Menuju konten utama
Mozaik

Abu Tahsin al-Salihi, Syekh Penembak Jitu dari Basra

Kisah seorang peternak dan pemburu yang ditakuti ISIS dalam konflik di Irak setelah keruntuhan rezim Saddam Hussein.

Abu Tahsin al-Salihi, Syekh Penembak Jitu dari Basra
Header Mozaik Penembak jitu dari Basra. tirto.id/Fuad

tirto.id - Setelah AS menggulingkan rezim Saddam Husein pada tahun 2003, Irak dilanda kekacauan politik. Pemerintah baru lemah dan korup, tidak dapat memberikan layanan dasar bagi rakyatnya, khususnya dari sisi keamanan.

Kondisi ini memungkinkan kelompok-kelompok ekstremis seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) berkembang.

Dimulai saat perang saudara di Suriah pada 2011 yang dimanfaatkan ISIS untuk mendapatkan pijakan, lalu mereka menggunakan negara itu sebagai basis untuk melancarkan serangan ke Irak.

Puncaknya pada Juni 2014, ISIS melancarkan serangan bergelombang di Irak. Kelompok ini dengan cepat merebut kendali atas sebagian besar wilayah utara dan barat negara itu, termasuk kota Mosul, salah satu kota terbesar di Irak.

Pemerintah Irak merespons serangan ISIS dengan melancarkan operasi militer besar-besaran. Mereka juga memerangi dan membersihkan sisa-sisa fedayeen Saddam, intelijennya, serta bekas pasukan Garda Republik.

Selain menerima dukungan dari koalisi internasional, termasuk Amerika Serikat, Pemerintah Irak juga membentuk organisasi pejuang yang terdiri dari puluhan faksi bersenjata yang didominasi kaum Syiah. Selebihnya terdapat juga anggota dari kaum Sunni, Kristen, dan Yazidi. Para militan tersebut berada dalam wadah Popular Mobilisation Units (PMU) yang didanai Pemerintah Irak.

Salah satu ikon PMU yang ditakuti ISIS adalah seorang veteran tua yang kerap memangsa melalui bidikan jarak jauh. Setiap tembakannya tidak hanya menaklukkan para militan ISIS, tetapi juga pertanda ketakutan dan kegelapan bagi mereka. Salah satu petinggi ISIS, Abu Hudaifa, bahkan menjadi sasarannya.

Setidaknya 384 anggota ISIS telah menjadi korban bidikannya.

Dialah Abu Tahsin al-Salihi, dikenal dengan berbagai macam julukan seperti "Mata Elang" dan "Syekh Penembak Jitu".

Veteran Berbagai Perang

Terlahir sebagai Ali Jiyad Obaid al-Salihi pada 1 Juli 1953 di Basra, kota di selatan Irak, ia lalu mengenakan nama samaran Abu Tahsin. Tumbuh di era yang penuh gejolak dalam sejarah Irak, ia menyaksikan pasang surut pergolakan politik, transformasi sosial, dan momok konflik yang selalu ada.

Di usia remaja, ia kerap bepergian ke Kuwait yang jaraknya tidak jauh dari Basra dan sering menggembala kambing atau domba, lalu berhasil mengumpulkan uang. Saat itulah ia pertama kali memiliki senapan Prancis yang sering ia gunakan untuk berburu kelinci dan burung houbara.

Dalam sebuah wawancara dengan jaringan televisi Karbala, ia mengaku kemampuannya kian terasah saat mengikuti pelatihan berburu di Uni Soviet pada awal dekade 1970-an dan berhasil menjadi lulusan kedua terbaik.

Pengalaman hidupnya menjadikan riwayatnya tidak terbatas pada kengerian bagi ISIS. Jarinya menari melintasi panggung sejarah dalam membela tanah air.

Gema Perang Arab-Israel tahun 1973, gemuruh konflik Iran-Irak (1980-1988), dan gelombang kejut Perang Teluk (1990-an) semuanya bergema dalam dirinya. Dia telah memandangi tank-tank AS selama invasi tahun 2003, tatapannya yang tajam saat membidik seperti mencerminkan ketabahan bangsanya yang tak tergoyahkan.

Senapannya menjadi perpanjangan dari semangat keteguhannya, yang bersinggungan dengan kebangkitan ISIS, sebuah babak kelam dalam sejarah Irak dan Timur Tengah yang lebih luas.

Menghadapi serangan brutal kelompok ekstremis, Abu Tahsin mengambil keputusan penting—mengangkat senjata dan melawan kekuatan teror yang mengganggu. Ia bukan seorang tentara yang berprofesi, hanya peternak desa yang didorong oleh rasa cinta yang tak tergoyahkan terhadap negaranya.

Pada 2014, ia menjadi sukarelawan di PMU dan masuk dalam barisan Brigade Ali al-Akbar, mengubah tangannya yang kapalan menjadi instrumen yang presisinya tepat. Komitmennya yang tak tergoyahkan untuk membela tanah air dan rakyat Irak mendorongnya ke jantung konflik, ia berhasil merenggut hampir 400 nyawa militan ISIS.

Memerangi ISIS dimulainya dari selatan Baghdad, tepatnya di Jurf al-Sakhar, lalu terus bergerilya hampir ke berbagai wilayah di Irak. Baginya memerangi kaum ekstrimis seperti ISIS yang hobi memenggal kepala tawanan merupakan sebuah hobi.

"Memburu adalah hobi saya," ujarnya kepada Levison Wood, penulis dan penjelajah asal Inggris.

Aksinya membuat pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi, menawarkan hadiah sebesar $250 ribu bagi siapa saja yang berhasil menghabisinya.

Ketangguhannya di medan perang menjadi legenda di masyarakat Irak, menginspirasi orang-orang sekitarnya dan melahirkan ketakutan di hati musuh.

Menggenapkan 384 Target di Hari Kematian

Perjalanan Abu Tahsin tidak terbatas pada medan pertempuran. Di luar konflik bersenjata, ia adalah seorang ayah, teman, dan mentor--sosok yang pengaruhnya jauh melampaui batas-batas peperangan.

Kebijaksanaan, kasih sayang, dan komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap prinsip-prinsipnya meninggalkan kesan yang tak terhapuskan bagi sebelas anak-anak—enam laki-laki dan lima anak perempuan—yang ia sayangi.

Ketika kembali ke medan pertempuran, kesehariannya tidak dapat dipisahkan dari senapan varian kaliber Steyr HS .50. Ini adalah senapan anti-material bolt-action yang diproduksi oleh perusahaan Austria, Steyr Mannlicher. Dikenal karena akurasi, jangkauan, dan kekuatannya yang luar biasa.

"Aku santai, pikiranku santai," ujarnya dalam sebuah video yang dirilis Al Sura.

Infografik Mozaik Penembak jitu dari Basra

Infografik Mozaik Penembak jitu dari Basra. tirto.id/Fuad

Dalam video tersebut ia menunjukkan kemampuannya membidik target dari sebuah lembah dekat pergunungan Makhul di Irak utara.

Suatu hari komandannya pernah menyuruhnya untuk istirahat selama satu bulan. Tetapi karena mengangkat senjata dan menarik pelatuk adalah kegemarannya, maka ia kembali 12 hari kemudian.

Abu Tahsin al-Salihi bukan hanya kisah tentang keahlian menembak dan kehebatan menguasai medan perang yang luar biasa. Namanya dijalin melalui konflik selama beberapa dekade, yang terpatri dalam sejarah perlawanan Irak melawan teror.

Pada 29 September 2017, dalam usia 64 tahun, keheningan senapan miliknya mengungkapkan kebenaran baru. Dia tersungkur di Hawija, kota di barat laut Irak. Tembakan terakhirnya ditujukan bukan pada musuh, tapi pada rahang kematian itu sendiri.

Dilansir South China Morning Post, komandannya Haidar Mukhtar mengatakan bahwa ia menggenapkan jumlah targetnya menjadi 384 karena pada hari itu ia membunuh empat pejuang ISIS. Namun, nahas ia dan dua penembak jitu lainnya dikepung dan terbunuh dalam operasi itu.

Kepergiannya bergema di seluruh Irak. Pemakamannya di kota Najaf dihadiri ribuan orang. Posternya banyak menghiasi dinding rumah dan jalanan kota di Irak. Senjatanya bahkan dimuseumkan oleh para pendukungnya.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Politik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi