Menuju konten utama

Kontroversi Perda Syariah: Dinilai Diskriminatif dan Dipolitisir

Direktur Eksekutif Ma'arif Institute Abdullah Darraz menilai keberadaan perda syariah selama ini, lebih banyak memberikan dampak negatif daripada manfaatnya.

Kontroversi Perda Syariah: Dinilai Diskriminatif dan Dipolitisir
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pidato Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie saat ulang tahun ke-4 partainya, Ahad lalu (11/11) berbuntut panjang. Grace bahkan dilaporkan ke polisi karena sikap politiknya yang menolak peraturan daerah (perda) berbasis agama yang dinilainya diskriminatif.

Meski demikian, tak sedikit yang mendukung sikap politik Grace menolak perda Injil maupun syariah sebagai upaya PSI untuk mencegah menguatnya politik identitas serta diskriminasi dan intoleransi di Indonesia. Salah satunya adalah Direktur Eksekutif Ma'arif Institute Abdullah Darraz.

Darraz mengatakan berdasarkan pengamatan Ma'arif Institute, keberadaan sejumlah perda syariah di Indonesia selama ini memang lebih banyak memberikan dampak negatif daripada positif.

"[Perda Syariah kerap] diskriminatif. Mendiskriminasi perempuan, mendiskriminasi kelompok-kelompok minoritas," kata Darraz kepada wartawan dalam diskusi berjudul "Polemik Perda Agama: Ideologis ataukah Komoditas Politik?" di Aula Ma'arif Institute, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (21/11/2018).

Darraz menambahkan, sejak 2015, lembaganya telah menggelar survei indeks kota Islami. Dari hasil survei itu ditemukan indeks kota-kota yang kental dengan perda berbasis keagamaan berada di urutan paling bawah.

"Mereka tidak bisa menjamin keamanan, tidak bisa menjamin kesejahteraan, tidak bisa menjamin akses soal kebebasan beribadah dan beragama bagi semua warga negara," terang Darraz.

"Kita perlu mengkritisi kemunculan perda-perda agama ini," kata Darraz menambahkan.

Menurutnya, kemunculan perda berbasiskan ajaran agama memiliki keterkaitan dengan kelompok elite politik yang selama ini mungkin tidak puas dengan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Sebagai catatan, tujuh kata yang dihapuskan itu berbunyi: "... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

"Mereka mencoba menafsirkan ulang sesuai teks Piagam Jakarta yang sebelum dihapuskan tujuh kata tersebut," kata Darraz.

Kendati demikian, ada pula elite politik yang memainkan isu perda agama sebagai alat meraup keuntungan politik semata. Mengutip penelitian Michael Buehler, Darraz mengatakan pada kenyataannya yang banyak mengeluarkan perda agama adalah partai sekuler.

"Ternyata [mereka] berkepentingan sekali untuk bagaimana menarik konstituen melalui isu perda agama ini," kata dia.

Perda Syariah Bukan Syariah

Sementara itu, kandidat doktor dari Departemen Studi Religius University of Pennsylvania Akhamad Sahal menegaskan pentingnya pembedaan pengertian perda syariah dengan syariah itu sendiri.

Ia menegaskan perda syariah adalah peraturan daerah dan merupakan produk hukum yang dibuat manusia. Sementara syariah, lanjutnya, dibuat langsung oleh Tuhan yang dirumuskan ulama ahli fikih yang memenuhi syarat menggali hukum dari Alquran dan Hadis.

"Perbedaan ini penting, supaya kita tidak ada kerancuan dalam melihat kalau orang itu anti-perda syariah atau perda agama itu kemudian dia anti-agama," jelasnya.

"Ini kerancuan karena tidak bisa membedakan perda yang produk politik ... dengan syariah. Jadi label itu mengecoh," kata Sahal menambahkan.

Pernyataan Sahal ini juga menanggapi pelaporan terhadap Grace yang dilakukan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) melalui kuasa hukum mereka Eggy Sudjana ke Bareskrim Polri atas dugaan penistaan agama pada Jumat (16/11) lalu.

Infografik CI Perda Syariah

Penolakan perda agama ini bukan yang pertama. Menengok sejarah, Komnas Perempuan pada 2016, misalnya, mengatakan ada 421 kebijakan pemerintah melalui perda dan surat edaran yang mendiskriminasikan kelompok minoritas dan perempuan.

Sementara pada 2013, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebutkan setidaknya terdapat 151 perda syariah pada periode 1999-2009 yang mengandung unsur diskriminatif. Pun demikian dengan Buya Syafii Maarif dan Kiai Hasyim Muzadi yang pernah mengatakan perda syariah tidak diperlukan karena KUHP sesungguhnya sudah mencakup masalah-masalah yang diatur perda syariah, jelas Sahal.

"Sebelum PSI, suara yang mengkritik, yang menolak perda syariah sudah ada, jadi tidak bisa dilabeli sebagai anti-agama, anti-syariah," kata Sahal.

Para pengkritik perda syariah, jelas Sahal, bukan anti-syariah. Namun, mereka menginginkan syariah diterapkan pada tingkat masyarakat bukan negara, karena negara milik semua orang.

"Karena itulah cara terbaik menerapkan syariah, berdasarkan kesukarelaan tanpa ada paksaan," jelas Sahal.

Menurut Sahal, Indonesia saat ini masih terjebak pada, meminjam istilah Soekarno, "Ke-Islaman Kulit". Muslim di Indonesia, lanjut Sahal, masih terjebak pada ritual, alih-alih pada substansi ajaran agama.

"Coba Anda mengambil hak orang yatim, Anda memfitnah, Anda tidak peduli orang miskin, maka tidak ada yang menyebut anda anti-Islam. Tapi coba sekali Anda makan ... daging babi, maka seluruh dunia gempar. Anda akan dituduh macam-macam, kafir," kata Sahal.

Pada sisi lain, Peneliti Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rita Pranawati mengatakan penerapan perda syariah di Indonesia telah menempatkan Islam pada situasi yang dilematis.

"Apakah karena perintah agama terus kemudian kita menegasikan yang lain, padahal sebenarnya Islam itu Rahmatan lil ‘Alamin untuk semua," kata Rita.

Baca juga artikel terkait PERDA SYARIAH atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Abdul Aziz