tirto.id - "Ketika pemerintah memaksakan diri untuk mereklamasi Teluk Benoa, sebenarnya mereka sedang berencana agar rakyatnya terkena bencana ekologis. Merencanakan reklamasi Teluk Benoa itu sama dengan merencanakan banjir di Bali Selatan. Mereklamasi Teluk Benoa sama saja menghilangkan koral dan terumbu karang di pesisir timur pantai. Itu sama saja menghilangkan pekerjaan nelayan."
Wayan Gendoan Suardana berorasi di depan massa di Denpasar, Bali, pada 13 Maret 2015. Orasi bernada sama terus menerus dia dan kelompoknya bernama ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa) gemakan sejak 2013.
Tujuannya hanya satu: agar pemerintah berhenti memberikan karpet merah kepada swasta mereklamasi pantai, yang menurutnya tak baik untuk lingkungan. Kata mereka, setiap pengurukan 20 persen kawasan Teluk Benoa, tinggi air laut di Tanjung Benoa, Nusa Dua, Tuban dan Sanur akan tambah setengah meter. Padahal rencana reklamasi mencapai 700 hektare atau setara 50 persen dari luas teluk.
Perlawanan Gendon dan kawan-kawan berbuah asa setelah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) izin lokasi reklamasi Teluk Benoa yang dipegang PT. Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI) resmi kedaluwarsa sejak 25 Agustus lalu. Bagi mereka ini tanda rencana reklamasi harus dibatalkan.
"Akhirnya perjuangan masyarakat Bali selama lima tahun meraih kemenangan. Semoga ini bisa menjadi pemantik bagi masyarakat untuk terus mengkritisi pembangunan yang tidak adil," kata Gendo saat dihubungi reporter Tirto, Senin (27/8/2018) kemarin.
Riwayat Proyek
Semua bermula sejak akhir 2012. Gubernur Bali kala itu, Made Mangku Pastika, mengeluarkan Surat Keputusan tentang Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa (SK 2138/2012). Wayan Gendo heran, sebab Teluk Benoa adalah kawasan konservasi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 45 tahun 2011 yang dikeluarkan Susilo Bambang Yudhoyono.
Masyarakat mulai tahu isu ini, apalagi ketika muncul pemberitaan di media massa kalau di sana bakal dibangun sirkuit untuk balap Formula 1. Penggeraknya pun mulai mengkampanyekan penolakan.
Pada Agustus 2013, terselenggara dialog terbuka di kantor gubernur yang dihadiri banyak orang. Di sana LPPM Universitas Udayana, yang diminta PT TWBI mengkaji AMDAL, menyimpulkan kalau reklamasi "layak bersyarat". Simpulan ini direvisi dengan hasil "tak layak diteruskan" setelah pengkajian ulang.
Meski begitu, Gubernur Bali malah mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa. Para penentang kerap menyebut surat ini sebagai SK Reklamasi.
Pada tahun ini ForBALI terbentuk. Salah satu upaya pertama yang aliansi ini lakukan adalah melaporkan Gubernur dan DPRD Bali ke Ombudsman RI dengan tuduhan maladimistrasi terkait penerbitan Amdal.
Di tingkat nasional, "angin" tak mengarah pada koalisi penolak reklamasi. Pada 30 Mei 2014, Presiden SBY malah menerbitkan Peraturan Presiden nomor 51 tahun 2014 yang mengubah status teluk Benoa menjadi zona pemanfaatan umum atau budidaya, atau dengan kata lain, mengizinkan reklamasi.
Tak lama setelahnya, tepatnya pada 25 Agustus 2014, Menteri Kelautan dan Perikanan era SBY, Tjitjip Sutarjo, menerbitkan izin reklamasi ke PT TWBI dengan nomor 445/MEN-KP/VIII/2014. PT TWBI mengantongi izin mereklamasi Teluk Benoa, meliputi Kabupaten Badung dan Denpasar dengan total luas 700 hektare.
Meski begitu PT TWBI tak juga merampungkan proyek. Selain karena ditolak masyarakat, alasan utamanya adalah meski sudah mengantongi izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun mereka harus juga dapat izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Izin lingkungan dari KLHK harus didapat dalam waktu empat tahun setelah izin reklamasi dari KKP keluar. Masalahnya izin ini tak juga keluar hingga 25 Agustus 2018. Izin lokasi pun tak bisa diperpanjang lagi.
Wayan Gendo berterima kasih kepada Menteri KLHK, Siti Nurbaya, karena telah menilai proyek reklamasi "secara objektif".
Namun, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan KLHK Ary Sudijanto mengatakan sebenarnya KLHK tak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu. Menurutnya posisi resmi kementerian adalah meminta PT TWBI memperbaiki izin.
"Posisi resminya kami adalah meminta kepada pemrakarsa untuk memperbaiki dan mencari upaya mitigasi terhadap dampak aspek sosial budaya," katanya lewat keterangan tertulis kepada Tirto, Selasa (28/8/2018).
Setelah ini, menurut Wayan Gendo, ForBALI akan mulai berkampanye agar Presiden Joko Widodo membatalkan Perpres 51 Tahun 2014. Tanpa itu dicabut, maka upaya-upaya mereklamasi Teluk Benoa akan terus ada.
"Harapan besar kami setelah lima tahun berjuang bapak Jokowi berani membatalkan Perpres 51 Tahun 2014," kata Gendo.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino