Menuju konten utama

ISIS Sudah Runtuh, kepada Siapa Teroris Indonesia Kini Berbaiat?

Kelompok pendukung ISIS di Indonesia mulai babak belur. Mereka tidak punya pasokan dana, logistik, atau bahkan pemimpin untuk mengorganisasi aksi teror.

ISIS Sudah Runtuh, kepada Siapa Teroris Indonesia Kini Berbaiat?
Anggota polisi mengumpulkan sisa serpihan ledakan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (29/3/2021). ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.

tirto.id - Tujuh ledakan dan baku tembak meledak di Jakarta pada hari Kamis, 14 Januari 2016. Asap membumbung cepat terbawa angin, tapi lima pelaku serangan itu bergeming di perempatan Sarinah, Thamrin, Jakarta. Setidaknya tujuh orang, termasuk polisi dan warga negara asing meninggal dalam serangan itu. Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) mengklaim penyerangan dilakukan oleh pasukannya di Indonesia.

Serangan Thamrin itu menjadi pertanda keseriusan aksi-aksi ISIS di Indonesia yang sebelumnya tak terdengar. Namun jika ditelisik, benih-benih ISIS di Indonesia sudah berdiam sejak lama.

Muaranya adalah keterlibatan Bahrun Naim yang menjadi pemberi dana sekaligus dalang pengeboman Thamrin.

Tahun 2010, Polri melalui Detasemen Khusus 88 (Densus88) Anti-Teror menangkap Bahrun Naim karena kepemilikan peluru tajam. Nama ini diduga adalah dalang serangan bom Thamrin. Setelah dihukum dua tahun penjara, pendirian Bahrun tidak berubah untuk melancarkan aksi teror. Pada 2015, dia pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Bahrun menjadi perantara antara ISIS dengan aksi terorisme di Indonesia. Dia bahkan berkomunikasi langsung dengan Abu Bakar al-Baghdadi yang merupakan pemimpin ISIS. Dia akhirnya dikenal sebagai salah satu koordinator ISIS di Asia Tenggara.

Bahrun yang juga dikenal dengan sebutan Abu Rayyan atau Abu Aishah ini mulai mengajak orang Indonesia bergabung dengan ISIS. Dia rajin menulis di blog ataupun melalui video di YouTube. Tapi Bahrun bukanlah kombatan garis depan. Oleh sebab itu, ketika aksi Bom Thamrin terjadi, Bahrun berperan sebagai penyalur dana kepada pelaku.

Jika ditilik lebih jauh lagi, Bahrun adalah jaringan dari Jamaah Islamiyah (JI) yang didirikan Abu Bakar Ba’asyir. Catatan Ian Montratama dan kawan-kawan dari Universitas Pertahanan berjudul “Terorisme Kanan Indonesia” (2018) menyebut banyak orang dalam kelompok seperti JI sudah berbaiat mengikuti ISIS.

“Salah satu isi baiatnya adalah mereka dianjurkan oleh pimpinan ISIS di Raqqa, Abu Bakar al-Baghdadi untuk menyerang tempat-tempat vital di negaranya masing-masing,” catat Ian dan kawan-kawan.

Ian percaya, meski Bahrun Naim sudah tidak ada, mereka yang merasa “terpanggil” karena aksi-aksi teror dan pandangan Bahrun akan tetap ada di dunia maya.

Terbukti sampai sekarang masih ada ribuan WNI eks-ISIS yang belum pulang ke Indonesia. Analisis Ian terdahulu menyebut, mereka yang sudah pergi ke Suriah lebih memilih mati daripada harus kembali ke tanah air. Kendati demikian, ada juga mereka yang lebih memilih pulang ketika ISIS runtuh setelah kematian Abu Bakar al-Baghdadi pada 2019.

Hilang Kendali

Jika melihat dari kapasitas serangan dan jumlah korban terdampak, aksi terorisme di Indonesia sebenarnya kian menurun. Sejauh ini belum ada yang menandingi bejatnya teror bom di Surabaya.

Laporan yang dikeluarkan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) mendeskripsikan bahwa pengaruh ISIS di Indonesia sudah mulai luntur. Laporan berjudul The Decline of ISIS in Indonesia and The Emergence of New Cells (2021) menyebutkan bahwa kekalahan ISIS di Timur Tengah, ditangkapnya para petinggi ISIS, dan penangkapan polisi yang semakin aktif karena UU anti-terorisme yang baru keluar tahun 2018 menjadi penyebabnya.

Laporan IPAC menganggap JI sebenarnya bukan kelompok pro-ISIS tapi Al-Qaeda, sedangkan beberapa kelompok yang menampung alumni JI sebaliknya. Kelompok itu antara lain adalah JAD, DI/TII, dan MIT. Tapi ketiga kelompok ini pada akhirnya mengalami kemunduran drastis.

Pada 2018, JAD, misalnya, terpecah-belah, tidak punya pasokan dana, dan pemimpin lokalnya bergerak atas dasar pemikiran masing-masing tanpa terorganisasi. Pemimpin utamanya, Aman Abdurrahman, sudah ditangkap polisi di tahun 2017.

Catatan IPAC menunjukan pada 2019 ada 119 anggota JAD yang ditangkap, dan tahun berikutnya menurun drastis menjadi 12 orang. Dari kelompok MIT yang sebelumnya 22 orang menjadi 23 orang. Tahun 2020 justru banyak simpatisan ISIS dari kelompok lain yang tergolong kecil atau bahkan individu ditangkap polisi, yakni 134 orang.

Temuan ini menjadi catatan bagaimana kelompok yang mengaku pro-ISIS justru gagal mendapatkan anggota-anggota aktif.

Hal yang sama juga menimpa MIT. IPAC mencatat, “pukulan telak” bagi MIT adalah penangkapan Sutomo alias Ustaz Yasin pada September 2020. Dia punya dua pesantren, satu di Poso, satu di Morowali. Sekolah itu dijadikan tempat untuk perekrutan anggota MIT. Tiap bulan, Yasin juga menjadi pendonor Rp20-30 juta kepada MIT.

Tertangkapnya Yasin membuat MIT mengalami kesusahan. Mereka sulit mencari pasokan logistik. IPAC memperkirakan serangan MIT pimpinan Ali Kalora di Sigi tidak lebih dari serangan sembrono karena tidak ada rencana matang untuk ke depan.

“MIT sekarang sangat lemah,” catat IPAC.

Infografik Mozaik Terorisme Jihad

Infografik Mozaik Terorisme Jihad

Direktur Insitute for Policy Analysis of Conflict Sidney Jones sempat mengakui bagaimana kuatnya pengaruh ISIS dalam aksi-aksi teror di Indonesia. Kolomnya di New York Times berjudul How Isis Changed Terrorism in Indonesia yang keluar tak lama setelah pengeboman Surabaya tahun 2018 menyebut pelibatan wanita dalam aksi teror itu tak lepas dari pengaruh ISIS.

“ISIS mendorong wanita untuk ikut aksi khilafah bersama keluarganya—hal yang bahkan tidak Al-Qaeda lakukan,” catat Sidney.

Namun Sidney mengakui temuannya menunjukkan kelompok pendukung ISIS di Indonesia kian berantakan dengan ditangkap atau bertaubatnya para amir. Makanya bermunculan aksi-aksi lone wolf, teroris yang bergerak tak terorganisasi.

“Kalau lone wolf, tidak lebih berbahaya (daripada kelompok). Hanya jenis bahayanya berbeda,” kata Sidney kepada reporter Tirto, Kamis (7/4/2021). “Dari beberapa tahun lalu kurang profesional, tidak tahu bagaimana melakukan operasi. Padahal kalau dengan kelompok, kadang-kadang bisa lebih bahaya karena bisa kerja sebagai tim.”

Peneliti wadah pemikir Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arif Satria menganggap, aksi terbaru kelompok JAD belakangan yang melakukan pengeboman gereja di Makassar bahkan tak cukup untuk dikatakan sebagai kebangkitan organisasi pro-ISIS di Indonesia.

Selain karena dampaknya tak parah, Lukman dan YSF yang merupakan anggota kelompok JAD Makassar melakukan aksi terpisah dengan kelompok JAD lainnya. Sama dengan IPAC dan Sidney, Arif memperkirakan penangkapan teroris besar-besaran di tahun 2018 adalah biang keroknya.

“Struktur organisasi rusak dan terdesentralisasi sejak pertengahan tahun 2018,” catat Arif melalui The Diplomat.

Kendati demikian, pengaruh ISIS tetap saja ada dengan adanya sel-sel teroris baru yang muncul secara sporadis.

Hanya saja gerakan mereka tidak lagi terwakili dalam satu kelompok tertentu. Hasil-hasil serangan individu atau impulsif ini pada akhirnya tidak menghasilkan dampak seperti sebelumnya.

Dalam dua serangan kepada target sehari-hari kelompok pro-ISIS: polisi dan kaum minoritas di Indonesia, tidak ada yang menimbulkan cedera parah. Korban jiwa nihil pada serangan bom Katedral Makassar selain pelaku. Sedangkan Zakiah, perempuan simpatisan ISIS yang menyerang Mabes Polri dengan senjata api, dengan mudah dilumpuhkan petugas.

Teroris justru mendera kerugian yang lebih banyak daripada serangannya. Setelah aksi bom bunuh diri dan penembakan itu, setidaknya 18 orang yang dianggap tergabung dalam JAD Makassar dan 14 orang lain di berbagai provinsi ditangkap Polri.

Baca juga artikel terkait TERORIS atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan