Menuju konten utama
Orang Indonesia dan Candu Game

dr. Kristiana: Kecanduan Game Tak Bisa Ditentukan Serampangan

Bermain game itu wajar dan tidak mesti terkait dengan kegiatan negatif. Oleh sebab itu penting untuk mengetahui batas seseorang masuk kategori kecanduan.

dr. Kristiana: Kecanduan Game Tak Bisa Ditentukan Serampangan
Header Wansus Kepala Departemen Psikiatri FK UI - RSCM - Dr. dr. Kristiana Siste Kurniasanti, Sp. KJ, Subsp. Ad (K). tirto.id/Fuad

tirto.id - Meski bermain gim online tak selalu berujung kecanduan, fenomena ini tetap harus menjadi perhatian agar setiap gamer bisa punya batasan dan kewaspadaan. Bagi para orang tua, pengetahuan terkait ini pun krusial agar anak-anaknya tak tenggelam dalam gim begitu saja.

Apalagi, minat masyarakat Indonesia dalam bermain gim termasuk tinggi. Laporan We Are Social April 2025 bahkan menobatkan Tanah Air sebagai negara nomor dua dengan persentase pemain video gim online terbanyak.

Persentase pengguna internet berusia 16 tahun ke atas, yang bermain video gim mencapai 93,7 persen, kalah 3 poin dari Filipina (96,7 persen). Di belakang Indonesia ada Thailand, Turki, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Meksiko.

Untuk mengulik perihal kecanduan gim ini, Tirto melakukan wawancara khusus dengan dr. Kristiana Siste Kurniasanti, Sp.KJ (K), Dokter Psikiater di Siloam Hospitals Kebon Jeruk sekaligus Kepala Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-RSCM.

Sejumlah hal diperbincangkan dalam wawancara ini mulai dari indikator seseorang dianggap sebagai "kecanduan gim", di titik apa seseorang membutuhkan profesional, bagaimana kecanduan gim bisa terjadi, hingga apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kecanduan gim online.

Berikut hasil wawancara lengkap Tirto bersama dr. Kristiana Siste Kurniasanti:

Apa ada indikator tertentu ketika seseorang dianggap sebagai kecanduan atau adiksi terhadap gim?

Sebenarnya kan game itu wajar dimainkan ya. Game online atau offline itu juga nggak semuanya tidak mendidik. Banyak juga gim yang bisa membuat kognitif itu lebih berkembang, seperti gim untuk strategi, atau gim yang bisa mendidik.

Kemudian bisa juga gim yang mengajarkan tentang warna-warna, mengajarkan tentang bentuk-bentuk. Jadi nggak kemudian semua game itu kita bilang berbahaya.

Jadi artinya, ini menjadi suatu hal yang ada pertentangan juga. Apakah benar-benar ada gaming disorder? Ada nggak sih kecanduan gim? Jangan-jangan itu over diagnosis atau berlebihan saja.

Jadi sebenarnya kalau kecanduan narkoba, kan ada zat yang masuk ke dalam tubuh, kemudian zat itu berikatan dengan reseptor otak. Lalu reseptor otak menjadi terbiasa untuk berikatan dengan zat tersebut. Kalau misalnya zat tersebut nggak ada, maka reseptor otak seperti kelaparan, sehingga mengumpulkan gejala-gejala putus zat.

Tapi kalau misalnya gim, kan nggak ada apa-apa yang masuk ke dalam tubuh. Jadi apakah ini suatu over diagnosis/berlebihan? Tapi ternyata dari berbagai kasus yang berkembang, terutama di Korea, Jepang, dan China, menunjukkan bahwa benar ada kasus-kasus yang menunjukkan gejala-gejala yang mirip dengan kecanduan drugs dari games itu.

Hal itu terutama terjadi pada remaja dan dewasa muda. Mereka adalah populasi yang rentan untuk mengalami kecanduan game. Dengan begitu dikembangkanlah studi-studi dari sejumlah negara, terutama Asia, yang banyak kasus-kasusnya tersebut.

Jadi, pada akhirnya WHO pada tahun 2021 kemudian mengeluarkan diagnosis tentang gaming disorder pada ICD-11. Gaming disorder ini benar-benar di bawah addictive behavior chapter, bukan lagi di gangguan pengendalian impulse. Jadi benar-benar di bawah bab adiksi.

Nah, di situ ada kriterianya. Kriteria ini justru mencegah ada over diagnosis. Tidak boleh semua orang yang main gim itu dibilang, ‘kok kecanduan game?’.

Jadi, apa saja itu kriteria diagnosis untuk mengatakan bahwa seseorang mengalami gaming disorder atau adiksi games?

Satu, adanya loss of control. Jadi kalau dia sudah tidak bisa mengendalikan permainan game-nya, misalnya durasinya. Kemudian on set-nya, misal pagi bangun tidur langsung main game. Kemudian lagi belajar main game. Di sekolah main game. Mau tidur, harusnya tidur dia main game. Lagi makan, waktunya makan dia main game terus. Jadi durasinya, sampai kemudian hampir 24 jam misalnya.

Yang kedua adalah dia sudah memprioritaskan bermain game dibandingkan dengan kegiatan lain dalam kehidupan kesehariannya. Semuanya jadi diprioritaskan untuk bermain game. Tidak lagi mau sekolah, melalaikan hubungannya sama orang tua, sama teman-temannya, diajak keluar sama orang tuanya tidak mau.

Yang ketiga, meneruskan atau malah meningkatkan bermain game-nya, walaupun sudah ada konsekuensi negatif atau dampak negatif. Jadi tidak usah meningkatkan, hanya meneruskan saja, walaupun sudah ada dampak negatif juga sudah termasuk dalam kriteria ketiga.

Apakah sebenarnya kecanduan gim itu bisa dibayangkan sama dengan kecanduan judi online, atau misal kecanduan narkoba?

Jadi sebenarnya gejalanya itu memang mirip. Jadi kan ada loss of control, sudah susah mengendalikan.

Kemudian memprioritaskan perilakunya tersebut dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Lalu dia meneruskan atau meningkatkan, walaupun sudah ada dampak negatif. Dan juga yang dalam perilaku tersebut sudah menimbulkan dampak, impairment. Itu sama dengan gejala kecanduan narkoba.

Nah, pada kecanduan narkoba bedanya adalah memang ada gejala putus zat. Jadi misalnya kalau dia nggak pakai zat tersebut, dia langsung sakit seluruh tubuh. Nah, pada kecanduan judi online atau game,ini memang gejala putus perilaku tersebut masih menjadi pertanyaan. Karena kan sebenarnya nggak ada yang zat masuk ke dalam tubuh ya.

Akan tetapi, ini masih menjadi penelitian lebih lanjut. Karena kalau misalnya dia nggak bermain game untuk jangka waktu tertentu, atau nggak bermain judi online dalam waktu tertentu, dia merasa perasaannya kosong, cemas, gelisah. Nah, itu bisa juga disebut sebagai gejala putus perilaku sebenarnya, sama pada orang yang kecanduan narkoba ketika mereka tidak menggunakan narkoba.

Tapi di titik mana seseorang dianggap sudah butuh obat? Apakah semua kecanduan gim akhirnya butuh rehabilitasi atau obat? Atau sebenarnya bisa dengan intervensi yang lain?

Jadi, kalau sudah mengalami gaming disorder berarti kan sudah dalam kategori kecanduan game. Sebenarnya ada di bawah kategori itu namanya harmful user. Harmful user itu dia belum memenuhi kriteria kecanduan game tapi sudah ada dampak negatifnya.

Misalnya dia belum memenuhi kriteria WHO tiga itu tadi, tapi misalnya game-nya sudah membuat dia susah tidur. Karena dia main game-nya malam hari atau main game sama teman-teman di luar negeri misal, jadi kan malam hari. Jadi sudah ada dampak negatif tuh, nggak tidur malam, kurang tidur.

Terus kemudian ada yang namanya hazardous user. Nah, hazardous user ini dia juga belum memenuhi kriteria kecanduan game, tapi dia sudah berisiko. Misalnya gini, dari penelitian saya, kan kalau misalnya dia bermain game lebih dari tiga jam per hari, maka ada risiko untuk mengalami kecanduan game.

Nah, anak ini sudah main game misalnya enam jam per hari. Berarti dia hazardous user. Dia sudah memiliki risiko untuk kecanduan game, tapi belum memenuhi kriteria yang tiga tadi menurut WHO.

Jadi kalau misalnya udah gaming disorder, udah kecanduan game, maka pengobatannya atau tata pelaksanaannya harus komprehensif.

Satu, menggunakan apa yang namanya psikoterapi. Psikoterapi itu kita menggunakan berbagai hal, yang ada evidence based-nya adalah CBP atau Cognitive Behavioral Therapy.

Jadi anak bermain game itu kenapa sih? Mereka merasa rendah diri, merasa dunia online itu lebih menyenangkan, mereka bisa tanpa identitas yang sebenarnya, mereka gak perlu memperlihatkan muka mereka yang sebenarnya, mereka bisa membuat identitas palsu seperti yang mereka imajinasikan, dan mereka banyak cognitive error. Mereka merasa dunia game itu seperti dunia dia sebenar-benarnya. Jadi banyak cognitive error.

Dan game itu adalah segala-galanya buat dia. Jadi kalau misalnya stres, lebih baik melarikan diri ke game, sehingga menjadi coping mechanism. Nah, dengan Cognitive Behavioral Therapy ini dimodifikasi pikiran-pikiran yang salah itu.

Saya juga sudah melakukan penelitian dengan dengan melakukan Dialectical Behavioral Therapy (DBT). DBT ini memodifikasi perasaan-perasaan dari remaja. Sehingga kalau misalnya lagi kesal gak langsung jump in to games. Tapi mereka bisa mengidentifikasi perasaan. Kemudian mengecek, 'Bbenar gak sih pikiran aku seperti ini?'.

Dan kemudian bisa memodifikasi perasaannya dan tidak menggunakan game langsung sebagai mekanisme coping-nya. Nah itu yang psikoterapinya.

Kedua, harus menggunakan farmakologi atau obat-obatan. Kenapa? Karena pada mereka yang mengalami kecanduan game itu terbukti ada kerusakan di otak.

Ini sudah saya teliti juga. Jadi melihat konektivitas regio otak.

Jadi pada mereka yang mengalami kecaduan internet, termasuk kecaduan games itu, ada area-area otak yang terlalu aktif danada area otak yang terlalu tidak aktif.

Jadi ada konektifitas fungsional otak yang rusak. Terutama pada area atensi, memori, dan juga refleksi diri. Jadi artinya memang harus menggunakan farmakologi juga untuk membantu mereka bisa mengendalikan impulsnya.

Kalau di RSCM sendiri sekarang ada berapa orang yang dirawat karena kecanduan gim?

Kalau kecanduan game itu kita meningkatnya pada masa pandemi COVID-19. Jadi pada masa itu kan remaja dan anak-anak semuanya di rumah dan mereka mulai mengenal game online. Lalu mereka juga risiko tinggi untuk mengalami kecanduan game online karena prefrontal cortex-nya, area otak bagian depannya, belum berkembang sempurna.

Sehingga pada saat mereka mendapatkan sesuatu yang mereka suka, mereka tuh susah untuk mengendalikan diri. Jadi sangat rentan untuk kecanduan game. Apalagi pada saat itu kan gak bisa bersosialisasi, gak punya teman di luar, gak bisa main sepak bola. Akhirnya mereka semua into game online.

Artinya banyak tuh, pasien-pasien dibawa ke rumah sakit RSCM. Tapi setelah COVID-19 kan semuanya bisa ya, kemudian bersosialisasi lagi. Itu mulai agak berkurang juga pasiennya. Sekarang mulai jarang yang dirawat di RS, jadi rawat jalan aja.

Sekarang kisarannya ada 10-15 yang dirawat jalan. Untuk proporsinya kebanyakan memang anak dan remaja, dan dewasa muda atau yang berumur 18-25 tahun.

Sebenarnya secara umum gimana sih kecanduan gim itu bisa terjadi?

Ada faktor biologi, psikologi, dan sosial. Itu nggak bisa dipisah-pisah ya. Secara biologi, kita kan punya berbagai zat kimia di dalam otak, yang disebut neurotransmitter. Dan salah satunya adalah dopamine. Dopamine ini zat kimia yang berguna untuk rasa senang dan untuk meningkatkan konsentrasi

Pada saat zat tertentu masuk, misalnya narkoba, itu bisa meningkatkan dopamine dalam waktu yang sangat singkat dan dalam waktu yang sangat banyak. Nah, ternyata peningkatan dopamine seperti peningkatan pada saat menggunakan narkoba itu juga terjadi pada saat seseorang melakukan judi online dan game online. Itu rasa excited-nya dan senangnya sangat tinggi.

Jadi memori rasa senang itu disimpan oleh hippocampus. Kemudian ada memori bahwa, ‘oh kalau aku lagi kesal kemudian main game online aku jadi senang nih. Dan kemudian aku menang, aku dipuji-puji’. Jadi memori itu tersimpan gitu. Karena di dunia nyata mungkin mendapat pujian seperti ini.

Dari sisi psikologi, misalnya anak yang gampang cemas, gampang depresi, kemudian anak dengan personality yang impulsif, maunya semuanya instan, semuanya mudah, nggak mau susah, itu juga cenderung mengalami kecanduan.

Kemudian faktor sosial, orang tuanya itu permisif, atau orang tuanya sangat otoriter. Justru itu yang membuat orang menjadi kecanduan. Karena apa? Karena pada saat main game kan dia boleh mengambil keputusan sendiri ya, seperti penggunaan avatar, dll. Kan misal orang tua sangat otoriter, dia pakai baju aja mungkin dipilihin.

Lalu, idealnya orang tua harus seperti apa untuk mencegah terjadinya kecanduan gim pada anak? Agar tidak terlalu longgar, tapi juga terlalu otoriter atau ketat juga.

Jadi sebenarnya ini tuh satu hal yang harusnya dilakukan ulang secara masif ya.

Pertama, tidak menjadikan gadget sebagai babysitter. Gadget itu boleh diperkenalkan pada saat usia kurang dari satu tahun, tapi hanya boleh sebagai video call gitu. Jadi artinya berinteraksi, tidak dibiarkan anak itu diam sendiri dengan menggunakan gadget itu.

Kemudian jangan menjadikan gadget sebagai hadiah atau hukuman ya. Jadi gadget pertama yang menjadi milik anak itu diberikan pada usia di mana dia sudah bisa berpikir sebab akibat. Jadi dia sudah bisa dilakukan kontrak.

Kalau misalnya dia sudah mendapatkan gadget ini, maka dia harus memenuhi aturan apa saja. Ada privasi, yang orang tuanya boleh misalnya random melihat gadget-nya. Ada parental control pada saat itu.

Jadi usia 8 tahun minimal, dia diberikan gadget pertama kali yang jadi milik dia. Karena pada saat itu bisa dibuat kontrak, berpikir sebab akibat, dan bisa dikasih parental control.

Kemudian yang ketiga adalah, kalau menggunakan gadget di rumah itu ada aturan. Jadi misalnya tidak menggunakan gadget di dalam kamar, ini untuk semua orang, termasuk orang tua. Jadi menggunakan gadget di ruang publik di rumah.

Juga tidak menggunakan gadget pada saat makan.

Karena suka terjadi juga ya anak ingin bicara tapi orang tua malah berinteraksi dengan handphone. Jadi, pada saat bicara juga orang tua [idealnya] tidak memegang handphone.

Lalu mematikan notifikasi untuk semua anggota keluarga. Seringkali remaja merasa distracted karena notifikasi pada games-nya misalnya. Notifikasi pada aplikasi lainnya gitu ya. Jadi mematikan notifikasi pada seluruh anggota keluarga juga.

Lalu lakukan detox 3 jam per minggu. Misalnya pada hari minggu tidak boleh memegang gadget sama sekali dalam waktu 3 jam. Semuanya in-person. Dan pola aslinya adalah harus bersifat kualitatif.

Pola asuhnya harus otoritatif, artinya tidak otoriter tapi juga tidak permisif. Ada komunikasi dua arah untuk atuaran yang jelas, tapi kita mengkomunikasikan dan kita bisa mendengarkan pendapat mereka.

Kalau sudah kecanduan apa yang sebaiknya dilakukan sama orang tua?

Kalau kecanduan itu berarti sudah membutuhkan profesional.Jadi artinya tidak bisa kemudian, 'nanti juga sembuh sendiri,' nggak bisa tuh.

Ini apalagi kalau anak dan remaja itu ada golden period-nya. Jadi artinya perkembangan otak itu kan sebenarnya di masa anak dan remaja.Jadi sebaiknya memang harus dibawa ke profesional segera.

Saya selalu mengatakan ke anak [pasien], 'pada saat kamu diterapi, itu bukan cuma kamu saja yang diobatin.Tapi seluruh anggota keluarga kamu diobatin. Orang tua kamu juga diobatin. Jadi apa sih keluhan kamu sama mama dan papa? Sehingga mama dan papa juga bisa berubah dan bisa diobati juga.Jadi bukan kamu saja.'

Jadi pada saat anak kecanduan game dibawa dalam terapi, artinya satu keluarga juga diobati.

Baca juga artikel terkait GAME atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Decode
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto