Menuju konten utama

Anomali DKI Jakarta: Indeks Demokrasi Tinggi Tapi Toleransi Rendah

DKI meraih nilai Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) paling tinggi di antara kota lain, tapi pada saat yang sama tingkat toleransinya justru tergolong rendah.

Anomali DKI Jakarta: Indeks Demokrasi Tinggi Tapi Toleransi Rendah
Umat muslim mengikuti aksi reuni 212 di Bundaran Bank Indonesia, Jakarta, Minggu (2/12/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.

tirto.id - Demokrasi dan toleransi adalah dua nilai yang berkelindan satu sama lain. Semakin tinggi nilai demokrasi ada pada tiap-tiap warga negara, biasanya mereka semakin toleran dalam menyikapi perbedaan.

Denny JA dalam bukunya menyebut "negara yang demokratis—yang ditandai oleh sistem politik yang demokratis, jaminan hak-hak sipil—terbukti warganya lebih toleran dibandingkan dengan negara yang tidak demokratis."

Ia juga menyebut "toleransi warga negara terhadap warga lain yang berbeda latar belakang akan rendah di dalam negara dengan sistem demokrasi yang buruk."

Jika kata "negara" kita ganti jadi "kota", maka Jakarta adalah anomali. Dua penilaian dari dua lembaga menunjukkan DKI Jakarta demokratis, tapi pada saat yang sama juga warganya intoleran terhadap minoritas.

Provinsi DKI Jakarta dinobatkan sebagai kota paling demokratis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini. DKI mendapat nilai Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2017 sebesar 84,73, atau paling tinggi di antara provinsi lain. Nilai ini naik dibanding tahun 2016 yang hanya 70,85.

"Ini menunjukkan adanya kematangan dari masyarakat ibukota dalam berdemokrasi, dan mudah-mudahan ini menjadi modal yang penting untuk kita melakukan konsolidasi demokrasi di seluruh Indonesia," kata Anies di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (13/12/2018) lalu.

Anies mengklaim dampak kematangan berdemokrasi di DKI Jakarta juga terasa sampai ke daerah-daerah lain. Ia pun bertekad menjaga capaian tersebut, dengan cara memenuhi hak-hak dasar masyarakat di ibukota.

Riset IDI berdasarkan pada penilaian terhadap pelaksanaan dan perkembangan tiga aspek: kebebasan sipil, hak-hak demokrasi, dan lembaga demokrasi. Untuk DKI Jakarta sendiri, indeks kebebasan sipil mendapat 87,73 poin dari maksimal 100, indeks hak-hak demokrasi 80,06, dan indeks lembaga demokrasi 87,12.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyebut nilai IDI DKI Jakarta naik lantaran Pemprov DKI menunjukkan perbaikan dalam tiga aspek tersebut.

“Indikatornya karena ada partai politik yang melakukan kaderisasi, lalu birokrasi pemerintahan yang lebih baik, serta demo kasus penistaan agama beberapa waktu lalu sudah tidak terjadi lagi,” ujar Suhariyanto.

Toleransi Rendah

Pencapaian tersebut berbanding terbalik dengan nilai Indeks Kota Toleran (IKT) 2018 yang dirilis Setara Institute baru-baru ini. Dalam hal toleransi, DKI Jakarta justru tergolong kota yang intoleran. DKI berada pada posisi 92 dari 94 kota yang terdaftar, dengan skor 2.880.

Ketua Setara Insitute Hendardi mengatakan rendahnya toleransi di DKI disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya kedudukan DKI Jakarta sebagai kota pusat kekuasaan dan pemerintahan. Faktor lain adalah tingginya dinamika politik di ibukota serta adanya polarisasi politik yang parah di Pilgub DKI 2017 dan jelang Pilpres 2019.

"Belum lagi beberapa reuni [212]. Itu juga berpengaruh," ujar Hendardi.

Menanggapi capaian IDI DKI yang tak sejalan dengan Indeks Kota Toleran (IKT) itu, Direktur Riset Setara Institute Halili mengatakan itu bisa terjadi karena riset BPS menggunakan metode yang berbeda. Selain variabel penelitian yang berbeda, ia yakin penentuan skor untuk indeks tersebut dilakukan berdasarkan pendekatan kuantitatif.

"Riset kami lebih ke substansi toleransi, sementara demokrasi itu prosedur. Kalau dalam teori, itu isinya. Bungkusnya indah, namun belum tentu isinya juga indah," kata Halili kepada reporter Tirto, Kamis (13/12/2018) malam.

Halili tak memungkiri redupnya demo penistaan agama menjadi salah satu faktor peningkatan IDI DKI Jakarta. Namun, menurut dia, dampak peristiwa itu akan berbeda jika ditilik dengan pendekatan kualitatif sebagaimana yang ditempuh Setara Institute.

Perbedaan yang dimaksud Halili adalah dampak psikologis setelah demo berjilid-jilid sepanjang tahun, sehingga walaupun pada tahun berikutnya tidak ada demo, memori psikologis dari tahun sebelumnya masih tetap membekas.

"Kalau dengan skoring hasilnya demikian [sesuai IDI], tapi kalau didalami betul [secara kualitatif], hasilnya akan berbeda," pungkas Halili.

Baca juga artikel terkait DEMOKRASI atau tulisan lainnya dari Abul Muamar

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Damianus Andreas & Alfian Putra Abdi
Penulis: Abul Muamar
Editor: Abul Muamar