tirto.id - Kementerian Agama, yang kini dipimpin oleh Fachrul Razi, purnawirawan jenderal militer, akan menerbitkan sekitar 155 buku pendidikan agama Islam, yang isinya "sangat berorientasi pada moderasi beragama" demi "mencegah radikalisme" di sekolah.
Buku-buku ini akan diterbitkan di seluruh Indonesia pada level pendidikan dasar hingga pendidikan atas dan pesantren. Ia akan digunakan pada kurikulum tahun depan.
Dirjen Pendidikan Agama Islam Kemenag Kamaruddin Amin berkata pemerintah menerbitkan buku-buku pelajaran agama dengan melibatkan Dewan Tashih, penilai konten buku pelajaran yang punya hak mengesahkan setelah memeriksa kebenarannya.
"Dewan Tashih ada tim yang membaca buku, me-review buku-buku untuk memastikan buku agama tidak mengandung atau tidak memuat materi-materi yang berlawanan dengan ideologi bangsa, tidak berkeyakinan ekstrem," terang Amin kepada Tirto.
Amin berkata Dewan Tashih “mencegah konten radikal” masuk dalam pelajaran agama.
Pemerintah Indonesia, terang Amin, tidak ingin definisi radikalisme adalah upaya mengubah sesuatu secara fundamental dengan kekerasan, atau upaya individu atau kelompok untuk melemahkan falsafah politik negara, yakni mengubah konstitusi Indonesia.
“Tentu harus bersama-sama komponen bangsa secara kolektif, baik pemerintah atau masyarakat, untuk menghindari potensi itu," terang Amin.
Kriteria Buku menurut Kementerian Agama
Kamaruddin Amin menjelaskan buku-buku yang dipantau oleh Kementerian Agama hanya buku pendidikan agama.
"Buku yang disahkan kementerian agama adalah buku yang dipakai di sekolah dan madrasah,” ujar Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin, Makassar, itu.
“Untuk buku agama yang dijual di publik, Kementerian Agama tidak diberikan kewenangan mengesahkan semuanya.”
“Tidak mungkin Kementerian Agama punya kemampuan membaca seluruh buku yang diterbitkan," kata Amin.
Amin menerangkan Dewan Tashih punya kriteria meloloskan buku-buku pendidikan agama Islam.
Salah satunya buku itu memuat materi ajaran Islam yang damai, toleran, dan menghargai segala perbedaan. Ia diharapkan mampu menanamkan semangat nasionalisme, selain belajar agama.
"Mendekatkan diri kepada Allah itu pasti konten norma biasa yang dimuat dalam buku agama, tapi di samping itu, bagaimana agama bisa menjadi instrumen untuk menjadi perekat dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara," ujar Amin.
Dewan Tashih juga bekerja berdasarkan dasar-dasar yang dipahami publik, kata Amin, yakni meloloskan konten yang tidak bertentangan Konstitusi Indonesia dan dasar negara.
Selain itu, konten buku yang disepakati ulama secara bersama dipertimbangkan lolos sebagai buku pendidikan agama Islam.
“Jadi, sepanjang itu tidak mengandung atau memuat konten-konten yang istilahnya mencemarkan agama itu sendiri atau bertentangan ideologi bangsa, tentu tidak masalah bagi Kementerian Agama,” kata Amin.
Amin, doktor studi Islam di Rheinischen Friedrich-Wilhelms Universitaet Bonn, Jerman, menjelaskan pemerintah tidak menutup ruang diskusi. Pemerintah terbuka menerima keluhan bila ada poin buku yang menyinggung tergerusnya hak sipil atau kebebasan berekspresi.
"Publik bisa menyampaikan kritik, bisa menyampaikan masukan juga," ujar Amin.
Diharapkan Tidak Melanggar Prinsip HAM
Penerbitan buku “mencegah radikalisme” lewat pendidikan itu diapresiasi oleh Halili Hasan, peneliti Setara Institute, organisasi di Jakarta yang berfokus pada kebebasan beragama dan demokrasi, di antara hal lain.
Meski demikian, ada rambu-rambu, yakni pemerintah tidak melanggar unsur-unsur kebebasan berpendapat, ujar Halili.
Ia berpendapat “memang ada proses oleh kelompok-kelompok tertentu”—dalam hal ini menyerukan kekerasan berbasis pandangan agama—sehingga “Kemenag harus secara progresif melakukan intervensi.”
Tetapi, kata Halili, “jangan sampai apa yang dilakukan oleh Kemenag kemudian melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.”
Pemerintah tepat merespons masalah radikalisme seperti masalah peredaran buku-buku yang salah tafsir, menurut Halili, sehingga Kemenag berwenang meluruskannya.
Ia menilai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kecolongan dalam beberapa materi seperti khilafah dan jihad.
Sebagai contoh, publik menemukan buku yang menyatakan khilafah sebagai wajib. Padahal, menurut Halili, khilafah sudah tidak ada.
Halili menyarankan buku-buku baru pendidikan agama Islam yang hendak diterbitkan Kemenag harus membuka ruang partisipasi publik.
"Maksud saya, tidak bisa dalam waktu sangat terbatas tiba-tiba 155 buku itu memaksa semua orang mengikuti narasi dalam buku,” kata Halili kepada Tirto. Di sisi lain, “buku itu penting sebagai kontra narasi baik, menurut saya.”
Kekhawatiran Narasi Tunggal soal ‘Radikalisme’
Peneliti KontraS Rivanlee Anandar berpendapat pemerintah boleh menerbitkan buku sebagai upaya deradikalisasi, tetapi tetap memerlukan praktik yang tepat menangkal radikalisme, apalagi masih ada perdebatan soal definisi radikalisme.
Rivanlee menilai keberadaan Dewan Tashih, yang punya hak menyaring konten buku, agar jangan sampai menjadi pemegang narasi tunggal soal “radikalisme”. Ia khawatir kelompok atau individu atau buku yang tidak sejalan pemerintah bisa dicabut dan dibungkam.
Contohnya buku-buku marxisme atau komunisme yang terbit di Indonesia, yang punya pijakan kokoh sebagai kajian akademis dan politik. Tetapi, di Indonesia, dalam hal ini negara sering melakukan razia buku-buku itu.
“Kemarin apa kurang jelas kalau mereka yang berbeda langsung mendapatkan intimidasi dari pemerintah?" kata Rivanlee kepada Tirto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fahri Salam