tirto.id - Debat Capres 2024 putaran ke-4, yang dihelat pada Minggu (21/1/2024) di Jakarta Convention Center, kembali menyinggung topik terkait konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang.
Bahasan terkait problem yang terjadi di Rempang selaras dengan tema Debat Cawapres 2024 edisi kedua. Secara keseluruhan, ada enam tema yang diangkat, yakni pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, sumber daya alam dan energi, pangan, agraria, masyarakat adat, serta desa.
Dalam segmen keempat, Muhaimin Iskandar, calon wakil presiden nomor urut 1, merespons pertanyaan terkait bencana ekologis yang disebabkan oleh kerusakan hutan.
"...Ada pemaksaan melalui PSN [Proyek Strategi Nasional], [masyarakat] tidak diajak bicara. Rempang, misalnya, itu tidak melibatkan dengan sungguh-sungguh masyarakat di sekitar [wilayah] itu," ujar Cak Imin dalam sesi tanya jawab, segmen keempat Debat Cawapres 2024 edisi kedua.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dengan kasus Rempang?
Latar Belakang Konflik di Rempang
Menukil dari situs web resmi Amnesty International, pada 7 September 2023, terjadi kekerasan dan intimidasi oleh aparat Polda Kepulauan Riau terhadap masyarakat di Pulau Rempang-Galang, Batam.
Menurut catatan Amnesty International, setidaknya ada 1.000 personel diturunkan untuk mengawal pemasangan patok dan pengukuran lahan.
Pangkal permasalahannya adalah PSN yang dicanangkan pemerintah. Proyek yang digalakkan adalah pembangunan kawasan "Rempang Eco City" seluas 17 ribu hektare. Wilayah tersebut nantinya akan dijadikan kawasan industri, perdagangan, jasa, dan pariwisata.
Proyek Strategi Nasional berupa rencana pembangunan "Rempang Eco City" tersebut termuat dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI No. 7 Tahun 2023.
Bagaimana Kasus Rempang Terjadi?
Proyek Strategi Nasional, yang digarap oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama PT Makmur Elok Graha (MEG), tersebut ditolak oleh ribuah warga setempat. Hal ini karena PSN itu akan menggusur permukiman seluas 1.000 hektare.
Nahasnya, penolakan yang dilakukan masyarakat berbuah konflik dengan aparat. Dalam demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat pada 7 September 2023, aparat kepolisian menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa.
Ada enam orang yang ditangkap dalam peristiwa tersebut. Puluhan lainnya mengalami luka-luka. Tidak hanya itu. Ratusan peserta didik yang tengah menjalani proses belajar-mengajar terpaksa dibubarkan lantaran muncul gas air mata dari arah lokasi konflik.
Dikutip dari pemberitaan Antara News, korban penembakan gas air mata tersebut tidak hanya orang dewasa, melainkan juga siswa sekolah. Menurut Muhammad Nazib, kepala sekolah SMP Negeri 22, sejumlah siswa yang terkena gas air mata terpaksa diungsikan ke rumah sakit.
“Ada belasan siswa yang saya tau dibawa oleh ambulan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Gas air mata itu terbawa angin, karena ribut dekat dari sekolah kami,” kata Nazib.
Sementara itu, berdasarkan catatan Amnesty International, jumlah siswa yang terkena dampak langsung gas air mata itu ada dua orang. Kedua siswa itu masing-masing merupakan peserta didik dari SMP Negeri 22 Galang dan SD Negeri 24 Galang.
Menurut laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), 17 September 2023, pengerahan aparat untuk pematokan tanah di Rempang dinilai berlebihan. Diperkirakan setidaknya 60 kendaraan aparat yang datang ke lokasi konflik, disertai lebih dari 1000 personel.
Analisis kasus Pulau Rempang yang diterbitkan KontraS menyimpulkan, peristiwa 7 September 2023 itu telah merugikan masyarakat, baik terkait aspek ekonomi maupun sosial. Pekerjaan sehari-hari warga sebagai nelayan pun terpaksa berhenti.
Berdasarkan temuan KontraS, kekerasan yang terjadi di Rempang dinilai merupakan bagian dari kekerasan berbasis kepentingan modal, atau biasa disebut capital violence. Tindakan pemerintah dan aparat lebih mengedepankan prioritas pembangunan di atas hak-hak masyarakat.
Editor: Iswara N Raditya