Menuju konten utama

Di Balik Kontroversi Indeks Kota Toleran dari SETARA Institute

Gubernur Anies Baswedan meminta instrumen-instrumen penelitian itu dibuka. Kami menanyakannya kepada SETARA.

Di Balik Kontroversi Indeks Kota Toleran dari SETARA Institute
Mural bergambar Gus Dur dan pemuka agama di jalan Juanda, Depok, Jawa Barat, Kamis (22/11/2018). ANTARA FOTO/Kahfie Kamaru/pd.

tirto.id - Dirilisnya Indeks Kota Toleran (IKT) 2018 oleh Setara Institute memercik kontroversi. Ada yang menilai hasil studi itu sepihak dan mempertanyakan keabsahannya. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, misalnya, mengatakan dirinya ingin meninjau lebih dalam riset tersebut. Ia khawatir adanya pengaruh luar terhadap studi tersebut.

Jakarta adalah salah satu dengan indeks terbawah. Sepuluh kota yang masuk dalam daftar papan bawah indeks tersebut secara berurutan adalah Sabang (3.757), Medan (3.710), Makassar (3.637), Bogor (3.533), Depok (3.490), Padang (3.450), Cilegon (3.420), Jakarta (2.880), Banda Aceh (2.830), dan Tanjung Balai (2.817) yang menempati posisi terbawah.

Sementara itu, 10 kota teratas IKT 2018 adalah Singkawang (6.513) yang menempati posisi pertama, disusul Salatiga (6.477), Pematang Siantar (6.477), Manado (6.030), Ambon (5.960), Bekasi (5.890), Kupang (5.857), Tomohon (5.833), Binjai (5.830) dan Surabaya (5.823).

Anies meminta SETARA untuk membuka secara utuh metode yang digunakan pada riset IKT agar dapat memastikan kesahihan studi itu.

Ia juga berencana untuk mengundang sejumlah ahli di bidang statistik dan riset ilmu sosial untuk meninjau instrumen-instrumen yang digunakan dalam studi itu. Anies tak serta-merta menolak hasil studi itu, ia hanya berhati-hati. Jika studi itu terbukti benar, ia mengatakan akan mencari solusi terbaik bagi permasalahan di Jakarta.

“Kalau alat ukurnya benar kebijakan yang dilakukan terapinya benar juga. Tapi kalau alat ukurnya tidak benar nanti langkah kami jadi salah juga,” kata Anies.

Beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh, Sabri Badruddin dan Irwansyah, turut mempertanyakan kesahihan hasil studi tersebut, sembari menambahkan bahwa studi itu tidak mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi di tingkat masyarakat.

SETARA Mengklaim Berhati-hati

Ketika Tirto mencoba untuk mengeksplorasi lebih detail mengenai penjabaran dari penilaian indeks per-kota pada IKT tersebut kepada SETARA, Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan belum dapat memberikannya.

Ia menjelaskan saat ini SETARA masih melakukan proses penyuntingan terakhir pada laporan direktori per kota dari studi indeks tersebut sebelum memasuki proses cetak akhir. Meski demikian, Tigor mengklaim studi tersebut sudah melibatkan sejumlah pihak ketiga dalam proses pembuatannya.

Dalam ringkasan eksekutif IKT yang diterbitkan oleh SETARA, mereka memang mengakui bahwa bias subjektivitas dalam pemberian skor sulit untuk dihindari ketika melakukan penilaian pada indikator-indikator yang digunakan oleh SETARA.

Namun, untuk mengurangi bias tersebut, SETARA melakukan dua teknik penelitian, yaitu triangulasi dengan narasumber-narasumber kunci dan konfirmasi serta self-assessment pada pemerintah kota yang masuk dalam daftar 10 kota dengan skor tertinggi dan 10 kota dengan skor terendah.

“Narasumber ada yang di tingkat nasional, ada yang lokal atau setempat. Kalau lokal mewakili akademisi, tokoh agama/lintas iman, tokoh perempuan, dan masyarakat sipil,” jelas Tigor, Senin (10/12).

Direktur Riset SETARA Institute Halili menambahkan, salah narasumber tersebut, misalnya, adalah ahli isu gender Lies Marcoes Natsir dari Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB).

Untuk di tingkat nasional, SETARA melibatkan sejumlah lembaga termasuk Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Perempuan dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) serta Asosiasi Pemerintah Kota seluruh Indonesia (APEKSI) dalam proses cek dan ricek tersebut.

Meski demikian, Tigor mengakui cukup banyak pemerintah kota yang tidak mengembalikan lembar self-assessment yang disediakan oleh SETARA. Self-assesment tersebut SETARA lakukan “agar lebih fair” sehingga pemerintah kota dapat memiliki ruang untuk menilai dirinya sendiri.

Alasannya kepala daerah tak mengembalikan lembar itu bermacam-macam, misalnya tidak memiliki waktu untuk mengisinya, harus menunggu instruksi dari atasan ataupun kesulitan untuk mengisi lembar tersebut. Alhasil, dalam ringkasan eksekutif IKT itu disebutkan bahwa para peneliti di SETARA harus menggunakan data sekunder.

Terkait data sekunder yang digunakan ketika pemerintah kota tidak mengembalikan form self-assessment, ia menyebutkan yang dilihat SETARA salah satunya adalah instrumen hukum seperti peraturan daerah. Soal ini, SETARA merujuk pada, misalnya, penelitian terkait perda diskriminatif yang pernah dikeluarkan oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan menilai adanya 421 peraturan daerah yang bersifat diskriminatif di seluruh Indonesia.

