Menuju konten utama

Muslim di Amerika Terancam Masuk Kamp Pengasingan

Amerika dulu mengirim orang-orang Jepang ke kamp pengasingan selama Perang Dunia II. Gagasan rasialis ini dibuka lagi untuk orang-orang muslim di Amerika.

Muslim di Amerika Terancam Masuk Kamp Pengasingan
Imigran dari Amerika Tengah dan warga Meksiko, yang melarikan diri dari kekerasan dan kemiskinan, mengantri untuk masuk ke Amerika Serikat meminta suaka di perbatasan baru El Chaparral di Tijuana, Meksiko, Kamis (24/11). ANTARA FOTO/REUTERS/Jorge Duenes/cfo/16

tirto.id - Carl Higbie, pendukung Donald Trump, mengusulkan sesuatu kepada Donald Trump. Bekas anggota Navy SEAL ini punya usul terkait bagaimana sebaiknya imigran Muslim di Amerika diperlakukan.

“Kami telah melakukannya dengan Iran jika beberapa waktu yang lalu. Kami melakukan hal yang sama kepada Jepang selama Perang Dunia Kedua,” kata Higbie, yang kerap muncul di saluran TV FOX sebagai komentator.

Dalam sesi wawancara langsung di Fox News yang dipandu Megyn Kelly, ia melontarkan pernyataan soal kamp pengasingan orang-orang Jepang di Amerika Serikat selama periode Perang Dunia Kedua lalu. Lebih lanjut ia mengatakan, apa yang dilakukan kepada imigran Jepang itu sangat cocok jika diterapkan kepada para imigran muslim di Amerika.

Ia mengaku sudah mendaftarkan proposal tentang kamp pengasingan, dalam sejarah Indonesia dikenal dengan istilah interniran, untuk dibahas oleh penasehat imigrasi Trump.

Jika benar ide ini direalisasikan, ide ini jelas akan menjadikan Amerika sebagai negara yang sangat memalukan dalam mengatasi isu imigran. Ini ide lama, yang sudah kuno, dan ketinggalan zaman, serta tidak punya perspektif HAM sama sekali. Penuh tendensi rasisme dan memperlakukan manusia sebagai wabah sampar yang harus diisolasi.

Kamp interniran terhadap orang Jepang di Amerika adalah program relokasi paksa terhadap orang keturunan Jepang di Amerika. Mereka dipindahkan ke kamp-kamp yang disebut War Relocation Authority (WRA) atau Otoritas Relokasi Perang. Menurut catatan WRA, sebanyak 62% orang Jepang yang diasingkan itu sudah berstatus warga negara Amerika.

Pemerintah dan militer saat itu beralasan, pengasingan warga keturunan Jepang ini untuk mencegah aksi spionase dan sabotase selama masa perang. Alasan pragmatis itu jelas dilandasi oleh pretensi rasialis.

Kamp ini terdiri dari tiga jenis dan dikelola oleh lembaga yang berbeda. Yang pertama disebut Assembly Centers dikelola oleh Wartime Ciivil Control Administration (WCCA), Relocation Centers yang dikelola oleh War Relocation Authority (WRA) dan kamp-kamp interniran Departemen Kehakiman.

Assembly Centers fungsinya menjadi penampungan atau transit sementara para interniran yang ditahan. Berdiri di lahan trek balap kuda, arena pameran, dan tempat-tempat pertemuan umum lainnya yang besar sekaligus untuk merakit berbagai keperluan menuju Pusat Relokasi WRA. Selanjutnya, mereka dan segala keperluan ini diangkut menuju kamp WRA menggunakan truk, bus atau kereta api.

Terdapat delapan kamp Departemen Kehakiman AS yang terletak di Texas, Idaho, Dakota, New Mexico dan Montana untuk para keturunan Jepang, baik yang sudah berkewarganegaraan Amerika maupun bukan. Kamp-kamp ini dijalankan oleh Dinas Imigrasi dan Naturalisasi yang masih di bawah payung Departemen Kehakiman AS.

Menurut Ensiklopedia Denso, populasi kamp-kamp ini sekitar sekitar 5.500 dari berbagai latar belakang status sosial dan pekerjaan. Mereka secara khusus ditangkap FBI atas tuduhan di kolom kelima dari aturan Executive Order 9066.

Pusat relokasi WRA menjadi yang paling padat seiring mandat Presiden Roosevelt yang menyeret warga Jepang, terutama yang berada di sepanjang Pantai Barat Amerika Serikat. Dalam sembilan bulan sejak dibuka di tujuh negara bagian, kamp interniran itu telah dipadati sebanyak 100.000 orang.

Kualitas hidup di kamp-kamp tersebut sangat dipengaruhi oleh badan pemerintahan yang bertanggungjawab. Menteri Dalam Negeri Harold Ickles, dalam suratnya yang bisa diakses terbuka, menuliskan: “Situasi di beberapa kamp-kamp Jepang memburuk dan terus menjadi lebih buruk dengan cepat”.

