tirto.id - Senin (6/11) lalu, publik Amerika Serikat kembali dikejutkan peristiwa penembakan massal. Setelah pada 1 Oktober lalu 59 orang tewas di sebuah konser di Las Vegas, kini giliran penembakan massal menyasar sebuah gereja di Sutherland Springs, Texas. Dikabarkan 26 orang tewas.
Freeman Martin, jubir Departemen Keamanan Publik Texas menggambarkan sosok tersangka penembak tersebut sebagai seorang pria kulit putih muda berusia 20-an awal, mengenakan pakaian berwarna hitam dan rompi peluru, serta membawa senapan serbu.
Sebelum masuk ke First Baptist Church, ia menembaki bangunan dari luar lalu masuk ke dalam dan menghamburkan peluru ke seluruh jemaat misa yang tengah berlangsung.
Pendeta First Baptist Church, Frank Pomeroy, mengatakan kepada ABC News bahwa anak perempuannya yang berusia 14 tahun, Annabelle, terbunuh dalam penembakan tersebut.
Pria penembak kemudian melarikan diri dan menabrakkan mobilnya di Guadalupe Contry. Polisi menemukan tersangka tewas di mobil yang sama, sementara belum jelas apakah meninggal karena peluru warga setempat atau bunuh diri.
Peristiwa ini menambah panjang daftar penembakan massal di AS. Merujuk data Mother Jones, penembakan Gereja First Baptist ini adalah penembakan massal ke-79 sejak tahun 1982.
Hukum di AS memperbolehkan tiap warganya memiliki senjata api. Berbagai toko senjata api mudah ditemui di negara ini. Ada kecenderungan permintaan senjata api naik tiap kali insiden penembakan massal terjadi.
Baca juga: Insiden Penembakan Massal Memicu Belanja Senjata Api di AS
Majalah Slate menulis, negara semestinya bisa menekan angka kematian konyol akibat aksi koboi pemilik bedil. Legislatif harus memberlakukan pajak baru untuk dealer dan produsen senjata. Dana pajak ini nantinya dialokasikan khusus untuk membayar tagihan medis korban kekerasan senjata.
“Industri senjata api bertanggung jawab atas krisis senjata api di Amerika. Mereka harus ganti rugi,” tulisnya.
Bedil tak hanya mudah dibeli di AS, bahkan sektor bisnis industri senjata api di negeri Paman Sam telah menguasai dunia selama beberapa dekade terakhir.
Menurut data yang dihimpun Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), ekspor AS memenuhi permintaan sistem pertahanan rudal dan pesawat tempur yang persentasenya naik 21 persen dalam kurun waktu 2011 sampai 2016.
Baca juga: Sunyi Tragedi Senjata Api
Jepang, Kuwait, Polandia, Qatar, Korea Selatan, Arab Saudi, Taiwan dan Uni Emirat Arab adalah sederet negara yang memakai sistem pertahanan rudal Patriot PAC-3 dari AS. Jika ditotal, AS meraup porsi 33 persen dari keseluruhan ekspor senjata dunia selama kurun waktu tersebut.
Timur Tengah adalah kawasan yang paling banyak menerima ekspor senjata dan peralatan militer dari AS sebesar 47 persen, dengan Arab Saudi sebagai negara pengimpor terbanyak (13 persen). Disusul kawasan Asia dan Oceania (35 persen), Eropa (10 persen) dan sisanya (2.3 persen) untuk Afrika.
Pada 2016 sendiri, Amerika masih memuncaki nomor wahid perdagangan senjata yang tercatat senilai $9,9 miliar. Posisi puncak ini sudah dipegang AS sejak tahu 1950 saat SIPRI memulai penghimpunan data.
Rusia membuntuti AS dalam hal perdagangan ekspor senjata dan peralatan militer. Peningkatan selama kurun waktu 2012 sampai 2016 sebesar 4.7 persen. Importir senjata dari Rusia mayoritas didominasi kawasan Asia dan Oceania yang menyumbang 68 persen, disusul Afrika 12 persen, Timur Tengah 8,1 persen dan Eropa 5.9 persen.
India sebagai negara terbanyak yang membeli senjata dengan 38 persen. Disusul Vietnam dan Cina sebesar 11 persen dan negara-negara lainnya seperti Aljazair, Azerbaijan hingga Venezuela. Secara umum, puncak kejayaan ekspor senjata dari Rusia terjadi selama kurun 2011 sampai 2013. Nilai ekspor senjata Rusia pada tahun 2016 sendiri tercatat $6,4 miliar.
Ekspor senjata dan peralatan militer Rusia pada akhir 2017 ini diperkirakan menembus angka $15,3 miliar. Jika benar, jumlah ini fantastis dan rekor tertinggi setelah bubarnya Uni Soviet.
"Berdasarkan hasil Januari sampai September tahun ini, portofolio pesanan untuk kerjasama teknis militer melampaui $45 miliar. Berdasarkan rencana 2017, pengiriman ekspor akan mencapai $15,3 miliar," terang Putin pada pertemuan komisi kerjasama teknis militer Rusia dengan negara-negara asing seperti dikutip Xinhua.
Menurut Putin, kuantitas dan kualitas ekspor Rusia didorong oleh faktor penguatan stabilitas ekonomi dan keuangan di perusahaan-perusahaan pertahanan Rusia, selain juga peningkatan potensi teknologi dan produksi, selama beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Ramzan Kadyrov: Seleb Instagram & Diktator Piaraan Putin
Sementara AS dan Rusia mendominasi peringkat pertama dan kedua dalam hal ekspor senjata ke berbagai belahan dunia, Cina sebagai pemain besar mewakili Asia mulai terjun ke pasar ekspor senjata api. Pada tahun 2016 saja, Cina sudah mampu masuk peringkat lima besar dengan nilai ekspor sebesar $2,1 miliar.
Lonjakan ekspor senjata dari Cina meningkat 74 persen dalam dua kurun waktu, 2007- 2011 dan 2012- 2016. Pada periode 2007-2011, Cina mengirimkan senjata dan peralatan militer ke 38 negara, dan ke 44 negara pada 2012-2016.
Sebanyak 71 persen senjata dari Cina masuk ke kawasan Asia dan Oceania, diikuti Afrika 22 persen dan sisanya Timur Tengah 1,7 persen. Negara-negara Afrika tampaknya meminati senjata produksi Cina, terbukti dari lonjakan permintaan sebanyak 122 persen dalam kurun waktu 2012-2016.
Baca juga: Tentang Pasokan Ribuan Senjata dari Cina pada 1965
Bagaimana dengan data negara-negara pengimpor senjata terbesar? SIPRI melaporkan bahwa 155 tercatat mengimpor senjata-senjata besar pada periode 2012-2016. Lima besar negara importir terbesar ialah India, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Cina dan Aljazair. Jika digabungkan, mereka menyumbang 34 persen dari total impor senjata selama periode tersebut.
Pasokan Pemberontak dan Raksasa Industri Persenjataan
Laporan SIPRI 2015 menunjukkan perusahaan senjata dan pertahanan asal AS mendominasi penjualan senjata dunia.
Lockheed Martin, sebuah raksasa perusahaan yang memproduksi peralatan kedirgantaraan, pertahanan, keamanan dan teknologi canggih lainnya memuncaki peringkat pertama dengan nilai penjualan mencapai $36.440 juta pada tahun 2015. Sebesar 79% dari produksi Lockheed Martin berkutat pada sektor persenjataan dan peralatan militer.
Pesawat Hercules adalah salah satu produk Lockheed Martin yang bermarkas di Maryland, AS. Perusahaan yang sudah berdiri selama 22 tahun ini mempekerjakan 97.000 orang dari seluruh dunia, dipimpin oleh perempuan bernama Marillyn Hewson.
Posisi kedua industri pertahanan yang mencatatkan penjualan terbesar diisi oleh perusahaan Boeing asal AS dengan nilai $27.960 juta. Peringkat ketiga diduduki BAE System dari Inggris dengan $25.510 juta. Meski nilai penjualannya di bawah Boeing, tapi pangsa penjualan senjatanya mencapai porsi 93% dari total produksi BAE System sendiri.
Baca juga: Kekuatan Militer Negara Tak Hanya Soal Jumlah Senjata
Laporan dari The Independentpada 2014 lalu menyebut perusahaan asal Inggris ini memenangkan kontrak senilai £ 4,4 miliar untuk memasok 72 jet tempur ke Saudi. Beberapa jet-jet ini digunakan untuk membombardir Palang Merah dan rumah sakit MFS di Yaman.
Sejumlah kritik lainnya terkait produksi senjata BAE System juga menyasar senjata nuklir, bom curah, hingga aksi spionase terhadap para aktivis anti perdagangan senjata.
Posisi keempat dan kelima diduduki lagi oleh perusahaan senjata asal Paman Sam. Raytheon mencatatkan penjualan $21.780 juta; 94 persennya adalah produk senjata untuk keperluan militer seperti rudal. Salah satu produknya adalah BGM-109 Tomahawk, sebuah peluru kendali jarak jauh berkecepatan subsonik.
Kemudian disusul oleh Northrop Grumman yang mencatatkan penjualan sebesar $20.060 juta dengan 84 persen produknya yang laku di sektor persenjataan. Beberapa produk Northrop Grumman adalah pesawat pembom berteknologi stealth B-2 Spirit, drone target tanpa awak BQM-74 Chukar, dan lain sebagainya.
SIPRI mengungkap, ada enam kelompok pemberontak yang turut menerima aliran senjata antara 2012 sampai 2016. Jika ditotal, enam kelompok tersebut menyumbang tidak lebih dari sekitar 0,2 persen volume aliran senjata global.
Baca juga: Masa Depan Rojava di Suriah
Di Ukraina misalnya, kelompok pemberontak menerima tank, anti-tank, kendaraan lapis baja, rudal darat udara dari Rusia. Kelompok Hamas dan Komite Perlawanan Rakyat (PRC) di Gaza mendapat rudal anti-tank kemungkinan dari Korea Utara yang dikirim melalui Iran, Sudan atau Mesir.
Beberapa kelompok bersenjata lainnya seperti di Suriah, Palestina hingga Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki yang rata-rata menerima rudal anti-tank dan peluru kendali negara pemasoknya tidak dapat diidentifikasi.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf