalam kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu, kembali menjelaskan, “Dalil mereka adalah hadis, ‘Apabila telah melewati nisfu Sya’ban janganlah kalian puasa’. Hadis ini tidak digunakan oleh ulama mazhab Hambali dan selainnya karena menurut Imam Ahmad daif.”
Dalam penjelasan di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai pelaksanaan puasa sunah setelah Nisfu Syakban. Namun, mereka sepakat bahwa puasa qada di Jumat terakhir setelah Nisfu Syakban boleh dilaksanakan.
Imam Nawawi, dalam kitab Al-Majmu Syarah Al Muhadzdzab (1996), menyebutkan, “Jika ia mengakhirkan puasa qadha sampai datang Ramadan berikutnya tanpa uzur, ia telah berdosa, dan ia harus berpuasa Ramadan yang datang.”
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin