Menuju konten utama

Analisis Pakar Soal Demo Sopir Truk Tolak Aturan ODOL

Djoko Setijowarno bilang, jika aturan ODOL diterapkan, yang pertama jadi korban adalah pengemudi atau sopir truk.

Analisis Pakar Soal Demo Sopir Truk Tolak Aturan ODOL
Sejumlah sopir truk melakukan aksi solidaritas parkir truk untuk menyikapi aturan Over Dimension Over Load (ODOL) di jalan Brigjen Sudiarto, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (19/6/2025). Aksi spontanitas tanpa izin atau pemberitahuan kepada kepolisian tersebut sempat menyebabkan arus lalu lintas tersendat sekitar tiga kilometer dari arah Semarang-Purwodadi maupun sebaliknya namun unjuk rasa itu bisa diakhiri dengan dialog persuasif dari Polrestabes Semarang. ANTARA FOTO/Aji Styawan/nym.

tirto.id - Pakar transportasi, Djoko Setijowarno, menyampaikan analisa terkait alasan ribuan sopir truk dari berbagai daerah turun ke jalan pada Kamis (19/6/2025) lalu. Tuntutan utama massa adalah menolak aturan over dimention over loading (ODOL) yang termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Djoko menilai memang harus aturan terkait batas ukuran dan muatan terhadap angkutan barang. Namun dia menegaskan, jika aturan ODOL jadi diterapkan pada 2026, yang pertama kali akan menjadi korban adalah para pengemudi atau sopir truk.

Djoko menjelaskan, jika terjadi pelanggaran aturan ODOL, maka yang akan ditindak bahkan dapat dipidanakan adalah sopir truk. Sedangkan, pengusaha pemilik barang atau kendaraan justru tak tersentuh hukum.

"Penegakan hukum itu boleh, tapi di akhir. Jadi, kita benahi dulu dari hulu ke hilir. Revisi undang-undang ini perlu, tapi itu menyebabkan sebagian sopir menjadi korban. Sebagian sopir ya, nggak seluruhnya," jelas Djoko, kepada Tirto, Sabtu (21/6/2025).

Dia mengaku sudah seringkali menyarankan pemerintah untuk merevisi aturan ODOL. Namun bukan berarti patut menjadikan sopir sebagai korban dan bertanggungjawab penuh atas muatan berlebih dari angkutan yang dibawanya. Revisi aturan ODOL diharapkan Djoko dapat menjadi bekal keselamatan bagi para sopir yang tiap hari mengaspal membawa muatan.

"Banyak kok kita usulkan pasal-pasal. Itu soal keselamatan, bukan hal lainnya," imbuh dia.

Di sisi lain, Djoko menyoroti upah yang terlalu rendah bagi supir. Menurutnya, itu juga bisa jadi alasan para sopir berani membawa muatan berlebih.

Berdasar kajian Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan (Kemenhub), rata-rata upah sopir di Indonesia hanya sekitar Rp1,4 juta per bulan, sangat jauh dibandingkan rata-rata gaji sopir di Thailand yang mencapai Rp25 juta per bulan.

"Dengan seperti itu kan sopir jadi bisa mikir macam-macam. Bawa [muatan] dari Jawa Tengah ke Jakarta, dalam pikirannya saya pulang harus bawa [muatan banyak], biar saya dapat untung banyak," jelas Djoko.

Untuk menghindari pemikiran-pemikiran seperti itu, Djoko melihat bahwa pemerintah harus turut memperhatikan kesejahteraan para sopir, seperti halnya pekerja lainnya.

"Jangan menganaktirikan. Driver ojol dikasih [sembako], di depan istana lagi ngasih-nya langsung sama Presiden. Kita sama-sama rakyat. Tidak ada sopir pulang bawa bantuan [mengangkutkan] beras, itu tidak mungkin kita bisa menikmati beras di rumah kita," lanjut Djoko.

Berharap Aturan ODOL Segera Diterapkan

Dihubungi terpisah, Peneliti Senior INSTRAN (Inisiasi Strategis Transportasi), Deddy Herlambang, menjelaskan sejatinya ODOL berbeda rujukan hukumnya. OD atau over dimension (kelebihan ukuran sarana) adalah pelanggaran pidana karena telah mengubah ukuran sarana truk yang tak sesuai Surat STRUT (Sertifikat Registrasi Uji Tipe) yang diterbitkan oleh Kemenhub. Ada hukum pidana yang menghantui jika aturan OD dilanggar.

"Persoalan ini sesuai pada hukum di UU 22 Tahun 2009 tentang LLAJ Pasal 277 bahwa adanya pelanggaran pidana mengenai sarana truk over dimension. Mengenai penyidik OD ini harus dilakukan oleh pihak kepolisian sesuai aturan hukum pidana," jelasnya.

Sementara OL atau over loading adalah kelebihan berat muatan hanya disepakati sebagai denda perdata. Denda pelanggaran kelebihan muatan angkutan barang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Kelebihan Muatan Angkutan Barang.

Besaran denda ditetapkan oleh Pemda masing-masing dan disetorkan ke kas daerah yang akan diperiksa oleh BPK RI. Secara teknis, denda kelebihan muatan ini ditentukan setelah truk masuk ke jembatan timbang di Unit Pelaksana Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor (UPPKB).

"Mengenai penyidik OL dapat dilakukan oleh Pihak PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) karena pelanggaran muatan sarana jalan (kendaraan/truk) sesuai UU 22 Tahun 2022," tambah Deddy.

Dengan bahayanya keberadaan truk ODOL, Deddy meminta agar pemerintah segera menerapkan kebijakan yang telah tertunda sejak 2016 ini.

Kendati begitu, Deddy menilai bahwa untuk dapat memberantas ODOL, dibutuhkan dukungan politis dari pemerintah. Misalnya, seperti melalui pembentukan Satuan Tugas (satgas), menerbitkan Peraturan Presiden yang dapat mengatur kementerian dan lembaga di bawah presiden langsung, hingga pada reshuffle pejabat terkait yang tidak serius hapus truk ODOL.

"Mekanisme dan pengawasan truk ODOL sangat belum optimal, secara teknis perlu manggalakan kembali jembatan timbang (UPPKB). Saat ini jembatan timbang tidak wajib truk untuk masuk menimbang muatan," tandasnya.

Baca juga artikel terkait TRUK ODOL atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Siti Fatimah