Laporan dari WRA sendiri menyebutkan bahwa barak dengan konstruksi rangka sederhana tanpa pipa dan fasilitas memasak lainnya. Bahkan dalam buku Imprisoned: The Betrayal of Japanese Americans during World War II, Martin Sandler menyebutkan mayoritas ruangan di kamp yang sedianya hanya untuk kapasitas 4 orang, kenyataannya dipaksa menampung hingga 25 orang. Mereka harus berjejalan di dalam ruangan sempit dengan privasi yang nyaris tak ada.

Isu kesehatan jelas menjadi ancaman serius. Keracunan makanan menjadi hal umum. Mereka yang berada di interniran wilayah Topaz, Minidoka dan Jerome bahkan diserang oleh wabah disentri yang mematikan.

30.000 dari 110.000 orang Jepang Amerika yang ditahan pemerintah Amerika adalah anak-anak. Dan sebagian besar dari mereka masih dalam usia sekolah. Fasilitas pendidikan memang didirikan di kamp-kamp, namun tidak menghapus potensi pengalaman traumatis selama mereka berada di tempat tersebut.

Fasilitas pendidikannya pun seadanya. Rasio guru di kamp-kamp tersebut adalah 48:1 untuk tingkat Sekolah Dasar dan 35:1 untuk Sekolah Menengah. Padahal rata-rata rasio guru nasional pada waktu itu adalah 28:1.

Pemicu Kamp Pengasingan

Pretensi rasisme jelas mendasari pilihan untuk membuat kamp pengungsian bagi orang Jepang di Amerika. Orang Jepang dicemburui sebagai pendatang yang merebut sumber-sumber pekerjaan. Mereka dianggap berbahaya secara ekonomi karena terlihat berhasil dalam berbagai bidang usaha.

Namun alasan praktis kenapa pemerintah Amerika lewat Presiden Franklin D. Roosevelt menerapkan kebijakan itu adalah karena Perang Dunia ke-II. Jepang dan Amerika memang berhadap-hadapan dalam berbagai front.

Serangan Jepang terhadap Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 telah menyebabkan para pemimpin militer dan politik mencurigai bahwa mereka sedang mempersiapkan serangan dalam skala yang lebih besar di wilayah pantai barat Amerika Serikat. Didorong fakta bahwa militer Jepang berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah Asia Pasifik antara 1936 sampai 1942.

Franklin D. Roosevelt kemudian menandatangani Excevutive Order 9066 sebagai respon atas pengeboman Jepang itu. Mulai efektif diterapkan pada 19 Februari 1942, kebijakan ini memungkinkan para komandan-komandan militer untuk menetapkan daerah militer berdasarkan kebijakan mereka sendiri. Mereka diberi izin dan wewenang.

Tercatat terdapat 6 perintah susulan menindaklanjuti Executive Orde 9066 tersebut yang secara keseluruhan mengatur ruang gerak orang-orang keturunan yang dianggap musuh negara. Memberitahukan alamat ketika harus berpindah lokasi, membekukan aset, menetapkan jam malam, memerintahkan pemberlakuan daerah militer dan larangan meninggalkannya, dan mewajibkan warga keturunan Jepang untuk wajib lapor untuk dipindahkan ke kamp-kamp.

Undang-Undang Musuh Orang Asing yang dikeluarkan setelah pengeboman Pearl Harbor juga menetapkan warga negara Jepang, Jerman dan Italia sebagai musuh asing. Ini dijelaskan dalam buku Michelle Malkin yang berjudul In Defense of Internment: The World War II Round-Up and What It Means For America's War on Terror.

Menurut Ogawa, Dennis M dan Fox dalam karya mereka berjudul Japanese Americans, from Relocation to Redress, mereka yang dipindahkan dari wilayah Pantai Barat berkisar antara 110.000 orang. Namun begitu, terdapat perbedaan perlakuan dalam praktiknya. Misalnya di wilayah Hawaii, terdapat 150.000 lebih orang keturunan Jepang, namun hanya sekitar 1.200 hingga 1.800 orang saja yang digiring ke kamp.

Aturan dan hukum ini berlaku kepada seluruh orang-orang dengan keturunan Jepang tanpa kecuali. Bahkan orang-orang Korea dan Taiwan diklasifikasikan masuk sebagai orang Jepang karena kedua wilayah ini masuk dalam koloni Jepang pada waktu itu.

Sebenarnya opini publik warga Amerika menerima dengan baik keberadaan orang Jepang Amerika di wilayah Pantai Barat. Los Angeles Times pernah menuliskan mereka dengan mencirikan sebagai “orang Amerika yang baik, lahir dan dididik seperti itu”. Menurut Peter Irons dalam buku berjudul Justice At War: The Story of the Japanese American Internment Cases, banyak orang Amerika percaya bahwa kesetiaan mereka terhadap Amerika Serikat sudah tidak diragukan lagi.

Di masa kepemimpinan Presiden Ronald Reagan, terjadi perubahan cukup signifikan. Dilakukan pengusutan atas tindakan mengirimkan orang Jepang ke kamp-kamp. Atas berbagai hasil pengusutan dan tuntutan, Reagan secara resmi menandatangani Civil Liberties Act of 1988 untuk memberikan dana sekitar 20.000 dollar AS bagi setiap orang Jepang korban interniran yang masih hidup.

Laporan dari Commission on Wartime Relocation and Internment of Civilians (CWRIC) setebal 467 halaman juga menyimpulkan bahwa Executive Order 9066 tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer melainkan merupakan hasil dari "prasangka ras, perang histeria, dan kegagalan kepemimpinan politik."

Permintaan maaf resmi atas nama negara datang tiga tahun berikutnya. Tepat 50 tahun serangan Pearl Harbor, George H. W Bush mengakui program kamp penginterniran sebagai aib, ketidakadilan besar dan tidak akan pernah diulang. Lewat Civil Liberties Act Amendments of 1992 yang ditandatangani oleh George H. W. Bush, para interniran yang tersisa juga dipastikan mendapat santunan lagi sebesar 20.000 dollar.

Infografik Kamp Imigran Muslim AS

Rencana Trump

Banyak yang menganggap program interniran ini lebih condong ke tindakan rasisme dibanding mengelola risiko keamanan negara. Setelah hampir 70 tahun berselang sejak Executive Orde 9066 resmi tidak berlaku pada 30 Juni 1946, peristiwa sejarah ini malah hendak dihidupkan kembali lewat usulan penasehat Donald Trump. Sasarannya bukan orang Jepang lagi, namun para imigran Muslim.

Seperti dilansir dari Washington Post, ini diawali dari rencana Donald Trump untuk membuat registrasi bagi para imigran dari negara-negara Muslim. Model keamanan seperti ini sejatinya pernah dipakai Presiden George W. Bush yang beralasan sebagai identifikasi bagi orang-orang yang dianggap “berisiko tinggi” setelah serangan 11 September. Sistem ini memaksa setiap orang yang dicurigai harus menjalani pemeriksaan ketat sebelum keluar dan masuk Amerika.

Usulan ini dengan cepat menuai reaksi. Megyn Kelly, sebagai pembawa acara berita yang mewawancarai Higbie, langsung meminta kejelasan lebih dalam terkait ucapan yang dilontarkan itu.

“Ayo, kau tidak mengusulkan kita kembali ke hari-hari di mana kamp interniran itu berada!” katanya dengan cepat menanggapi Higbie. “Kau tahu lebih baik menunjukkan bahwa itulah jenis hal yang akan membuat orang-orang takut, Carl.”

Mundur sedikit, sebenarnya Donald Trump pernah diajukan dan didesak terkait apakah ia mendukung atau menentang pengasingan orang-orang Jepang Amerika selama Perang Dunia Kedua. Trump menampik menjawab pertanyaan itu. Kepada Time akhir tahun lalu, Trump menbawab: “Saya harus berada di sana pada saat itu untuk bisa memberitahu kepada Anda, untuk memberi jawaban yang tepat.”

Trump tidak tahu dengan pasti apakah ia mendukung atau menentang program pemilahan dan penahanan berdasarkan alasan-alasan identitas seperti itu. “Ini hal yang sulit. Ini sulit.Tapi kau tahu perang adalah sulit. Dan menang adalah sulit. Kami tidak menang perang lagi. Kami bukan negara kuat lagi,” racaunya.

Sementara itu Public Policy Polling merilis, sebanyak 48% pemilih Partai Republikan di Iowa menyatakan dukungannya untuk menggunakan lagi konsep interniran Jepang selama Perang Dunia Kedua. Hanya 21% yang menentangnya. Secara keseluruhan, hanya 29% dari pemilih Partai Republikan menyatakan dukungan, 39% lainnya menentang hal itu.

Protes keras datang dari senator Massachusetts, Elizabeth Warren lewat akun resmi twitternya @SenWarren pada Kamis (18/11). “Mendaftarkan dan pelacakan oleh Amerika berdasarkan ras atau agama adalah konyol. Menjijikkan. Inskonstitusional. Dan itu adalah tambang emas perekrutan untuk kelompok ISIS.”

Selain itu kelompok yang menentang keras sistem registrasi berasal dari American Civil Liberties Union (ACLU). Dikutip dari New York Daily, mereka mengatakan: "ACLU berjuang terkait masalah interniran Jepang Amerika sampai ke Mahkamah Agung, dan dalam dekade terakhir, interniran telah didiskreditkan sebagai bab yang memalukan dalam sejarah kita, termasuk oleh Presiden Ronald Reagan, yang menyebutnya 'ketidakadilan yang besar' dan meminta maaf atas nama semua orang Amerika," kata direktur Proyek Hak Imigran ACLU, Cecillia Wang.

Suara penolakan lain juga datang dari Doris Matsui. Perempuan dari Partai Demokrat yang lahir di kamp interniran pada 1944 silam menyebut usul Higbie ini sebagai "keterlaluan, tidak dapat diterima, dan sembrono."

"Kita tidak bisa pergi ke belakang," kata Matsui. "Amerika Serikat harus tetap menjadi tempat yang aman bagi orang-orang dari semua agama dan asal-usul, dan model untuk toleransi, keadilan, dan kebebasan," kata Doris seperti dikutip The Huffington Post.

Baca juga artikel terkait DONALD TRUMP atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Zen RS