Menuju konten utama

Insiden Penembakan Massal Memicu Belanja Senjata Api di AS

Penjualan senjata api di AS cenderung meningkat setelah insiden penembakan massal.

Insiden Penembakan Massal Memicu Belanja Senjata Api di AS
Ilustrasi. Kepemilikan senjata api oleh sipil. Foto/iStock

tirto.id - Insiden di Las Vegas 1 Oktober lalu bukan insiden penembakan massal pertama di Amerika Serikat dan kemungkinan besar juga bukan yang terakhir. Jika disepakati bahwa penembakan massal memakan minimal empat korban jiwa, maka Amerika Serikat adalah juaranya.

Merujuk informasi yang dikumpulkan Mother Jones, ada 78 insiden penembakan massal yang terjadi di Amerika Serikat sejak datanya dihimpun pada 1982. Uniknya, hampir setiap tahun selalu terjadi insiden penembakan. Ini belum termasuk insiden yang menewaskan korban di bawah empat orang.

Terbaru, jumlah korban penembakan di Las Vegas sendiri berjumlah 59 orang, sementara 527 lainnya luka-luka. Para korban yang telah diidentifikasi ini adalah perawat, pegawai pemerintah daerah, pelajar dan petugas lepas. Stephen Paddock, nama sang pembunuh, menghamburkan peluru dari lantai 32 Hotel Mandalay Bay.

Menurut keterangan polisi, Stephen Paddock adalah warga kota kecil Mesquite di timur laut Las Vegas. Ia memesan kamar di Mandalay Bay pada 28 September.

Insiden di Las Vegas ini menjadi penembakan massal dengan korban terbanyak dalam sejarah AS.

Baca juga: Mengapa Teroris Menyerang di Konser Musik?

Kepemilikan senjata api diperbolehkan di AS dan dijamin oleh Amandemen Kedua Konstitusi AS yang diratifikasi pada 15 Desember 1791. Isinya memuat tentang hak membawa senjata api yang tidak bisa diganggu gugat oleh negara.

Sederet insiden berdarah akibat aksi koboi di tempat umum menuai gelombang protes mendesak pengendalian kepemilikan senjata api di ranah sipil. Tetapi hingga kini belum kunjung menemui titik terang karena terbelahnya suara antara pihak pro dan kontra.

Gun Policy menyebutkanpada 2014 saja ada 10.945 kematian akibat insiden penembakan senjata api. Jika dirata-rata, per 100.000 penduduk Amerika Serikat, terdapat 3.43 korban meninggal karena senjata api.

Baca juga: Sunyi Tragedi Senjata Api

Belum lagi soal catatan bunuh diri menggunakan senjata api. Pada 2014 tercatat 21,334 orang yang mengakhiri hidup dengan menembak diri sendiri. Ini artinya, per 100.000 penduduk ada 6.69 orang yang bunuh diri dengan senjata api.

Dengan banyaknya jumlah korban, perdebatan pun terus bergulir. Kalangan pendukung pembatasan senjata di ranah sipil selalu menghadapi kalangan anti-regulasi senjata api, yang selalu berargumen bahwa bedil dibutuhkan untuk kegiatan berburu, dan belakangan ini, untuk melindungi diri dari maraknya aksi kejahatan di dalam negeri.

Alasan keamanan pribadi justru mengawali lingkaran setan konsumsi senjata api.

Hasil penelitian dari Annals of Internal Medicine menyebutkan, setelah insiden penembakan massal di Newtown, terjadi 53 persen lonjakan pembeli di negara bagian California. Penembakan massal San Bernardino juga meningkatkan penjualan sebesar 41 persen di seantero negara bagian tersebut.

Baca juga: Keganasan Teroris Kulit Putih

Pada insiden teranyar di Las Vegas, saham produsen senjata macam Strum, Ruger & Co dan Smith & Wesson American Outdoor Brands meningkat tajam pada Senin (3/10) kemarin. Tren semacam ini umum di AS karena orang akan cenderung membeli senjata api sebagai alat pertahanan diri setelah menyaksikan kejadian mengerikan.

Merespons faktor kekhawatiran masyarakat, parlemen kembali menggodok regulasi soal pembatasan kepemilikan senjata api sehingga semakin sulit dibeli pascapenembakan massal.

Insiden kematian terkait senjata api bervariasi di seluruh Amerika Serikat. Di negara bagian Hawaii, ada 2,8 kematian akibat senjata api per 100.000 orang pada tahun 2014. Ini termasuk terendah dibanding negara bagian lainnya. Tetapi tetap saja masih tinggi jika dibandingkan negara maju berpendapatan tinggi lainnya di mana hanya seorang saja yang tewas akibat senjata api per 100.000 orang.

Dilansir dari 24/7 Wall St, negara bagian dengan tingkat kematian rendah akibat senjata api seperti Hawaii, Rhode Island, Massachusetts dan New York umumnya memang memiliki jumlah kepemilikan senjata api yang lebih sedikit dan regulasi senjata api yang lebih ketat, sehingga mempersulit orang untuk memiliki senjata.

Nasib Negara Lain yang Melegalkan Senjata Api

Bukan negeri Paman Sam saja yang mengizinkan kepemilikan sipil atas senjata api. Negara maju lainnya seperti Jepang misalnya, dengan populasi penduduk sekitar 126 juta jiwa, membolehkan penduduk sipil memiliki senjata api.

Tetapi Jepang masuk dalam salah satu negara dengan tingkat kejahatan senjata api terendah di dunia. Sebagai perbandingan, pada 2014 hanya ada enam korban tewas akibat senjata api, sementara AS mencapai 33.599 korban.

Memiliki sepucuk senapan api bukan perkara gampang di Jepang, ada serangkaian tes ketat untuk menguji kesabaran calon pembeli. Anda wajib datang mengikuti kelas sehari suntuk hanya untuk mengikuti ujian tulis dan wajib lulus tes menembak dengan nilai minimal 95 persen.

Tes kesehatan mental dan obat-obatan terlarang juga berlaku buat calon pembeli. Catatan kriminal pun diperiksa. Jika calon pembeli punya kaitan dengan kelompok ekstremis, namanya langsung dicoret. Tak hanya itu, keluarga calon pembeli dan rekan kerja pun turut diperiksa.

Kecuali di negara-negara bagian yang membatasi penjualan jenis-jenis senjata api tertentu, pistol, shotgun, hingga senapan otomatis dan semi-otomatis mudah ditemukan di toko-toko seluruh AS. Sementara Jepang hanya mengizinkan shotgun dan senapan angin yang umumnya digunakan untuk berburu.

Baca juga:Muslim di Amerika Terancam Masuk Kamp Pengasingan

Selain membatasi jumlah toko senjata api, undang-undang di Jepang juga mengatur bahwa orang hanya boleh membeli peluru jika jika ia membawa bekas selongsong peluru yang sudah pernah dipakai.

Selain Jepang, Swiss adalah salah satu negara di Eropa yang mengizinkan kepemilikan senjata bagi warga sipil. Dengan populasi penduduk sekitar delapan juta lebih, kecintaan masyarakat akan senjata api barangkali sangat mirip dengan warga AS. Orang Swiss bangga ketika memiliki senjata dan menentengnya kemana-mana. Saking umumnya, tak ada mata yang sinis melihat seorang sipil sedang naik bus atau bersepeda sambil memanggul senapan.

Baca juga: Fasis yang Baik adalah Fasis yang Tobat

Tahun 2016 tercatat ada dua juta senjata api yang beredar di lingkungan sipil. Tetapi tingkat pembunuhan dengan senjata api masih rendah. Tahun 2015 tercatat 17 korban tewas, sedangkan setahun sebelumnya, hanya tujuh orang yang tewas karena senjata api.

Dalam satu dekade terakhir, korban senjata api tertinggi hanya mencapai 24 orang saja di tahun 2009. Pada 2014, per 100.000 penduduk Swiss hanya terjadi 0.09 kasus penembakan, ini sangat kontras dengan kondisi di Amerika Serikat yang mencapai angka 3.43 di tahun yang sama.

Kepemilikan senjata api di Swiss berakar kuat pada tugas patriotik warganegara serta identitas nasional. Ada alasan historis dari tradisi menyimpan bedil di dalam rumah: menurut kepercayaan tradisional, musuh bisa menyerang Swiss yang notabene berukuran kecil. Selama Perang Dunia Kedua, Swiss memang berisiko dihabisi Jerman, meski akhirnya bisa dihindari.

infografik negara sebebas peluru

Tetapi bukan berarti tradisi menyimpan bedil di lemari ini sakral dan tak dikritik. Pada 2001, insiden penembakan massal pernah terjadi di Swiss. Seorang warga melepaskan tembakan di dalam gedung parlemen daerah dan menewaskan 14 orang. Peristiwa ini menjadi satu-satunya penembakan massal dalam sejarah modern Swiss.

Masyarakat pun memprotes pemerintah untuk menerbitkan aturan yang lebih ketat soal kepemilikan senjata api. Tetapi pemerintah dan kubu pro senjata api berpendapat bahwa regulasi yang mengatur kepemilikan senjata di Swiss sudah cukup ketat.

Baca juga: Kiprah El Chapo, Raja Narkoba Asal Meksiko

Senjata api hanya boleh dimiliki oleh warga negara yang berusia di atas 18 tahun, telah mendapat izin dari pemerintah, tidak memiliki catatan kriminal atau riwayat gangguan mental. Pembelian harus melalui toko resmi yang tercatat negara. Jenis senjata api otomatis tidak diperkenankan dijual maupun dimiliki, tetapi jenis senjata semiotomatis seperti yang dijual di AS masih diperbolehkan.

Sedangkan di negara-negara Amerika Latin, tingkat pembunuhan menggunakan senjata api melampaui AS. Honduras misalnya, pada 2013 tercatat rasio 66.64 korban tewas per 100 ribu penduduk akibat senjata api. Sementara di El Savador pada 2011, tercatat rasio 45.6 korban dari 100 ribu penduduk tewas karena senjata api.

Dari penembakan massal paling brutal di Las Vegas, suara-suara menekan pemerintah untuk memperketat kepemilikan senjata api kembali mengemuka. Tiap tahun insiden baru terjadi, dan suara-suara itu makin kencang.

Baca juga artikel terkait SENJATA API atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Hukum
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf