tirto.id - Hari-hari ini saya bertemu banyak politikus, terutama yang berkiprah di daerah. Mereka sedang giat-giatnya berkampanye untuk merebut posisi-posisi legislatif, baik di kabupaten, provinsi, maupun di tingkat nasional.
Selain para caleg pada tiga tingkatan wilayah tersebut, ada juga para politikus yang berkampanye untuk pemilihan presiden dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bisa dibayangkan betapa sesak pemilihan kali ini.
Pertemuan-pertemuan dengan para politikus itu memberikan saya kesempatan untuk mengajukan pertanyaan yang sudah lama hinggap di benak saya. Mana yang lebih kuat dalam memengaruhi politik kita: uang atau identitas?
Kita tahu soal uang dalam pemilihan adalah yang gampang-gampang susah untuk ditanyakan. Politikus akan menyangkal bahwa dia membeli suara atau melakukan politik uang. Kalaupun mengakui keberadaannya, dia akan mengambil sikap “bukan saya.” Artinya, politikus lain melakukan politik uang, tetapi saya tidak.
Politikus akan memainkan apa saja untuk menang. Mereka memiliki banyak opsi untuk dipilih. Selain uang, mereka bisa juga mengeksploitasi sentimen etnis, agama, rasial, atau kesukuan. Semua ini dikenal dengan sebutan politik identitas.
Seperti di negara-negara lain, identitas merupakan sarana termudah untuk memobilisasi pemilih. Politik identitas dilakukan dengan memanipulasi kecintaan seseorang terhadap kelompok etnis, agama, rasial, atau sukunya, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk mendukung seorang politikus.
Bagaimanakah sesungguhnya preferensi pemilih Indonesia jika dihadapkan pada politik identitas dan politik uang? Manakah yang lebih kuat untuk memengaruhi pemilih?
Para politikus yang saya tanyai umumnya mengakui uang berperan amat strategis dalam pemilihan. Artinya, biarpun pemilih sudah ‘dibina’ untuk setia pada seorang kandidat, preferensinya bisa berubah jika akhirnya dia ditawari uang. Karena tawaran tidak datang dari satu calon, pemilih pun mengerti hukum pasar: Suaranya diberikan kepada penawar tertinggi.
Benarkah uang lebih berkuasa ketimbang identitas? Mengapa bisa demikian?
Uang sebagai Panglima
Mengatakan uang lebih berkuasa daripada identitas tentu terlalu menyederhanakan masalah. Tidak semua politikus di Indonesia menang dalam pemilihan melulu mengandalkan uang.
“Hanya caleg pemula, yang belum pernah maju ke pemilihan, yang mengandalkan uang,” kata seorang politikus yang saya temui. Itu karena mereka tidak memiliki jaringan di daerah pemilihan. Mereka harus membangun jaringan itu dan membayar makelar (broker) politik yang bisa menghubungkan dengan pemilih.
Di dunia perpolitikan, baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah, ada dua jenis calon legislatif.
Pertama, mereka yang berasal dari fungsionaris partai. Caleg dari fungsionaris partai biasanya mengandalkan mesin organisasi partai untuk memobilisasi pemilih. Partai-partai besar memiliki infrastruktur lengkap hingga ke desa (ranting) dan tingkat RW/RT (anak ranting).
Caleg jenis ini adalah politikus profesional. Artinya, mereka hidup sepenuhnya dari dan untuk politik. Mereka memiliki jaringan dan massanya sendiri. Mereka membangun jaringan ini bertahun-tahun. Mereka merawatnya dengan baik dan secara rutin memberikan pelbagai macam sarana dan prasarana (public goods) untuk konstituen dalam wilayah jaringannya.
Jaringan ini tidak hanya berguna jika mereka mencalonkan diri untuk duduk di legislatif. Ia bernilai ekonomis tinggi pada saat-saat seperti Pilkada (pemilihan kepala daerah). Para calon kepala daerah memerlukan para penguasa jaringan ini. Pemakaian jaringan ini tentu juga tidak cuma-cuma. Seringkali ongkos ‘sewa’ jaringan menjadi porsi pengeluaran terbesar dari seorang calon kepala daerah.
Kedua, calon hasil penjaringan partai. Calon-calon ini biasanya adalah mereka yang memiliki kekuatan ekonomi, para tokoh, selebritas, atau artis. Mereka jelas bukan kader partai. Bahkan tidak jarang mereka tidak pernah bersentuhan dengan politik sebelumnya.
Persentuhan mereka dengan partai kadang sangat minimal. Mereka mendaftar untuk direkrut menjadi caleg partai. Dalam beberapa kasus, ada juga yang direkrut oleh partai karena dianggap berpengaruh.
Mengapa partai harus merekrut orang-orang yang bukan kadernya untuk menjadi caleg? Pertama, orang-orang ini—karena ketokohan atau status pesohornya—diharapkan bisa menjadi penjaring suara (vote getter). Kedua, jika kaya, mereka juga diharapkan memberikan sumbangan keuangan ke partai.
Mereka tidak memiliki akses ke pemilih. Mereka harus membangun infrastruktur sendiri yang pada umumnya tidak ada kaitan dengan partai, sekalipun mereka harus mengoordinasikan ‘messaging’ kampanye mereka dengan partai.
Apakah ini berarti caleg fungsionaris partai tidak mengeluarkan uang? Tidak juga. Kampanye di Indonesia adalah melulu biaya sendiri (self-financing). Undang-undang Pemilu memang mengizinkan perseorangan atau korporasi menyumbang untuk kandidat. Namun, itu sangat jarang dilakukan secara terbuka.
Jika Anda mencalonkan diri menjadi legislator, Anda diharapkan mengurus semuanya sendiri. Anda menyiapkan dari hal-hal yang remeh seperti alat peraga kampanye hingga mengatur pertemuan dengan pemilih. Sehingga, dalam hal ini, menjadi fungsionaris partai sebenarnya hanya memberikan sedikit keunggulan. Anda mengenal orang-orang dalam struktur partai dan mungkin mereka adalah bagian dari mesin partai yang bisa Anda gerakkan.
Semakin tinggi jabatan yang Anda incar, semakin besar organisasi kampanye Anda, dan semakin mahal pula biaya yang harus Anda tanggung. Tentu biaya yang dikeluarkan seorang caleg DPR RI lebih besar dari calon DPRD Provinsi.
Pemilu 2019 ini telah didahului oleh Pilkada 2017 dan 2018. Banyak politikus menyebut biaya untuk menjadi kepala daerah jauh lebih besar daripada menjadi legislator.
Untuk menjadi kepala daerah, Anda memerlukan partai-partai pendukung. Dukungan dari partai-partai melibatkan birokrasi partai di daerah maupun di pusat. Dukungan partai terhadap calon kepala daerah datang langsung dari ketua partai. Bisa dibayangkan rantai birokrasi internal partai yang harus dilalui. Dari sinilah istilah ‘mahar’ atau emas kawin itu berasal. Para calon kepala daerah ‘memberi emas kawin’ (baca: membeli) dukungan dari partai-partai.
Seorang politikus lokal dengan tersenyum simpul mengatakan kepada saya bahwa uang dari Pilkada tahun lalu sekarang dipakainya untuk menjadi calon legislatif. Saya kira, tidak hanya dia seorang yang melakukan itu.
Letak Identitas
Orang sering mengeluhkan politik kita sedang bergerak ke arah politik identitas. Politikus-politikus kita semakin rajin mengeksploitasi sentimen keagamaan, kesukuan, atau rasialisme. Mobilisasi politik dilakukan di rumah-rumah ibadah. Hampir sulit membedakan antara kampanye, yang seharusnya berdasarkan persuasi, dan provokasi.
Pemilih diarahkan untuk memilih berdasarkan sentimen-sentimen identitas. Pada pemilihan gubernur DKI 2017, misalnya, pemilih diserukan untuk tidak memilih gubernur non-muslim.
Di daerah-daerah, kita dengar seruan untuk memilih gubernur dari suku yang sama. Kadang-kadang sentimen agama dan suku diserukan dalam satu paket. Ini dilakukan sebagai usaha para politikus untuk memperluas dan mengentalkan basis elektorat mereka.
Di Kalimantan Barat, misalnya, memilih gubernur Dayak secara (hampir) otomatis akan juga memilih gubernur Kristen. Persis seperti yang kita dapati pada pemilihan gubernur DKI 2017. Memilih gubernur muslim berarti memilih gubernur pribumi.
Dilihat dari sisi pembiayaan, mengeksploitasi identitas adalah cara lebih murah untuk memobilisasi pemilih. Namun, risikonya juga sangat tinggi. Politik identitas adalah politik pengelompokan (grouping) dan pembelahan (dividing).
Politik identitas mungkin lebih efektif untuk memobilisasi pemilih. Namun, karena politik semacam ini memerlukan perangkulan satu kelompok seraya menyingkirkan kelompok lain, kesulitannya tidak terletak pada saat kampanye. Mereka yang mengeksploitasi identitas biasanya akan sulit memerintah (governing). Pertarungan identitas cenderung brutal dan mereka yang disingkirkan akan sulit sembuh dari rasa sakit setelah pemilihan.
Keluar dari Demokrasi Uang
Apakah pemilih lebih terikat oleh loyalitasnya pada identitas atau tergoda oleh uang?
Hampir seluruh politikus lokal yang saya temui menjawab pilihan bisa goyah karena uang. Pemilih, khususnya di kalangan bawah, adalah orang-orang pragmatis, demikian kata mereka. Susah sekali mengikat mereka secara ideologis.
Tidak terlalu sulit sebenarnya memahami mengapa uang menjadi panglima. Sistem politik kita di masa pasca-Soeharto tidak dibangun oleh pertarungan untuk mewujudkan ide—di mana orang punya ide, menyebarkan ide itu, dan berusaha mencari dukungan untuk mewujudkan ide itu.
Memang ada orang yang berkumpul atas dasar kesamaan ide, seperti ide untuk mewujudkan khilafah, misalnya. Namun, karena yang dimainkan adalah ide yang berdasarkan identitas keagamaan, ide ini sulit untuk diwujudkan. Seperti yang sudah kita lihat, politik identitas mengedepankan perangkulan (inclusion) dan penyingkiran (exclusion).
Ada satu masa satu partai mendasarkan politiknya pada ide. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya. Namun, seperti kita ketahui, dengan cepat partai ini tidak mampu bersaing karena tidak memiliki uang. Akhirnya, kita tahu PKS pun larut ke dalam politik uang dan beberapa fungsionarisnya jatuh ke dalam lingkaran korupsi.
Politik Indonesia pada masa ini lebih berbau transaksional. Tidak ada ikatan antara pemilih dan yang dipilih, karena suara pemilih bisa dibeli, hubungan itu terputus setelah transaksi selesai. Pemilih pun tidak bisa meminta pertanggungjawaban legislator atau kepala daerah yang terpilih karena tanggung jawab itu sudah dibayar tunai dalam pemilihan. Keadaan ini tentu sangat tidak sehat untuk demokrasi.
Adakah cara untuk keluar dari demokrasi uang?
Saya tidak ingin pesimis. Pada banyak kesempatan, saya menjumpai politikus-politikus yang juga berdedikasi melayani konstituen. Secara perlahan-lahan, mereka menjelaskan kepada para pemilihnya soal apa konsekuensinya memilih dia duduk di lembaga legislatif.
Mereka yang mencalonkan diri di kabupaten mengingatkan pemilih soal hal-hal yang menjadi tanggung jawab pemerintahan kabupaten seperti pendidikan dasar yang baik, saluran-saluran drainase dan sanitasi, perbaikan gang dan jalan kabupaten, dan sebagainya.
Sebagian besar dari mereka adalah politikus profesional. Pada saat bersamaan, saya juga tahu mereka adalah pemain-pemain, para calo proyek, para pengatur kontrak, dan sebagainya.
Bagaimanapun, mereka adalah politikus. Meski demikian, perlu dicatat: mereka semakin sadar bahwa eksistensi mereka ditentukan oleh rakyat yang memilihnya. Ini mungkin membangkitkan harapan, meski kecil.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.