Selain itu, SETARA juga menggunakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), data-data dari Bappenas, pemberitaan media dan Rencana Strategis (Renstra) dari instansi struktural di pemerintah kota, kata Halili.

Ahli Metodologi: Metode SETARA Sudah Baik

Doktor Ilmu Politik dari University of Notre Dame, Nathanael Gratias Sumaktoyo, mengatakan, dari segi metodologi, studi yang dilakukan SETARA sudah lebih baik dari studi-studi serupa yang telah mereka lakukan pada tahun-tahun sebelumnya. “Kelihatan perkembangan metodologinya,” jelas Nathanael kepada Tirto, Kamis (13/12).

Menurutnya, dalam sebuah penelitian, hal yang paling penting adalah metodologi penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dalam hal ini SETARA sudah cukup terbuka dengan sumber data mereka.

Kendati demikian, Nathanael menerangkan bahwa setiap studi indexing memiliki kelemahan atau kekurangannya sendiri, tergantung pada metodologinya. Setiap indeks, lanjutnya, mengukur dan memotret fenomena dari sudut pandang yang berbeda. Indeks-indeks tersebut tidak dapat memberikan gambaran utuh atau lengkap dari suatu fenomena.

Ia mengatakan, studi dengan riset berbasis survei opini publik, misalnya, berusaha untuk memotret sikap masyarakat, sementara dalam konteks IKT keluaran SETARA, yang dipotret adalah insiden-insiden nyata yang terjadi atau fenomena yang ada.

“Menurut saya, pendekatan beda ini saling melengkapi,” sebut Nathanael. “ Masing-masing indeks tidak bisa memberikan gambaran utuh atau lengkap dari suatu fenomena. Jadi, penelitian apa pun hanyalah satu cuilan atau bagian dari fenomena secara keseluruhan.”

Nathanael melihat isu toleransi dan intoleransi sesungguhnya merupakan isu yang memiliki banyak segi, mulai dari aspek hubungan masyarakat hingga regulasi. Oleh karena itu, memandang isu tersebut tidak dapat dilakukan dalam perspektif hitam dan putih.

“Tidak ada satu indeks atau pengukuran yang bisa menangkap [secara mutlak] suatu fenomena abstrak seperti toleransi,” jelasnya.

Nathanael mengatakan bahwa dalam melihat suatu studi, memang diperlukan sikap kritis ketika membaca atau memahami studi tersebut. Terkait protes dari sejumlah pihak terhadap IKT, ia menyarankan agar masyarakat dan pejabat pemerintah tidak melihat laporan seperti IKT sebagai kebenaran mutlak, tapi juga jangan bersikap defensif. Studi tersebut dapat menjadi masukan yang berarti.

“Jika kita baca laporan seperti ini kita tahu apa yang bisa kita pelajari, kita bisa benahi dari negara ini secara keseluruhan,” sebutnya. “Tapi di sisi lain, kita juga harus kritis membacanya. Oh, laporan ini fokusnya ke sini tapi mereka tidak bicara tentang hal lain, opini warganya, misalnya.”

Indikator Kota Toleran

Indikator Kota Toleran

Peneliti mana pun, menurut Nathanael, tidak berniat memberikan label toleran atau intoleran. “Labelling dari segi peneliti tujuannya bukan melabeli kota itu toleran atau intoleran, tapi memberikan data atau skor tentang posisi kota itu dalam suatu indeks atau dimensi tertentu,” jelasnya.

Dari sisi SETARA, menurut Halili, IKT setidaknya mendorong setidaknya dua hal. Pertama, penguatan wacana publik terkait toleransi dan intoleransi. Yang kedua: peningkatan partisipasi publik dalam isu tata kelola kemajemukan di tingkat perkotaan.

Ia mencontohkan Aceh. Dalam salah satu kunjungan SETARA ke Aceh, terlihat kesadaran masyarakat sipil kota untuk terlibat dalam perbaikan regulasi yang rentan mencederai toleransi tampak meningkat, kendati kota-kota di provinsi ini menempati posisi tidak terlalu baik dalam IKT SETARA.

Halili meminta agar IKT jangan semata-mata dilihat hanya sebagai pemeringkatan angka, melainkan proses penguatan wacana publik dan peningkatan kesadaran masyarakat.

“Pemaknaan atas indeks itu lebih dari soal ranking, tapi soal nilai di balik itu,” sebut Halili. Nilai yang ia maksud, katanya, adalah agar kota-kota di Indonesia dapat saling belajar terkait praktek tata kelola kota yang mengedepankan toleransi.

Halili juga menekankan SETARA bukan satu-satunya lembaga yang pernah melakukan studi pengindeksan terkait toleransi. Ada lembaga lain yang melakukannya, seperti Bappenas serta PEW forum.

Dalam sejumlah indikator, disebutkan bahwa Indonesia tidak menjalani tahun yang baik terkait toleransi keagamaan. Data Democracy Index dari The Economist Intelligence Unit serta laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, memperlihatkan indeks demokrasi DKI Jakarta menurun pada periode 2015-2016. Sebagai catatan, indeks demokrasi biasanya melibatkan komponen inklusifitas dalam penilaiannya.

Riset PEW forum mengenai larangan dalam beragama, di sisi lain, menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam negara yang memiliki tingkat larangan beragama tertinggi pada 2016.

Baca juga artikel terkait TOLERANSI atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Maulida Sri Handayani