tirto.id - Bentrokan TNI-Polri terjadi kembali. Sekitar pukul 20.10 WIT, Sabtu (2/3/2024), Polres Jayawijaya, Papua Pegunungan menjadi sasaran serangan yang dilakukan oleh prajurit TNI dari Batalyon 756/WMS.
Penyerangan berawal ketika kepolisian yang bertugas di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) menerima laporan masyarakat tentang keributan di Pilamo Futsal yang dilakukan anggota TNI.
Petugas SPKT lantas melaporkan kepada Subdenpom Wamena. Tidak lama berselang, anggota Batalyon TNI 756/WMS datang dengan kendaraan bermotor sambil membawa senjata tajam maupun senjata api.
Akibatnya, kantor Polres Jayawijaya mengalami kerusakan. Kaca-kaca di ruangan pecah karena terkena lemparan batu.
Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen Izak Pangemanan, mengatakan, kejadian bentrokan TNI-Polri di Jayawijaya itu adalah kesalahpahaman. Tetapi, Izak tidak mau menjelaskan bentuk permasalahan yang dimaksud.
“Itu hanya salah paham,” kata Izak saat dikonfirmasi, Minggu (3/3/2024) malam.
Izak juga menuturkan, pihaknya akan memeriksa semua anggota TNI yang terlibat dalam penyerangan tersebut. Dia menjelaskan dari pemeriksaan nantinya ditemukan bukti penyerangan Polres Jayawijaya, anggota TNI yang terlibat akan dikenai sanksi.
“Kami sedang periksa semua yang terlibat. Tentunya yang melanggar aturan, akan kena sanksi," ungkap Izak.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Papua Kombes, Ignatius Benny Ady enggan menjelaskan kronologi penyerangan. Dia hanya memastikan, tidak ada korban dalam peristiwa tersebut.
Kekalahan adalah Hal yang Memalukan Bagi TNI
Direktur Eksekutif ISESS, Khairul Fahmi, menilai insiden antara TNI-Polri bukan kali ini terjadi di Papua. Fahmi menilai, akar masalah sikap arogansi TNI tidak lepas dari superioritas, arogansi, ego sektoral dan kecemburuan yang muncul sengaja atau tidak. Hal tersebut juga dinilai sudah muncul berlebihan sehingga menimbulkan ekses dan terimplementasi secara kurang tepat.
Fahmi menuturkan, TNI-Polri didesain sebagai alat kekerasan negara dalam menegakkan kedaulatan, menjaga keutuhan wilayah, melindungi masyarakat, memelihara keamanan dan menegakkan hukum. Mereka di gembleng untuk bermental juara dan kekalahan sebagai hal yang memalukan.
Lebih lanjut, Fahmi menilai jiwa yang muncul tersebut masih wajar selama menangkal dan menghalau segala ancaman kedaulatan, keutuhan negara, menghentikan gangguan keamanan, menjaga ketertiban dan menindak perbuatan melanggar hukum.
"Nah masalahnya, superioritas, arogansi dan ego sektoral itu ternyata juga memunculkan kecemburuan satu sama lain, terutama menyangkut isu kesejahteraan dan kewenangan. Selain juga memelihara potensi terjadinya kekerasan terhadap warga sipil," kata Fahmi.
Sementara itu, dia menilai narasi menghilangkan kebudayaan kekerasan di tubuh TNI-Polri adalah narasi naif. Alasannya, TNI-Polri diharuskan mampu melakukan kekerasan sehingga aksi yang tepat adalah meminimalisir peluang kekerasan dan tindakan impulsif.
"Hukum harus ditegakkan pada siapapun yang bersalah dan melakukan perbuatan melawan hukum. Siapapun yang tidak mematuhi aturan, mengabaikan perintah, harus didisiplinkan," kata Fahmi.
Kedua, para pemimpin anggota harus mampu memberikan teladan dan berani mengawasi. Para pemimpin, seperti pangdam ke bawah harus menutup dan tidak mentolerir arogansi dan aksi main hakim sendiri.
Dia juga mendorong para pemimpin untuk berhati-hati dalam melaksanakan kegiatan prajurit yang melibatkan rakyat. Dia beralasan, masih ada peluang anggota bentrok dengan masyarakat.
"Ada banyak hal yang dapat memicu terjadinya kesalahpahaman berujung kekerasan. Termasuk yang kemudian dapat memicu benturan dengan kewenangan Polri dalam pemeliharaan Kamtibmas, seperti yang kabarnya memicu persoalan di Jayawijaya kemarin," kata Fahmi.
Fahmi juga mengingatkan Polri tetap memperbaiki diri sebagai lembaga yang bertugas melindungi dan mengayomi publik. Alasannya, karena publik masih menganggap polisi buruk, termasuk TNI. Dia menilai, persepsi buruk tersebut cukup rawan bagi anggota TNI karena mereka memiliki kecemburuan perilaku antara TNI-Polri.
"Nah ketika terjadi perselisihan yang mungkin sebenarnya sepele, persepsi itu memicu ketidakpuasan," kata Fahmi.
Fahmi pun mendorong Polri untuk berhati-hati, menjaga perilaku dalam bergaul di masyarakat. Dia meminta Polri tidak arogan dan sewenang-wenang karena mereka punya kewenangan yang tidak dimiliki warga maupun TNI sekalipun, yakni kewenangan bertindak di atas nama hukum.
"Bagaimanapun, polisi ini meski kinerjanya baik dia masih bisa dibenci, terutama oleh para pelaku kejahatan dan pelanggar hukum. Apalagi jika kinerjanya buruk, masyarakat pasti tidak suka," kata Fahmi.
Kultur Kekerasan Masih Kuat di Tubuh TNI
Sementara itu, Peneliti KontraS, Rozy Brilian, menuturkan, aksi penyerangan Polres Jayawijaya sebagai bentuk arogansi TNI. Dia menilai TNI seharusnya tidak menyerang dan menerima proses hukum.
"Jadi kami melihat seharusnya anggota TNI itu bisa menyerahkan kepada prosedural hukum ketika dilaporkan ke subdenpom, seharusnya mereka (prajurit TNI) bisa menjelaskan itu kepada atasannya, kepada sub denpom apa yang betul-betul terjadi," kata Rozy, Senin.
Rozy menerangkan, kejadian di Jayawijaya menandakan kultur kekerasan masih kuat di tubuh kemiliteran. Dia menilai, militer masih tergoda untuk menyalahgunakan kewenangan yang berujung pada aksi superioritas.
Sebagai catatan, TNI tercatat melakukan sejumlah arogansi kepada masyarakat sipil. Mengutip data Kontras, terdapat 59 peristiwa kekerasan dalam beragam bentuk. 32 tindak penganiayaan, 15 intimidasi, 11 penyiksaan, 3 penembakan, 5 kekerasan seksual, 2 penghukuman tidak manusiawi. Kemudian, 4 penculikan, serta 2 kasus penangkapan sewenang-wenang.
Dalam data Kontras, motif umum kekerasan TNI adalah masalah sepele yang secara rasional dapat diselesaikan tanpa jalur kekerasan. Sementara itu, mengutip data laporan lebih spesifik, 7 peristiwa konflik antara TNI-Polri selama Oktober 2022-September 2023 antara lain s 3 intimidasi, 5 perusakan, 1 penembakan dan 1 penganiayaan.
Rozy menekankan, kasus Jayawijaya berbeda dengan insiden Ciracas beberapa tahun lalu. Dia melihat, kejadian tersebut bukan bentuk rivalitas TNI-Polri. Namun, kasus ini bisa mengarah kepada tidak ingin adanya proses hukum sehingga bermain hakim sendiri.
Lebih lanjut, dia menuturkan, kejadian ini tidak terlepas minimnya pengawasan dari atasan serta implikasi peradilan militer yang terkesan berujung pada impunitas. Dia tidak memungkiri peradilan militer TNI menjadi salah satu penyebab militer yakin dilindungi secara hukum. Padahal, menurut Rozy tindakan mereka merupakan pelanggaran hukum yang harus ditindak di peradilan umum.
"Jadi mereka hanya ingin diselesaikan lewat mekanisme militer yang mana kami melihat bahwa dalam berbagai kasus menghasilkan putusannya tidak fair," kata Rozy.
Sementara itu, Rozy pun mendesak agar anggota yang terlibat dalam kejadian tersebut untuk diadili dengan cara pengadilan umum. Alasannya, karena tindakan aparat merusak kantor polisi adalah pelanggaran yang ditangani peradilan sipil. Selain itu, KontraS mendorong agar revisi UU Peradilan militer segera dilakukan agar kasus pelanggaran sipil yang dilakukan militer bisa ditindak di pengadilan sipil.
"Mereka harus diseret pengadilan sipil, peradilan umum sehingga muncul transparansi dan akuntabilitas terhadap penegakan hukum terhadap aparat militer, bukan hanya mengadili sendiri," kata Rozy.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin