tirto.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat terdapat 51 aduan terkait dugaan malapraktik di fasilitas pelayanan kesehatan selama periode 2023 hingga pertengahan 2025. Dari total aduan tersebut, 21 kasus merupakan laporan langsung ke Kemenkes, sementara 30 kasus lainnya diperoleh melalui pemantauan media massa dan media sosial.
Dari 51 kasus tersebut, sebanyak 24 pasien dilaporkan meninggal dunia akibat dugaan malapraktik sejak 2023, dengan 13 di antaranya terjadi sepanjang 2025. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, dalam rapat bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).
Dalam kesempatan yang sama, Budi menjelaskan bahwa, bentuk dugaan pelanggaran yang paling banyak diadukan mencakup pelanggaran prosedur operasional standar (SOP), kurangnya keterampilan tenaga kesehatan (nakes), serta buruknya komunikasi dengan pasien.
“Itu adalah 3 kategori yang paling tinggi yang keluar. Jadi, pelanggaran SOP, SOP-nya sudah ada, dilanggar. Kemudian, nomor dua adalah keterampilan dari nakesnya dan yang ketiga adalah komunikasi ke pasien,” terang Budi, Rabu (2/7/2025).
Kemenkes menyebutkan bahwa sejumlah aduan telah ditangani, sementara sisanya masih dalam proses pemeriksaan oleh berbagai pihak, termasuk Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Majelis Disiplin Profesi (MDP).
Menurut Budi, data tersebut akan menjadi basis rekam jejak rumah sakit dan tenaga medis yang menerima komplain. Catatan ini akan menjadi umpan balik penting bagi perbaikan sistem.
“Karena kita secara objektif memiliki track record catatan dari pelanggaran-pelanggaran, baik terhadap standar disiplin profesi, maupun standar pelayanan, dan juga pelanggaran terhadap standar prosedur operasional,” katanya.
Lalu, apa kata pakar di bidang kesehatan soal laporan dugaan malapraktik yang diungkap Kemenkes ini?
Cerminan Masalah Tata Kelola Layanan Kesehatan
Pakar Global Health Security dari Griffith University, dr Dicky Budiman, menilai laporan Kemenkes mengenai 51 dugaan malapraktik bukan sekadar data statistik. Ia menyebut, angka tersebut sebagai indikator sistemik yang mencerminkan permasalahan serius dalam tata kelola layanan kesehatan Indonesia.
“Pertama, akar masalah dari ini itu sistemik. Jadi, bukan hanya semata kesalahan pribadi, apalagi ketika aduan berulang melibatkan aspek SOP, keterampilan dan komunikasi maka kita bicara tentang ketimpangan dalam sistem tata kelola dan pembinaan profesi medis yang mencakup ketidakkonsistenan penerapan SOP di berbagai fasilitas layanan kesehatan terutama antara pusat, daerah dan sektor publik swasta,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (4/7/2025).
Selain lemahnya pembinaan kompetensi berkelanjutan, Dicky menyoroti kurangnya supervisi berbasis bukti (evidence-based supervision). Menurutnya, hal ini berkaitan dengan rendahnya literasi tenaga kesehatan dalam komunikasi klinis, hukum kesehatan, dan etika profesi—yang berdampak langsung terhadap kepercayaan pasien.
Secara terpisah, Associate Professor Public Health Monash University Indonesia, Grace Wangge, menyatakan belum bisa dipastikan apakah 51 laporan tersebut mencerminkan kondisi riil malapraktik di Indonesia. Sebab, selama ini Indonesia belum memiliki sistem pelaporan yang konsisten.
“51 laporan ini kan juga tidak bisa dinilai begitu saja, 51 dari berapa RS? RS level apa? berapa kapasitas pasiennya? Saya baca setengahnya berujung kematian, dan sepertiga lagi kecacatan, jadi apa ini hanya kasus malapraktik berat, belum termasuk yang ringan? Apakah ini hanya di RS Vertikal Kemenkes? Kalau ya, berarti ya generalizability-nya terbatas pada faskes lain,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (4/7/2025).
Grace menilai tingginya aduan pelanggaran SOP bisa disebabkan dua hal. Pertama, SOP tidak disosialisasikan secara efektif kepada tenaga kesehatan; kedua, tidak adanya pengawasan dan monitoring yang kuat dari unit mutu di fasilitas pelayanan kesehatan. Terkait aduan soal rendahnya keterampilan nakes, ia menilai hal ini mungkin disebabkan proses seleksi yang tidak optimal.
“Rendahnya keterampilan nakes juga mungkin disebabkan proses seleksi yang kurang baik, tapi kadang kan RS tidak punya power untuk memilih atau memecat pegawai karena yang bersangkutan PNS,” ujarnya.
Soal buruknya komunikasi nakes dengan pasien, Grace menilai ini bukan semata persoalan individu, melainkan juga dipengaruhi faktor budaya, bahasa, serta SOP yang tidak menyesuaikan beban kerja dan kapasitas tenaga kesehatan.
“Selain itu, SOP yang dibuat bisa jadi juga tidak memerhatikan beban kerja dan kapasitas Nakes, karena SOP mungkin di-drop saja dari pusat (Kemkes), tanpa dilakukan adaptasi dan penyesuaian dengan situasi Faskesnya. Sehingga akhirnya ya, terjadi pelanggaran karena tidak mampu laksana dibawah,” katanya.
Kemenkes Harus Rangkul Semua Pemangku Kepentingan
Dalam upaya meminimalisasi kasus pelanggaran malapraktik, Grace menekankan pentingnya ketersediaan kanal pengaduan yang jelas, disertai dengan SOP yang tegas terkait mekanisme pengaduan.
“Ikatan Dokter Indonesia (IDI) minta dilibatkan, ya dilibatkan di dalamnya dan harus jelas proses pemberian sanksinya kalau memang ada pelanggaran. Tapi juga harus fair prosesnya penyelesaiannya, dan harus berujung pada perbaikan sistem secara menyeluruh, bukan selesai di proses menghukum seseorang yang terbukti bersalah saja. Jangan menghukum jadi tujuan utama, tapi perbaikan sistem,” ujarnya.
Grace juga mendorong evaluasi ulang SOP yang kerap dilanggar untuk memastikan kesesuaiannya dengan kondisi rumah sakit dan konteks lokal.
Sementara itu, Dicky Budiman dari Griffith University, menyoroti perlunya penguatan sistem hukum dan etika dalam praktik kedokteran. Menurutnya, profesi kesehatan adalah profesi berbasis kepercayaan publik.
“Ini membutuhkan satu sistem hukum yang melindungi pasien sekaligus menjamin keadilan atau perlindungan bagi tenaga medis. Karena itu konsil kedokteran Indonesia harus diperkuat sebagai institusi pembinaan etik. Yang harus independen tapi ya,” ujar Dicky.
Ia juga menekankan perlunya harmonisasi antara UU Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan demi menciptakan proses hukum yang adil. Kemenkes juga didorong untuk merangkul seluruh organisasi profesi dalam menyusun respons bersama.
Dicky menyarankan agar literasi hukum kesehatan dan komunikasi terapeutik dimasukkan sebagai bagian inti dalam pendidikan kedokteran dan keperawatan. Selain itu, sistem pelaporan insiden medis juga harus bersifat non-punitif dan fokus pada perbaikan.
“Tenaga medis harus memahami bahwa komunikasi buruk bisa dianggap sebagai bentuk kelalaian, bukan hanya sekadar etika pribadi,” tegasnya.
Pasien dan keluarga juga harus diberi akses pelaporan yang mudah dan transparan tanpa harus menempuh jalur hukum yang rumit. Organisasi profesi pun perlu diberi kewenangan dalam proses revalidasi dan pengawasan etika profesi.
“Selain itu rumah sakit juga harus membentuk komite etik dan hukum kesehatan yang berfungsi strategis bukan simbolis. Saya melihat bahwa keamanan pasien adalah fondasi sistem kesehatan yang kuat ya. Negara-negara dengan sistem etik profesi yang transparan dan akuntabel itu terbukti lebih resilien menghadapi krisis,” pungkasnya.
IDI: Hentikan Budaya Memviralkan Dugaan Malapraktik
Dari sisi organisasi profesi, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyoroti kecenderungan publik yang langsung memviralkan dugaan malapraktik di media sosial tanpa menempuh jalur etik dan disiplin.
Perwakilan IDI, Dicky Yulius Pangkey, menilai hal ini mencoreng martabat profesi kedokteran dan menurunkan kepercayaan masyarakat. Padahal, tidak semua tindakan yang tidak sesuai harapan bisa dikategorikan sebagai malapraktik.
“Viralismenya ini kebiasaan publik, memviralkan dugaan malapraktik di media sosial, sebelum melakukan proses kami garis bawahi etik dan disiplin. Jika dilakukan sesuai prosedur, dengan persetujuan pasien, dan tanpa niat jahat, bukan malapraktik,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Rabu (2/7/2025).
Dicky menjelaskan bahwa tanggung jawab utama dokter adalah memberikan upaya maksimal, bukan menjamin kesembuhan mutlak.
“Dasar penilaiannya menjadi dasar penting dalam menilai tanggung jawab hukum seseorang dokter. Tidak semua kegagalan adalah pelanggaran. Risiko medis, komplikasi yang telah dijelaskan, kecelakaan medis, kejadian tak terduga yang tidak dapat dihindari, dan kelalaian medis, pelanggaran standar praktik yang menyebabkan kerugian,” terangnya.
Ia juga mengkritik pelaksanaan sidang Majelis Disiplin Profesi (MDP) yang kerap dilakukan tanpa pemberitahuan atau pelibatan organisasi profesi. Hal ini dinilai membuat dokter kehilangan hak atas pendampingan hukum.
Dicky mengusulkan agar MDP memberikan pemberitahuan tertulis kepada IDI sebelum menyidangkan dokter, serta menyampaikan hasil sidang kepada organisasi profesi tersebut.
“Koordinasi MDP dan IDI yang kami harapkan penting koordinasi, memastikan pendampingan hukum terhadap dokter perjalanan maksimal, dokter yang menghadapi sidang disiplin harus diberikan akses terhadap bantuan hukum, organisasi profesi harus dilibatkan dalam seluruh proses penyelesaian,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi publik mengenai hukum medis agar masyarakat memahami bahwa, tindakan medis tidak selalu berujung pada hasil yang pasti. “Keadilan dalam dunia medis juga harus melindungi tenaga medis yang bekerja dengan itikad baik,” tandas Dicky.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang