tirto.id - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menjadi sorotan karena pendapatnya yang menentang peraturan daerah (perda) berbasis agama, baik Injil maupun syariah. Grace menyatakan perda yang dibuat untuk agama tertentu dianggapnya diskriminatif pada kelompok lainnya.
Grace tetap tak bergeming meskipun banyak pihak yang menentangnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat bahkan mengatakan haram hukumnya memilih partai dan siapapun yang diusung partai penolak perda syariah.
“Dari awal ini DNA kami. Yang jadi pemilih PSI tentu yang satu nilai dengan kami. Jadi kami tak khawatir dengan elektabilitas,” kata Grace pada reporter Tirto, di Menteng, Jakarta, Senin (19/11/2018).
Dosen ilmu politik dari UIN Syarif Hidayatullah cum peneliti Political Literacy Institute Adi Prayitno mengatakan secara substansi pidato Grace tidak bermasalah. Ia menilai pernyataan Grace yang menolak perda syariah atau Injil memang disengaja karena sebagai sikap politik PSI.
Dengan begitu, kata Adi, posisi PSI menjadi jelas. Jika pernyataannya menjadi viral, kata Adi, hal itu justru menguntungkan dan malah disyukuri oleh PSI karena mereka mendapat publisitas gratis.
“Mereka bermaksud memberi pesan ada hal-hal ideal yang tidak bisa dikompromikan, bila hal yang dikompromikan itu lebih banyak moderatnya lah,” kata Adi pada reporter Tirto, Selasa (20/11/2018).
Adi melihat selama ini kader dan simpatisan PSI memang lebih banyak berasal dari golongan moderat dan liberal. Menurutnya, bila ada pihak yang tidak terima dengan pernyataan itu, maka PSI tak akan merasa rugi karena selama ini target pemilihnya adalah mereka yang memiliki visi yang sama.
“Mereka memandang perda syariah itu kontra produktif dengan demokrasi kita, karena misalnya tidak ramah terhadap kelompok minoritas dan seterusnya. Hal ideal semacam itu yang sebenarnya ingin dijelaskan PSI sebagai ide dan gagasan mereka,” kata Adi.
Peneliti Departemen Komunikasi dan Informasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Savic Ali menilai perda syariah sebenarnya berusaha menghidupkan klausul lama yang dibuang dalam Piagam Jakarta. Saat itu, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 memuat frase “menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.”
Savic menilai bila ingin mencerminkan agama, sebaiknya cukup mengambil nilai-nilainya saja, tanpa harus diformalkan dalam bentuk perda. Selama ini, kecenderungan parpol hanya formalitas belaka, padahal esensinya tidak mencerminkan ajaran agama itu sendiri.
“Saya enggak yakin partai-partai nasional akan mendorong ini [nilai-nilai agama dalam perda]. Ini hanya retorika demi dukungan semata,” kata Savic.
Upaya Meredam Sikap Partai
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai pidato yang disampaikan Grace Natalie adalah sesuatu yang wajar dan tak perlu dibawa ke ranah hukum selama tidak menyinggung dan melukai orang lain.
Sebab, kata Ujang, bila sikap partai dipidana, maka akan banyak politikus yang nantinya tidak mau menyampaikan sikap politiknya. Ia menilai, pidato Grace harus dipahami sebagai sikap politik PSI yang mesti dihargai.
“Apakah nanti orang takut? Ya sejatinya orang merasa takut berkomentar secara bebas,” kata Ujang kepada reporter Tirto.
Ujang menilai upaya pemidanaan atau pelaporan Grace ke polisi bisa merusak demokrasi ke depan. Menurutnya, nanti bukan hanya PSI, tapi juga pengamat, media, dan segala macam yang berbeda pendapat dengan siapapun bisa dipidana.
“Ini makanya dituntut kedewasaan politik kita. Siapa pun kita di negara ini mesti dewasa dalam menyikapi apa pun,” kata Ujang.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz