Menuju konten utama

Konser Bukan Ajang Menyabung Nyawa

Kecelakaan konser musik beberapa kali terjadi di penjuru dunia tak terkecuali di Indonesia. Kerumunan massa dalam konser yang tak didukung bangunan yang aman dan ramah bagi pengunjung akan memicu malapetaka.

Konser Bukan Ajang Menyabung Nyawa
Penonton memadati konser Guns n Roses di Phoenix, Amerika Serikat. FOTO/Katarina Benzova

tirto.id - Puluhan penonton memadati sebuah gudang bernama Ghost Ship. Awalnya gedung ini hanyalah sebuah gedung tak berfungsi. Hingga beberapa orang seniman menempatinya. Tentu ini menyalahi aturan, sebab Departemen Perencanaan dan Bangunan Oakland, AS mengatakan bahwa izin gedung ini hanya untuk gudang, bukan tempat tinggal.

Para seniman itu bersikukuh tinggal di sana. Sebenarnya ini keputusan yang menarik. Sebab sebuah gedung yang tadinya mirip gedung berhantu, kosong, lembab, dan ditinggalkan, kini disulap menjadi pusat kreativitas. Tempat itu disulap menjadi hunian yang artistik. Lengkap dengan aneka macam lukisan, berbagai bentuk furnitur, dan berjenis-jenis hiasan. Sekitar 20 orang seniman tinggal di sana. Termasuk fotografer dan pembuat film, Bob Mule.

Pada Minggu, 4 Desember 2016, diadakan sebuah pesta dansa. Laiknya pesta anak muda lainnya, pesta ini akan berakhir hingga dini hari. DJ Golden Donna, seorang DJ lokal terkenal, dijadwalkan untuk bermain di puncak acara.

Bob Mule sedang ada di ruangannya untuk melukis. Dari studionya, dia mencium bau asap. Segera, setelah keluar dari ruangan, Bob melihat api mulai menjilat. Dia berlari mencari tabung pemadam api, tapi kunci tabungnya tak bisa terbuka. Dia lari ke ruangannya untuk menyelamatkan kamera dan laptopnya. Saat itu dia melihat seorang seniman lain meminta tolong. Kakinya patah. Maka Bob menariknya.

"Tapi apinya sudah terlalu besar. Asap sudah membumbung dan... aku terpaksa meninggalkannya," kata Bob pada CNN.

Api itu--menurut kepolisian Oakland diperkirakan mulai tersulut pada pukul 11.30 malam-- kemudian membakar Ghost Ship beserta orang yang ada di dalamnya. Hingga berita ini ditulis, sudah 33 orang yang tewas. Padahal baru sekitar 20 persen bangunan yang disusuri. Pihak kepolisian Oakland mengatakan bahwa saat kejadian, ada sekitar 50-100 orang yang ada di dalam gedung.

Belum jelas apa penyebab munculnya api. Menurut salah seorang pemadam kebakaran Oakland, Teresa Deloach-Reed, api yang membesar membuat atap jatuh ke lantai dua, lalu jatuh ke lantai dasar. Gedung dipenuhi dengan benda-benda yang mudah terbakar: furnitur, manekin, lukisan, dan berbagai peralatan elektronika. Membuat api semakin cepat menyambar.

Menurut Teresa, gedung ini mirip dengan labirin. Membuat banyak orang yang bingung mencari jalan keluar, dan karenanya akan memperbesar kemungkinan kecelakaan. Selain itu, ternyata di dalam gedung tidak ada fire sprinkler (penyemprot air di bagian langit-langit gedung, yang menyemprot air sewaktu mendeteksi asap).

Tragedi ini adalah salah satu yang terburuk di Oakland. Sebelumnya, sebuah kebakaran terjadi di Oakland Hill pada 1991, menewaskan 25 orang.

Tragedi Dalam Konser

Salah satu teka-teki paling klasik dalam peradaban manusia adalah: apakah ia, kalau kecil jadi teman, kalau besar akan jadi musuh? Jawabannya juga standar: api.

Sudah ada banyak tragedi konser yang melibatkan api. Misalkan pada saat konser band Callejeros di Buenos Aires, Argentina pada 2004 silam. Konser diadakan di Cromanon, sebuah bar rock berkapasitas 1.000 orang. Nyatanya malam itu, bar diisi oleh sekitar 3.000 orang. Salah seorang penonton tolol kemudian menyulut kembang api. Dengan segera, api meloncat ke atap, dan membesar. Karena ruangan terlalu sesak, penonton dengan cepat kehilangan oksigen. Sebagian besar penonton meninggal karena menghisap asap. Sekitar 194 orang tewas di malam tragis itu.

Setahun sebelumnya, band rock 80-an, Great White mengadakan konser di Station Nightclub. Kali ini manajer yang bertingkah imbisi dengan memperagakan teknik pyro, dan kemudian menyambar tirai-tirai dekat panggung. Awalnya pengunjung senang. Hingga api membesar dan mereka sadar: api ini bukan bagian dai pertunjukan. Pintu masuk dan keluar jadi satu, menyebabkan kebuntuan dan kepanikan. Beberapa orang tewas terinjak. Tak kurang 100 orang tewas, termasuk gitaris Great White, Ty Longley.

Begitu pula tragedi yang terjadi pada 28 Mei 1977. Saat itu di gedung Beverly Hills Supper Club ada beberapa acara yang berbeda: pernikahan, makan malam, dan konser John Davidson. Gedung itu hanya punya satu pintu masuk dan keluar. Ketika api mulai membesar, orang-orang panik dan tak bisa keluar. Sekitar 165 orang tewas.

Dari kacamata yang lebih kecil, berbagai kecelakaan konser ini terjadi karena api. Namun jika dilihat dari kacamata yang lebih besar, tragedi ini disebabkan oleh nihilnya standar keamanan tempat konser. Mulai dari minimnya akses keluar-masuk gedung, ketiadaan pemadam api, hingga penonton yang tidak paham detil desain bangunan. Kombinasi absennya faktor keamanan itu yang kemudian melahirkan tragedi.

Tragedi dalam konser juga beberapa kali terjadi di Indonesia. Yang masih menyisakan duka adalah saat Band Beside manggung di gedung Asia Afrika Culture Center (AACC) Bandung, 2008 silam. Menurut kesaksian Eben, gitaris Burgerkill yang saat itu ada di dalam gedung, ada sekitar 800 orang penonton di gedung berkapasitas 500 orang. Saat polisi mendengar kabar ada seorang penonton meninggal karena kehabisan nafas, mereka membubarkan acara dengan tiba-tiba dan kasar. Membuat penonton panik dan berdesakan. Ada 10 orang tewas dalam tragedi ini.

Infografik Aman Konser

Bagaimana Memprediksi Kerumunan

Pada dasarnya konser adalah bentuk dari kerumunan massa. Dan sejarah mencatat bahwa sudah sejak lama tragedi bisa lahir karena kerumunan massa. Tidak hanya terjadi pada konser belaka. Kecelakaan karena kerumunan massa ini bisa terjadi di ajang olahraga, pemakaman, hingga prosesi keagamaan. Masih ingat kan sekitar 1.426 orang jamaah haji tewas terinjak saat berdesakan di terowongan Mina pada 1990 silam?

Menurut Dirk Helbing dan Pratik Mukerji, dua orang ilmuwan yang meneliti tentang kecelakaan yang terjadi karena kerumunan massa (crowd disasters), tragedi macam ini sudah ada sejak era Kerajaan Romawi. Karenanya, para arsitek Romawi punya semacam kode untuk merancang bangunan.

Salah satunya adalah: memperbanyak akses pintu masuk dan keluar untuk memecah kerumunan. Colosseum di Roma, misalkan. Bangunan ini mampu menampung 50.000 hingga 73.000 penonton. Colosseum dilengkapi oleh 60 pintu. Pintu keluar ada di sekujur tubuh gedung berbentuk lingkaran ini. Karenanya, pengunjung Colosseum bisa dievakuasi hanya dalam waktu 5 menit saja.

"Ini adalah sebuah efisiensi yang sayangnya, belum diaplikasikan pada bangunan modern yang hanya punya sedikit pintu keluar," tulis mereka dalam paper berjudul Crowd Disasters as Systemic Failures: Analysis of the Love Parade Disaster.

Mereka meneliti tentang Love Parade, sebuah festival tahunan yang pada 2010 menelan korban 21 orang tewas. Tragedi ini disebabkan oleh penonton yang menumpuk di area terowongan yang menjadi satu-satunya pintu masuk dan keluar arena. Terowongan sepanjang 240 meter ini diperkirakan hanya bisa menampung 250.000 orang. Namun hari itu, arus penonton mencapai 1 juta orang. Karena itu, beberapa orang tewas karena kehabisan nafas. Beberapa korban lain tewas karena terinjak-injak.

Menurut Prof. Keith Still, guru besar di jurusan Crowd Science di Manchester Metropolitan University, kepadatan massa yang ideal dan aman adalah 2 hingga 3 orang per meter persegi dan per menit. Aliran kerumunan yang aman, maksimal adalah 82 orang per meter dan per menit. Sehingga, saat kepadatan kerumunan sudah melebihi 4 atau 5 orang per meter persegi, kemacetan akan terjadi sangat cepat. Sehingga memperbesar risiko orang untuk tersandung dan jatuh. Apalagi jika pijakannya tidak stabil. Karena itu, kecelakaan amat mungkin terjadi pada kerumunan massa yang padat.

"Dan orang yang ada di kerumunan tidak bisa melihat apa yang terjadi beberapa meter di depan, dan mereka juga tidak akan sadar tentang tekanan yang terjadi di depan," kata Keith, yang juga menjadi saksi ahli dalam tragedi Love Parade.

Ketika terjadi kerumunan yang berjubel itu, maka sifat alami manusia akan tampak: meninggalkan kerumunan. Hal ini akan berujung kecelakaan bila hanya ada sedikit pintu keluar. Lebih parah lagi kalau pintu keluar dan masuk akan jadi satu. Menyebabkan apa yang disebut crowd turbulence, alias pusaran kerumunan. Dalam kasus Love Parade, di terowongan hanya ada satu tangga kecil nan sempit yang jadi pintu keluar darurat. Membuat orang-orang berebutan naik, dan menyebabkan tragedi yang lebih besar lagi.

Bagaimana agar konser bisa berlangsung dengan aman?

Biasanya, di negara-negara maju, para penyelenggara konser sudah mempunyai panduan standar keamanan yang dikeluarkan oleh lembaga profesional. Panduan keamanan konser musik yang dikeluarkan oleh Health and Safety Executive, misalkan. Secara khusus, buku setebal 190 halaman ini berisi panduan keamanan dan kesehatan untuk konser musik dan kegiatan sejenis. Ada 33 standar yang harus dibahas. Mulai dari desain panggung dan lokasi konser, komunikasi, manajemen kerumunan, manajemen transportasi, hingga soal penggunaan kembang api dan teknik pyro. Panduan ini banyak dipakai oleh penyelenggara konser di seluruh dunia.

Beberapa negara juga sudah mengeluarkan panduan resmi perihal keamanan konser dan acara. Misalkan pemerintah Australia, melalui Departemen Kesehatan, merilis buku panduan berjudul Guidelines for Concerts, Events, and Organised Gatherings. Buku setebal 154 halaman ini memuat berbagai garis panduan dalam mengadakan konser. Dari kecocokan venue, manajemen risiko, termasuk pengaturan kalau terjadi hal-hal darurat.

Beberapa ilmuwan yang memang khusus mengkaji tentang ilmu kerumunan massa ini juga memberikan pendidikan singkat tentang kerumunan. Misalkan Keith Still yang punya kursus singkat bertajuk Introduction to Crowd Safety and Risk Analysis. Metode yang dia pakai, diaplikasikan oleh banyak penyelenggara konser. Mulai dari pengelola Sydney Opera House, hingga Dave Wilkie yang menjabat sebagai manajer keamanan acara band U2 saat melakukan tur Eropa 360.

Faktor keamanan dalam konser adalah yang nomor satu. Sebab menonton konser itu adalah itikad untuk bersenang-senang. Tentu kamu tak bisa bersenang-senang kalau tergencet. Apalagi sampai kehilangan nyawa. Jangan sampai.

Baca juga artikel terkait KONSER atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Suhendra