tirto.id - Bukan sekali Ibram menggunakan haknya dalam politik elektoral. Ia sudah merasakan sensasi mencelupkan jari kelingking ke botol tinta pada tahun lalu saat memilih gubernur Sumatera Utara. Namun, Generasi Z kelahiran 1999 ini baru terlibat gegap gempita pemilu presiden dan legislatif sekarang. Ini kali pertama ia akan menyumbang suara buat presiden dan anggota parlemen.
Perkara memilih calon presiden favorit, Ibram tak kesulitan. Keputusannya akan jatuh pada persona yang menurutnya punya karisma serta mendapatkan restu sang ayah. Ia justru lebih pusing memutuskan siapa yang akan dicoblos dalam pemilihan legislatif karena jumlah calon legislator yang beragam dan tidak sepopuler calon presiden.
Ibram sempat melempar pertanyaan, “Pilih caleg mana?” ke grup WhatsApp keluarga. Sang ayah bilang, “terserah coblos siapa.” Sementara sang ibu berkata, “coba cari tahu rekam jejaknya.”
Ibram sempat bingung karena “enggak mungkin untuk googling satu-satu nama mereka." Tapi ia enggan membuang kesempatan pertamanya mencoblos caleg secara serampangan.
Meski terdengar lebih rumit, tak ada salahnya kita mengikuti saran Ibu Ibram. Yang sering kali gagal dipahami pemilih di negeri ini, menentukan siapa yang mewakili kita di kursi legislatif sama pentingnya sebagaimana menentukan capres. Bahkan mungkin, buat orang yang menilai Jokowi maupun Prabowo tidak memenuhi kriteria untuk dipilih atau dipilih kembali, memilih caleg bisa lebih penting ketimbang menyumbang suara di pilpres.
Kinerja anggota dewan periode 2014-2019 yang minim prestasi bisa dijadikan contoh bahwa pemilih perlu lebih jeli ketika menentukan siapa wakil mereka di parlemen. Terutama jika tak ingin mengirim tikus pengerat punya kesempatan makan duit rakyat.
Indonesian Corruption Watch mencatat, 254 anggota dan mantan anggota DPR/DPRD menjadi tersangka korupsi dalam lima tahun terakhir; 22 di antaranya adalah anggota DPR RI. Bahkan dua di antara mereka adalah Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan.
Setnov sempat mondar-mandir di media karena kasus korupsi “Papa Minta Saham”. Ia ditengarai mencatut nama Presiden Joko Widodo terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Berita itu seharusnya tak terlalu mengejutkan mengingat saat Setnov dilantik sebagai ketua DPR, ia diduga terlibat dalam sejumlah kasus korupsi. Catatan ICW bahkan menyebut 59 anggota dewan terpilih saat itu menyandang status tersangka, terdakwa, dan terpidana kasus korupsi.
Tiga di antaranya bahkan jadi tersangka pada tahun pertama menjabat: Ardiansyah (Fraksi PDIP), Patrice Rio Capella (Fraksi NasDem), dan Dewi Yasin Limpo (Fraksi Hanura).
Dari deretan para tersangka korupsi ini, bukan cuma Setnov yang berlatar belakang ketua partai. Ada M Romahurmuziy, Ketua Umum PPP, yang ditangkap KPK pada Maret lalu terkait lelang jabatan atau jual-beli jabatan untuk posisi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Gresik.
Bersama Setnov, ada setidaknya 52 orang anggota atau mantan anggota DPR/DPRD dari Golkar menjadi tersangka korupsi pada 2015-2019.
Angka koruptor anggota dewan itu diikuti:
34 orang dari PDIP; 34 orang dari Demokrat; 26 orang dari PAN; 22 orang dari Gerindra; 15 orang dari Hanura; 12 orang dari PKB; dan 12 orang dari PPP.
Selain itu:
9 orang dari PKS; 5 orang dari PDS; 5 orang dari NasDem; 3 orang dari PKPI; 2 orang dari PKNU; 2 orang dari PBB; 2 orang dari PPRN; 1 orang dari PBN; 1 orang dari PBR; 1 orang dari PDK; dan 7 orang tidak diketahui dari partai mana.
Lebih dari 90 persen anggota DPR sekarang Mencalonkan Diri Kembali
Di DPR pusat, Golkar menjadi partai pencetak koruptor terbanyak dengan total 8 orang. Diikuti oleh Demokrat dan PAN yang masing-masing menyumbang 3 orang; PDIP dan Hanura yang masing-masing 2 orang; serta NasDem, PKB, PKS, dan PPP masing-masing 1 orang.
I Made Leo Wiratma, Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), menyebut salah satu faktor buruknya kinerja DPR periode ini disebabkan oleh organisasi partai yang tidak menjalankan fungsi kaderisasinya secara baik.
“Harusnya pendidikan politik itu diberikan partai tapi (parpol) hidupnya pas mau pemilu saja. Selebihnya tidur,” kata Made Leo. Kinerja buruk itu harusnya jadi catatan buat partai dalam merekrut anggota dan caleg-calegnya.
“Tapi, fenomena yang ada malah parpol lebih suka mencalonkan lagi kadernya,” tambah Leo.
Formappi mencatat setidaknya ada 525 anggota legislatif periode ini mencalonkan diri kembali. Artinya, lebih dari 90 persen dari total caleg keseluruhan.
Sebanyak 349 caleg petahana bahkan mendapat nomor urut 1 di masing-masing daerah pemilih. Posisi itu membuat mereka berpeluang besar kembali terpilih.
Tidak ada batas pencalonan diri buat kursi legislatif juga berperan besar dalam strategi partai mengajukan nama calegnya, menurut Leo.
Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan pencalonan caleg petahana di pemilu wajar dilakukan. Sebab, mereka dianggap sudah memiliki basis konstituen yang teruji.
Menurut Ace, caleg petahana pasti memiliki pemilih loyal karena mereka kerap berkomunikasi dengan konstituennya selama menjabat anggota parlemen.
Ia bilang ia percaya bahwa semua parpol tak sembarangan kembali mencalonkan anggotanya yang sekarang duduk di parlemen untuk kembali ikut pemilu.
"Partai memiliki penilaian internal untuk menempatkan kader-kadernya pada suatu daerah pemilihan. Dari penilaian internal ini, pada umumnya para petahana relatif memiliki popularitas dan elektabilitas yang baik,” dalih Ace kepada reporter Tirto, November 2018.
Namun, menurut Leo, selain kaderisasi partai, pemilih harus lebih cermat dalam menentukan pilihan. Sebab, sering kali caleg lebih loyal pada partainya ketimbang rakyat yang diwakilinya karena sistem yang ada.
“Bisa dilihat dari bagaimana mengikuti sidang, caranya menyerap aspirasi,” kata Leo.
Masih Banyak Anggota Dewan yang Emoh Melaporkan Harta Kekayaan
Salah satu temuan ICW yang menarik adalah angka ketidakpatuhan anggota dewan dalam melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) periode 2018-2019.
Tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN per 11 April 2019 sedikit tak jauh berubah dengan pelaporan akhir pada 31 Maret 2019.
Masih banyak yang belum melaporkan LHKPN. Tingkat kepatuhan anggota DPR telah mencapai 65,58 persen dengan wajib lapor sebanyak 552 orang, 362 telah lapor, dan 190 di antaranya belum lapor.
Selanjutnya, tingkat kepatuhan anggota DPD yang melaporkan harta kekayaannya sebesar 77,10 persen, dengan wajib lapor 131 orang, sudah lapor 101 orang, dan 30 orang belum lapor.
Sementara anggota DPRD yang patuh melaporkan harta kekayaannya sebesar 72,15 persen, dengan wajib lapor mencapai 17.810 orang, sudah lapor 12.850, dan belum lapor sebanyak 4.960 orang.
“Tidak patuhnya angota DPR dalam melaporkan LHKPN merupakan preseden buruk. Pelaporan LHKPN bukan hanya pelaporan administratif tahunan melainkan komitmen keterbukaan terhadap pengawasan oleh KPK dan publik serta pencegahan korupsi,” tulis ICW dalam rilisnya.
Komisi Pemilihan Umum bersama KPK menjadikan LHKPN sebagai tolok ukur untuk mencegah caleg petahana dari tindak pidana korupsi.
Para pemilih juga bisa memantau nama-nama caleg petahana yang belum melaporkan LHKPN-nya di situs resmi KPK. Bahkan memberi tambahan sanksi tegas bagi caleg yang tidak menaati aturan ini hingga 7 hari setelah dinyatakan terpilih agar mereka tak bisa dilantik.
Buat pemilih pemula macam Ibram, upaya KPK dan KPU itu membantu riset kecil-kecilan dia menentukan pilihan caleg, sekalipun ia mengakui sosialisasi tentang hal itu tidak terlalu gencar.
“Aku yakin masih banyak yang enggak tahu cara cari tahu kinerja anggota DPR sekarang ataupun caleg petahana. Tapi, mungkin memang sudah saatnya pemilih lebih aktif cari tahu sendiri,” kata Ibram.
I Made Leo Wiratma dari Formappi punya pesan sama: “Inilah waktunya pemilih untuk menghukum mereka, memberikan reward dan punishment. Kalau baik dipilih lagi, kalau buruk enggak usah dipilih lagi,” katanya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam