tirto.id - Stephen Paddock memakai palu untuk memecah dua kaca jendela kamar tempatnya menginap, di lantai 32 hotel The Mandala Bay, Las Vegas. Dari sana, pemandangan di bawah tampak jelas. Ada festival musik country Route 91 Harvest Festival di seberang jalan. Jaraknya hanya sekitar 100 meter.
Malam sudah menua. Bintang musik country Jason Aldean sedang tampil, headliners di hari terakhir dalam festival 3 hari itu. Sekitar 22 ribu penonton memadati area. Saat itulah terdengar bunyi yang tidak teratur.
Traaat-traaat-traaat. Traaat. Traaat.
Penonton yang awalnya fokus ke panggung, mengalihkan pandangan ke kanan, arah suara. Suara mirip letusan petasan itu makin sering. Penonton bingung. Musik berhenti. Orang-orang sadar itu suara tembakan, Aldean lari ke belakang panggung. Penonton berhamburan. Beberapa orang bergelimpangan.
Penembakan yang dilakukan Paddock adalah penembakan massal paling berdarah sepanjang sejarah Amerika Serikat. Penembakan yang dilakukan Aldo menewaskan setidaknya 59 orang dan lebih dari 500 orang terluka.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyebut tragedi ini sebagai, "tindakan yang amat keji."
"Persatuan kita tidak boleh dirusak oleh kejahatan, ikatan kita tidak bisa diputuskan oleh kekerasan. Dan meskipun kita merasakan kemarahan yang amat besar terhadap pembunuhan terhadap saudara-saudara kita, adalah cinta yang bisa membuat kita bersatu hari ini, dan selamanya."
Tragedi penembakan ini menambah daftar panjang serangan yang dilakukan di konser musik, juga klub malam.
Baca juga:59 Tewas dan 527 Korban Cedera Akibat Penembakan Las Vegas
Menimbulkan Ketakutan Massal
Pada 22 Mei 2017, penyanyi Ariana Grande tampil di Manchester Arena, Inggris. Ia adalah penyanyi idola generasi baru. Pada konser yang termasuk dalam bagian tur Dangerous Woman itu, 14.200 penonton hadir. Kebanyakan anak muda yang dibarengi oleh orangtuanya.
Pada pukul 22.31 waktu setempat, konser usai. Penonton mulai pulang dan keluar dari empat pintu. Saat itulah Salman Ramadan Abedi menekan pemicu bom bunuh diri. Kepanikan terjadi. Menurut koroner yang memeriksa ledakan, bom ini didesain untuk membunuh orang dalam jumlah banyak, dan dalam jarak yang luas. Menurut tim investigasi, ledakan bom ini membunuh orang dalam jarak 20 meter. Karena ledakan ini, 23 orang tewas, dan 250 lainnya terluka.
Jika merunut lagi ke belakang, ada beberapa penyerangan yang terjadi di konser musik, festival musik, atau klub malam. Salah satu yang paling mengejutkan dunia internasional adalah serangan di gedung pertunjukan Bataclan, Paris, 13 November 2015 silam.
Serangan itu dilakukan saat band Eagles of Death bermain di hadapan sekitar 1.500 orang. Ketika mereka tengah bermain, sebuah mobil Volkswagen Polo berwarna hitam berhenti di depan gedung. Tiga orang turun dengan menenteng senapan serbu, lalu memasuki tempat konser. Mereka mulai menembaki penonton yang awalnya menganggap serangan itu sebagai trik api (pyrotechnic). Berlangsung selama 20 menit, korban penembakan yang tewas mencapai 90 orang.
Baca juga:Sting Gelar Konser di Bataclan
Sudah jadi pemahaman umum bahwa tujuan utama teror adalah menimbulkan rasa takut. Ada beberapa analisis mengapa sejak dua tahun terakhir banyak serangan dilakukan di konser, festival musik, atau klub malam, tidak melulu menyerang fasilitas umum seperti bandara atau terminal yang semakin ketat penjagaannya.
Pertama: acara seperti konser atau festival selalu dihadiri oleh banyak orang, dengan tingkat kepadatan penonton yang tinggi. Dengan kondisi seperti itu, serangan bisa memakan korban dalam jumlah banyak. Korban dalam jumlah banyak sudah pasti melahirkan kepanikan dan ketakutan yang lebih besar. Sesuatu yang diinginkan oleh para teroris.
Kedua: dengan tingkat kepadatan tinggi, penonton akan sulit melarikan diri atau bersembunyi. Dalam situasi seperti itu, korban jadi lebih mudah dibidik. Seperti yang dilakukan oleh Paddock. Meski ia menembak dari jarak jauh, dan dari lantai 32, tembakan ke arah puluhan ribu penonton masih bisa menewaskan 59 orang dan melukai ratusan orang lain.
Ketiga: di tempat tertutup seperti klub malam, susah untuk mencari jalan keluar saat kepanikan terjadi. Keadaan itu membuat para penembak bisa dengan santai menarget korban, bahkan jika menembak dengan asal-asalan sekalipun. Itu yang dilakukan oleh tiga penembak di Bataclan. The New York Times, mengutip salah satu saksi mata, menulis bahwa tiga orang penembak ini amat tenang.
"Sangat yakin dengan tujuan, dan mereka mengisi ulang senapan tiga atau empat kali."
Baca juga:Konser Bukan Ajang Menyabung Nyawa
James Harkin, Direktur Centre for Investigative Journalism dan penulis yang kerap menulis soal ISIS, punya analisis tambahan. Serangan-serangan ke konser musik kebanyakan memang diklaim oleh ISIS. Menurut Harkin, serangan ke titik budaya populer seperti konser dan klub malam adalah bentuk kebencian mereka terhadap musik pop barat dan kebebasan perempuan.
Target mereka jelas: perempuan, terutama yang berusia muda. Menurut ISIS, perempuan tidak seharusnya bebas. Menonton konser dan bersenang-senang dengan lawan jenis adalah bentuk dosa yang tak terampuni.
"Perempuan di daerah jajahan ISIS di Suriah dan Irak tetap tidak bisa bergerak tanpa penutup wajah, mereka dipaksa untuk memakai burka kapanpun mereka keluar rumah. Fungsi perempuan bagi ISIS, adalah untuk melahirkan bayi dan memelihara generasi baru anak-anak yang sesuai dengan bayangan anggota ISIS," tulis Harkin.
Analisis serupa juga ditulis oleh Emily Crockett untuk Rolling Stone. Menurut Crocket, demografi target serangan ini adalah anak gadis dan perempuan. Ariana Grande dan penonton di konsernya jadi target karena lagu-lagu Grande adalah, tulis Crockett, "musik feminis, melawan seksisme dan obyektifikasi perempuan [...] dan berani mengusung tema seks dan bagaimana seks seharusnya diekspresikan melalui berbagai cara."
Serangan-serangan seperti ini yang akan menimbulkan kepanikan dan ketakutan. Para orangtua akan takut membiarkan anaknya pergi ke konser musik. Orang yang datang ke klub malam pasti mulai was-was, karena kematian terasa sedekat urat nadi dan bisa datang kapan saja.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani