Menuju konten utama

Ampuhkah Jalan Berbayar Elektronik (ERP) Atasi Kemacetan?

Menjadi Tua di Jakarta."> “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin." Seno Gumira Ajidarma dalam Menjadi Tua di Jakarta.

Ampuhkah Jalan Berbayar Elektronik (ERP) Atasi Kemacetan?
Sejumlah kendaraan melaju di bawah gerbang electronic road pricing (ERP) di Jalan HR Rasuna Said Jakarta, Kamis (13/11). Kementerian Perhubungan mendorong ERP segera diterapkan di jalanan Jakarta secepatnya sebagai salah satu cara mengatasi kemacetan yang semakin parah di kawasan Ibukota. ANTARA/Andika Wahyu

tirto.id - Wacana penerapan Electronic Road Pricing (ERP) kembali mengemuka setelah Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan bakal memberlakukan aturan tersebut pada 2019. Jika ERP diberlakukan, pengguna kendaraan bakal dipungut biaya saat melewati sejumlah ruas jalan di Jakarta pada jam-jam tertentu.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah menyebutkan ERP akan diberlakukan di sepanjang jalan dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) ke Senayan dan dari Bundaran HI ke Jalan Medan Merdeka Barat.

“Kami belum tentukan berapa tarifnya, namun yang pasti akan bersifat fluktuatif. Artinya, saat jam sibuk, tarifnya akan lebih tinggi, karena ERP ini bertujuan mengurangi kemacetan,” ujar Andri, seperti dilansir Antara.

Tomtom, perusahaan pembuatan GPS, mengemukakan indeks kemacetan sejumlah kota di dunia berdasarkan telaah data pergerakan GPS setiap kendaraan pada 2016. Hasilnya, waktu tempuh kendaraan di Jakarta bertambah 63 persen saat melakukan perjalanan pagi hari atau 95 persen saat melakukan perjalanan sore hari. Biang kerok pertambahan waktu tempuh itu adalah macet.

Merujuk data Tomtom, seharusnya Anda menempuh perjalanan dari rumah ke kantor selama 60 menit. Namun, waktu tempuh Anda bisa mencapai 100 menit (1,5 jam) karena macet pagi hari. Dan, saat pulang dari kantor ke rumah sore hari, waktu tempuh Anda bisa mencapai 120 menit (2 jam).

Sebelum ERP, Pemda DKI sempat menerapkan kebijakan Three-in-One dan Ganjil-genap untuk membatasi jumlah kendaraan pribadi di Jakarta. Namun, keduanya dianggap gagal.

Apakah ERP jurus ampuh mengatasi macet? Jakarta perlu berkaca pada kota lain.

Dari Stockholm dan Singapura

Menurut “The Case for Electronic Road Pricing” ada 77 gerbang ERP di Singapura pada 2014 yang ditempatkan di semua jalan yang menghubungkan kawasan pusat bisnis, jalan bebas hambatan, dan jalan arteri berlalu-lintas padat.

Supaya terintegrasi dengan ERP, pengemudi di Singapura harus memasang perangkat In-vehicle Unit (IU) di kendaraan mereka. Dalam perangkat itu lah kartu elektronik bernama CashCard ditempatkan.

Ketika sebuah kendaraan melewati gerbang ERP, sistem secara otomatis memindai IU dan mengurangi saldo kartu elektronik milik pengemudi. Dan, jika terjadi pelanggaran, misalnya kendaraan melaju tanpa IU atau saldo CashCars tidak cukup, sistem akan mengirim gambar kendaraan ke pusat kendali ERP. Gambar itu menjadi bukti untuk memungut biaya dan denda terhadap pengemudi nakal tersebut.

Tarif ERP di Singapura pun berbeda berdasarkan jenis kendaraan dan waktu melintas. Misalnya mobil yang melewati gerbang ERP Orchard Road pada pukul 12.00-17.30 bakal ditarik 0,5 dolar Singapura, sedangkan sepeda motor hanya perlu bayar separuh harga, sebesar 0,25 dolar Singapura. Namun, jika kendaraan lewat gerbang yang sama pada jam-jam padat, 18.00-18.55, ia bakal kena biaya 2 dolar Singapura untuk mobil dan 1 dolar Singapura untuk sepeda motor.

Singapura pun menyesuaikan tarif ERP setiap 4 bulan. Tarif ERP Orchard Road di atas berlaku dari 5 Februari 2018 hingga 6 May 2018. Pengemudi dapat memutakhirkan tarif tersebut melalui situs One Monitoring yang dikelola Land Transport Authority (Dinas Transportasi Darat) Singapura.

Skema serupa juga dapat dijumpai di Stockholm, ibukota negara-kerajaan yang disebut Sandiaga Uno bakal berinvestasi dalam pengembangan ERP di Jakarta. Bedanya dengan Singapura, untuk memungut biaya jalan, Stockholm menerapkan sistem pemindaian plat nomor kendaraan.

“Ketika Anda berkendara melewati titik kontrol (ERP), Anda melewati kamera yang mengambil gambar pelat nomor kendaraan Anda. Gambar itu dikirim ke Trasnportstyrelsen (Dinas Transportasi Swedia) di mana kendaraan diidentifikasi. Kemudian Trasnportstyrelsen mengirimkan slip pembayaran kepada pemilik kendaraan jika kendaraan tersebut terdaftar di Swedia,” sebut keterangan Trasnportstyrelsen mengenai ERP di Swedia.

Jenis kendaraan yang dikenai biaya ERP di Stockholm pun berbeda dengan Singapura. Mobil, truk dan bus harus membayar ERP. Sedangkan sepeda motor dan moped tidak perlu.

"Selama dua tahun pertama diberlakukan, volume lalu lintas Stockholm menurun sebesar 25 persen atau setara dengan menghapus 1 juta kendaraan dari jalan per satu hari. Pungutan biaya dari ERP pun mencapai mencapai sekitar $300.000. Pendapatan dari kemacetan telah digunakan untuk memperbaiki layanan transportasi lainnya," sebut Roland Wong dalam "Seven ways cities around the world are tackling traffic".

Kesuksesan Singapura

Singapura, dengan luas 719.9 km² yang membuat ia beda tipis dengan luas Jakarta itu, menerapkan ERP sejak 1998. Namun, cikal bakalnya sudah ada sejak 1975 kala Pemerintahan Singapura memungut biaya secara manual kepada para pengemudi melalui program Area Licensing Scheme (ALS) in 1975.

Merujuk data Tomtom, Indeks Kemacetan di Singapura terus membaik dari 2014 hingga 2016. Pada 2014 Singapura menempati posisi ke-31. Sedangkan pada 2015, Singapura berada di posisi 38.

Sementara itu, Singapura menempati posisi ke-45 pada 2016. Waktu tempuh kendaraan di Singapura bertambah 53 persen saat melakukan perjalanan pagi hari atau 60 persen saat melakukan perjalanan sore hari.

Menurut Gopinath Menon, konsultan transportasi dan peneliti senior di Nanyang Technological University (NUS), Singapura, hal itu disebabkan membaiknya sistem transportasi umum, seperti adanya penambahan bus dan kereta. Menon juga mengapresiasi kebijakan ERP.

"ERP membantu menjaga laju lalu-lintas agar tetap masuk akal di wilayah kota (Singapura), dan mungkin juga ada faktor jam kerja yang diatur bergiliran yang membantu mengatur kemacetan pada malam hari," ujar Menon kepada Strait Times.

Infografik ERP

Namun, dalam makalah berjudul “Electronic Road Pricing: Experience & Lessons from Singapore” Menon dan Sarath Guttikunda memperingatkan soal pentingnya menyediakan moda transportasi alternatif sebelum menerapkan ERP.

“Menerapkan jalan berbayar, seharusnya hanya satu bagian dari strategi transportasi pemerintah, yang mencakup perencanaan transportasi yang baik, penyediaan jaringan jalan yang baik, penggunaan sistem transportasi cerdas untuk manajemen lalu lintas dan penyediaan sistem transportasi umum bis dan rel yang baik; semuanya terintegrasi penuh di kota-kota Singapura, London, dan Stockholm," sebut Menon.

Nyatanya, bukan Cuma Jakarta yang mendamba ERP. Times of India melaporkan Letnan-Gubernur Wilayah Ibukota Nasional Delhi Anil Baijal pada 2 Desember 2017 mengatakan kepada Kepolisian Lalu Lintas Delhi untuk mengkaji feasibilitas penerapan jalan berbayar dan jalur satu arah untuk sejumlah jalan di Delhi.

Mirip dengan Jakarta, Delhi juga sempat menerapkan skema ganjil-genap. Namun, beda dengan Jakarta, Delhi tidak menerapkan itu secara terus-menerus. Pada tahun 2016, skema tersebut diberlakukan dua kali, yakni 1-15 Januari dan 15-30 April. Sedangkan pada 2017 itu diberlakukan pada 13-18 November. The Wire melaporkan keputusan tersebut muncul saat tingkat polusi udara melonjak di Delhi.

Baca juga artikel terkait SISTEM ERP atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Teknologi
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani