Menuju konten utama

Waktu Layar Berlebihan, Rentan Ganggu Perkembangan Anak

PM Singapura berencana menerapakan larangan penggunaan ponsel saat mengasuh anak. Ada kekkhawtiran anak kehilangan kontak dengan dunia nyata.

Waktu Layar Berlebihan, Rentan Ganggu Perkembangan Anak
Ilustrasi anak dan gawai. Getty Images/Istockphoto

tirto.id - Perdana Menteri (PM) Singapura, Lawrence Wong, berwacana untuk menerapkan larangan penggunaan telepon seluler (ponsel) saat mengasuh anak, seperti untuk membuat mereka diam atau sibuk. Wong mengatakan, anak-anak harus menghabiskan lebih banyak waktunya di luar ruangan untuk bermain dan beraktivitas.

Ia juga menyoroti banyaknya anak-anak yang kehilangan kontak dengan dunia nyata karena terlalu asyik menggulir gawainya untuk berselancar di media sosial dalam waktu yang lama. Menurutnya, kondisi itu membuat orang tua mengalami kesulitan untuk menetapkan batasan ataupun memoderasi konten yang dikonsumsi anak-anak mereka.

“Kekhawatiran lain yang kami miliki adalah dampak teknologi terhadap anak muda. Banyak orang tua khawatir anak-anak mereka menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar,” ujar Wong dalam pidato National Day Rally, Minggu (17/8/2025).

Untuk itu, saat ini Singapura disebutnya tengah mempelajari contoh di negara-negara lain yang telah menerapkan aturan ketat untuk membatasi akses internet dan media sosial kepada anak-anak. Prancis, misalnya, telah mewajibkan persetujuan orang tua bagi anak di bawah 15 tahun yang ingin mendaftar media sosial. Australia juga meluncurkan Online Safety Amendment Bill 2024, yang mengusulkan usia minimum 16 tahun untuk pengguna media sosial.

“Beberapa negara telah mengesahkan undang-undang baru untuk memperketat akses internet dan media sosial bagi anak-anak. Kami mempelajari pengalaman mereka secara seksama untuk memahami apa yang benar-benar efektif,” ucapnya.

Di sisi lain, Wong menyadari bahwa pemerintah Singapura harus tetap mendorong generasi baru untuk memiliki kecakapan digital yang baik. Hal itu ditujukan agar mereka memiliki pengetahuan cara menggunakan teknologi yang aman dan efektif.

Screen Time Berlebihan Pengaruhi Otak

Kekhawatiran Wong akan masifnya penggunaan ponsel atau gawai elektronik lainnya di kalangan anak-anak memang bisa dimengerti. Selama beberapa tahun terakhir, anak-anak yang menghabiskan waktunya menyelami gawai dan memiliki waktu layar (screen time) yang tinggi berada pada angka yang semakin mengkhawatirkan.

Penelitian dari Children’s Hospital of Orange County di Amerika Serikat menemukan bahwa anak usia 12-24 bulan yang menghabiskan dua jam per hari di depan layar memiliki risiko keterlambatan bicara hingga enam kali lipat dibandingkan mereka yang jarang menatap layar. Risiko ini semakin besar ketika paparan dimulai sebelum usia satu tahun.

Temuan lain melalui pemindaian MRI terhadap anak prasekolah juga mengungkapkan bahwa waktu layar berlebih berhubungan dengan perubahan pada materi putih otak—bagian yang berperan penting dalam bahasa dan fungsi kognitif.

Akademi Dokter Anak Amerika (AAP) dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) merekomendasikan, paparan gawai bagi anak umur 1 sampai 2 tahun hanya untuk menampilkan media pendidikan berkualitas tinggi dengan keterlibatan orang tua.

Bagi anak usia 2 hingga 5 tahun, waktu layar yang direkomendasikan tidak boleh lebih dari satu jam per hari. Sedangkan untuk anak 5 tahun ke atas, waktu layar yang direkomendasikan tidak boleh lebih dari dua jam per harinya.

Faktanya, data yang dikeluarkan rangkuman demandsage menunjukkan, 74 persen warga Amerika Serikat (AS) mengaku anak mereka yang berumur dua tahun sudah menonton televisi. Sementara itu, rata-rata anak-anak di AS menghabiskan waktu 1 jam 53 menit per hari untuk membuka aplikasi media sosial TikTok.

Dampak Penggunaan Gawai Bagi Anak

Psikolog anak dan remaja, Mutia Aprilia Permata Kusumah, menjelaskan, penggunaan gawai elektronik secara berlebihan pada anak bisa berdampak terhadap keterlambatan bicara atau speech delay. Anak juga bisa memiliki atensi yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.

“Kemudian bisa juga ada perilaku-perilaku agresif dan gangguan tidur, biasanya yang paling umum itu,” tutur Mutia saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (10/8/2025).

Mutia menyarankan, orang tua dapat membentuk suatu aturan tak tertulis terkait penggunaan gawai oleh anak. Seperti contoh, orang tua bisa menentukan pada umur berapa sang anak akan mulai memegang gawainya sendiri.

Orang tua juga bisa menentukan tempat-tempat tertentu di mana anak diperbolehkan untuk mengoperasikan gawai. Misal anak hanya boleh mengoperasikan ponsel di ruang keluarga saja.

Sebelum menerapkan aturan itu, Mutia menyebut, orang tua juga harus mencontohkan ke anak secara langsung dengan perilakunya. Ia mencontohkan, saat berinteraksi dengan anak, orang tua diimbau untuk tidak mengoperasikan gawainya dan fokus untuk berbicara.

“Misalnya orang tua sedang mengobrol dengan anaknya, itu handphone-nya ditaruh atau setidaknya tidak dilihat,” ucapnya.

Meski begitu, Mutia juga menekankan pentingnya peran orang tua dalam mengenalkan gawai kepada anak. Namun, pada awalnya anak sebaiknya tidak diberikan ponsel pribadi. Akses media lebih baik dilakukan melalui televisi atau perangkat di ruang keluarga, sehingga konten yang ditonton dapat terpantau. Orang tua juga diminta memasang fitur keamanan agar anak tidak mengakses konten dewasa.

@officialtirtoid

Gim online Roblox menyedot perhatian publik usai disebut bisa berbahaya untuk anak-anak. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu"ti, sebut gim yang populer di kalangan anak dan remaja ini mengandung unsur kekerasan. Lantas, apa sebenarnya gim Roblox? Permainan ini dirilis perusahaan asal Amerika Serikat, Roblox Corporation pada 2006. Dikutip dari berbagai sumber, Roblox menjadi populer karena menawarkan banyak hal, salah satunya ialah ketika satu pemain bisa mengunjungi dunia yang dibuat oleh pemain lainnya. Artinya, ada jutaan dunia yang bisa dijelajahi. Kemudian, Roblox juga menawarkan berbagai macam model permainan, misalnya simulasi kehidupan (roleplay), adu strategi, balapan, aksi, hingga petualangan naik gunung. Permainan naik gunung ini menjadi salah satu magnet. Apalagi gunung-gunung yang ada di Indonesia pun tersedia. Platform ini juga memiliki fitur interaksi sosial, seperti obrolan lewat chatting, main bersama, hingga fitur kustomisasi avatar. Pada 31 Juli 2025, Reuters melaporkan Roblox memiliki lebih dari 100 juta pengguna aktif harian. Kesuksesan ini berkat viralnya gim simulasi pertanian, Grow a Garden, buatan remaja 16 tahun yang dimainkan oleh 21 juta pengguna secara bersamaan. Penulis/Editor: Muhammad Fadli Rizal #TirtoDaily#Roblox

♬ original sound - TirtoID - TirtoID

Menenangkan anak dengan gawai, hambat perkembangan anak

Soal kebiasaan menenangkan anak dengan gawai, Mutia menegaskan hal itu justru bisa menghambat kemampuan anak dalam mengelola emosi. Anak menjadi tidak terbiasa mengekspresikan rasa marah atau sedih dengan cara yang sehat, melainkan lewat “distraksi” layar gawai. Padahal, keterampilan regulasi emosi sangat penting untuk kehidupan sosial mereka di masa depan.

Mutia juga mengingatkan bahaya waktu layar yang berlebihan, terutama bila melampaui batasan yang direkomendasikan AAP. Anak di bawah usia 18 bulan, misalnya, sebaiknya sama sekali dihindarkan dari paparan layar. Sementara untuk usia di atasnya, durasi maksimal berbeda-beda sesuai kelompok umur.

Ia menuturkan, sifat gawai sendiri yang dipenuhi notifikasi dan konten visual cepat membuat konsentrasi anak mudah terpecah. Berbeda dengan membaca buku yang membutuhkan fokus panjang, tontonan digital sering kali justru melatih perhatian dalam durasi singkat.

Sementara itu, Psikolog Anak, Retno Lelyani, menilai kebijakan PM Singapura yang melarang penggunaan gawai pada anak kecil merupakan langkah progresif. Menurutnya, kebijakan tersebut menunjukkan perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan anak sekaligus penyesuaian pola pengasuhan dengan perkembangan teknologi.

Meski begitu, keberhasilan program tetap bergantung pada psikoedukasi kepada orang tua, dukungan sosial, serta kebiasaan baru dalam pola asuh keluarga.

Retno menjelaskan, bahaya waktu layar pada anak usia dini sangat beragam. Dari sisi fisik, penggunaan gawai berlebihan membuat anak kurang bergerak, postur tubuh membungkuk, mata mudah lelah, dan berisiko obesitas. Dari aspek kognitif, anak bisa mengalami penurunan kemampuan bernalar kritis, lemahnya memori jangka pendek, kesulitan konsentrasi, hingga berkurangnya motivasi berprestasi.

“Perkembangan kognitif akan terdampak, ditandai dengan anak kurang terampil bernalar kritis, kemampuan memori jangka pendek berkurang, kesulitan konsentrasi dan terjadi penurunan motif berprestasi,” jelas Retno.APLIKASI SMARTPHONE

Tiga orang anak sedang berjalan sambil mengamati layar smartphonenya. Foto/Getty Images

Dampak lain juga muncul pada perkembangan bahasa, emosi, hingga sosial. Anak berisiko kesulitan membangun kelekatan emosional dengan orang tua, serta lebih mudah cemas dan agresif.

Interaksi dengan teman sebaya pun kerap terganggu karena anak lebih nyaman bermain sendiri dan kurang peduli dengan lingkungan sekitar. Tidak hanya itu, perkembangan moral dan kepribadian bisa terhambat karena anak meniru tokoh tontonan yang dikonsumsinya, bahkan berpotensi menimbulkan bias dalam memahami peran gender.

Perilaku sehari-hari anak yang kecanduan gawai biasanya ditandai dengan kesulitan mengendalikan diri akibat terganggunya fungsi otak yang mengatur regulasi emosi dan pengambilan keputusan. Anak juga lebih suka berinteraksi melalui layar daripada komunikasi langsung, menjadi kurang peka terhadap orang tua maupun teman, serta cenderung mudah marah dan menutup diri.

Dalam mencegah dampak negatif tersebut, Retno menekankan pentingnya peran orang tua. Strategi yang bisa dilakukan meliputi membuat kesepakatan tegas dan konsisten di rumah, menyeleksi konten sebelum dikonsumsi anak, hingga membatasi durasi penggunaan sesuai rekomendasi WHO dan AAP.

“Orang tua berperan sangat penting untuk mencegah dan mengurangi penggunaan gawai bagi anak sejak dini,” katanya.

Retno menambahkan, ada sejumlah faktor yang membuat anak lalai ketika bermain gawai. Hiburan instan dan notifikasi yang terus muncul menjadi pemicu utama kecanduan.

Di sisi lain, kebiasaan orang tua yang terlalu sering menggunakan gawai turut membentuk perilaku serupa pada anak. Gawai juga sering dijadikan pengganti aktivitas fisik maupun interaksi sosial yang sebenarnya penting bagi tumbuh kembang anak.

Faktor psikologis turut berperan. Anak yang merasa bosan, kesepian, atau kurang mendapat perhatian dari orang tua cenderung mencari pelarian dengan gawai.

“Selain itu, kontrol diri anak masih dalam tahap perkembangan, sehingga mereka mudah tergoda untuk terus bermain gawai tanpa bisa mengatur waktunya sendiri,” imbuh Retno.

Baca juga artikel terkait HANDPHONE atau tulisan lainnya dari Naufal Majid

tirto.id - News Plus
Reporter: Naufal Majid
Penulis: Naufal Majid
Editor: Alfons Yoshio Hartanto