tirto.id - Perbedaan sikap antara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan partai lain yang sama-sama mendukung Joko Widodo sebetulnya sudah terlihat pada awal Agustus lalu. Ketika itu Ketua Umum PSI Grace Natalie mengaku lebih suka Mahfud MD jadi wakilnya Jokowi.
Dan kita semua tahu nama yang keluar kemudian adalah Ma’ruf Amin. Kita juga tahu, PSI tetap ada di koalisi Jokowi-Ma’ruf setelahnya. PSI juga tak keluar dari koalisi ketika beda pendapat muncul terkait perda syariah yang baru-baru ini ramai dibicarakan.
Dalam sambutan pada acara ulang tahun keempat PSI di Tangerang, Minggu malam (11/11) pekan lalu, Grace mengatakan partainya "akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan intoleransi. PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah."
Pernyataan ini kemudian dipersoalkan banyak pihak. Bahkan ada yang melaporkan Grace ke polisi karena apa yang ia katakan dinilai menistakan agama.
Sikap PSI, dengan demikian, berseberangan secara diametral dengan Ma’ruf Amin yang sama sekali tak mempermasalahkan p syariah, Majelis Ulama Indonesia daerah, juga PPP.
PPP, salah satu partai pendukung Jokowi, bahkan mengatakan pernyataan Grace sebagai bukti PSI "tidak paham dengan sistem hukum nasional." Sementara MUI Sumatera Barat menyebut haram hukumnya memilih partai dan siapa pun pihak yang diusung partai yang menolak perda syariah.
Lantas apakah PSI akan meralat pernyataannya atau keluar dari koalisi Jokowi? Grace menjawab: tak bakal ada yang berubah.
"Dari awal ini DNA kami. Yang jadi pemilih PSI tentu yang satu nilai dengan kami. Jadi kami tak khawatir dengan elektabilitas," kata Grace kepada reporter Tirto di Menteng, Jakarta, Senin (19/11/2018).
Dapat Untung
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin menilai kasus perda syariah adalah bukti ucapan dan tindakan PSI saling bertolak belakang. Bila selaras, kata Adi, seharusnya partai baru berlambang bunga itu sudah tidak berada di kubu Jokowi sejak lama.
Menurut Ujang, sikap demikian diambil karena tak ada lagi pilihan bagi PSI. Lagi pula, sikap keras kepala yang ditunjukkan Grace bisa membuat PSI diuntungkan.
"Politik itu lebih cenderung kepada yang menguntungkan dirinya. Ketika itu menguntungkan dirinya atau partainya dan bisa lebih terkenal lagi dan mencari celah pendukung baru, [kelompok] yang anti-perda syariah, atau Perda Injil, ya, dia bisa bermain di situ," kata Ujang kepada reporter Tirto.
Sikap PSI menolak perda syariah tak mungkin sefrontal saat ini, jika mereka berada di gerbong oposisi. Situasi ini hanya mungkin terjadi lantaran PSI ada di lingkaran pendukung petahana.
"Karena di kekuasaan itu dekat dengan sumber pendapatan, finansial, kekuatan logistik. Wajar jika dia mendukung petahana. Kalau dia mendukung Prabowo justru bisa rugi," kata Ujang.
Peneliti dari Political Literacy Institute Adi Prayitno mengatakan sikap PSI mendukung Ma'ruf tapi menolak perda syariah sebagai "paradoks."
"Paradoks PSI ketika mereka tak mau berkompromi dengan nilai-nilai yang dibilang anti-demokrasi tapi berada dalam satu koalisi yang membuat kebijakan-kebijakan yang tidak populer," kata Adi kepada reporter Tirto.
Sejak awal, kata Adi, ketidakcocokan itu memang sudah terasa. Manuver partai lah yang membuat PSI bisa bertahan di kubu Jokowi hingga kini.
Seperti Ujang, Adi melihat PSI tidak akan keluar dari kubu Jokowi karena itulah yang paling menguntungkan mereka untuk saat ini.
"Enggak mungkin PSI keluar. Selama ini mereka patokannya Jokowi. Jokowi ini masih dilihat relatif menunjukkan kepentingan politis mereka [PSI]. Mereka merasa wakil presiden ini tidak bisa melampaui Jokowi," kata Adi lagi.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino