tirto.id - Ratu Victoria asal Inggris, penguasa seperlima permukaan bumi di abad 19, punya kawan dekat dari tanah yang ia jajah.
Namanya Abdul Karim. Jabatan resminya: asisten pribadi sang ratu. Pekerjaan tak resmi: kawan setia Victoria. Hubungan pertemanan ini lenyap dari ingatan publik karena tak disukai anggota keluarga kerajaan lainnya. Segala upaya dilakukan untuk memutus tali persahabatan itu. Mulai dari menyebarkan kabar bahwa Abdul hanya memanfaatkan kedekatannya dengan Victoria untuk panjat sosial, sampai membakar semua surat Victoria untuk Abdul.
Hingga muncul lah Shrabani Basu, penulis asal New Delhi yang sejak 2003 mengumpulkan arsip tentang relasi Victoria-Abdul di tiga negara yang berbeda. Satu per satu ia telusuri dan dalami. Jurnal-jurnal sejarah hingga kitab babon kerajaan yang menceritakan kisah Victoria sebanyak 13 jilid ia lahap habis.
Usaha Basu perlahan membuahkan hasil. Ia menemukan fakta yang selama ini tak diketahui publik lewat buku harian milik Abdul yang disimpan keturunan keluarganya. Ia menyimpulkan persahabatan Victoria-Abdul lebih dari yang kita kira. Bahwa sesungguhnya, ikatan keduanya telah melampaui batas-batas pergaulan ala aristokrasi Inggris kala itu.
Bermula dari Kari Ayam
Saat pertama kali naik takhta, pada 20 Juni 1837, usia Victoria masih 18 tahun. Kendati begitu, Inggris mengalami masa-masa kejayaan di bawah pemerintahannya. Kejayaan Inggris ditandai dengan masa puncak Revolusi Industri serta meluasnya kolonisasi imperium tersebut di Asia dan Afrika.
Dunia berubah cepat di bawah Victoria. Jaringan kereta api mulai banyak dibangun. Industri Inggris perkasa. Sedangkan untuk luas koloninya, BBC mencatat, pemerintahan Victoria menguasai sekitar seperlima wilayah di permukaan Bumi.
Salah satunya India, tempat di mana sang ratu berkuasa dengan gelar “Maharani India” sejak 1 Mei 1876. Dalam “The Long-term Impact of Colonial Rule: Evidence from India” (2002, PDF), Lakshmi Lyer mengungkapkan kekuasaan Inggris di India berlangsung hampir dua abad. Mereka pertama kali datang pada 1613, persisnya ketika British East India Company memulai kegiatan perdagangannya dengan membangun pabrik di Surat, India.
Memasuki 1700-an, setelah menang dalam pertempuran Plassey (1757) dan Buxar (1764), Inggris kian jumawa. Penyebabnya kontrol politik atas negara-negara bagian Timur, Bengal dan Bihar, sebagai kompensasi atas kemenangan di dua pertempuran di atas. Dari situ, British East India Company pelan-pelan menancapkan pengaruhnya di India.
Dalam kurun waktu satu abad berikutnya, Inggris makin beringas mencaplok di India. Pelan-pelan, Inggris menguasai pesisir India selatan (1800), Bombay (sebelum 1820), Assam (pertengahan 1820), sampai Punjab (1849).
Colin Alexander dalam “Colonialism in India was traumatic – including for some of the British officials who ruled the Raj” yang terbit di The Conversation menyebut bahwa penguasaan Inggris atas India meninggalkan trauma mendalam. Masyarakat India menderita kemiskinan, kekurangan gizi, penyakit, eksploitasi ekonomi, hingga perasaan inferioritas sosial maupun rasial.
Meski begitu, keadaan semacam itu tak menimpa Abdul Karim. Pekerjaan ayahnya, Wuzeeruddin, sebagai asisten rumah sakit—posisi terampil dengan beberapa kualifikasi medis—membuatnya bisa hidup pantas. Ia memperoleh akses pendidikan yang layak, misalnya untuk belajar bahasa Persia dan Urdu.
Di sebuah penjara di Agra, pertama kalinya Abdul bekerja. Ia bertugas di pos juru tulis. Meski dianggap bukan pekerjaan elit, tapi di posisi inilah ia mendapatkan kesempatan untuk melayani penguasa Inggris, Victoria.
Cerita bermula kala inspektur penjara, John Tyler, menawarkan Abdul pekerjaan di Inggris. Tyler memberikan kesempatan itu karena melihat pengalaman Abdul yang pernah pergi ke London untuk mengikuti Pameran Kolonial India pada 1886. Dalam acara tersebut, Abdul menemani 34 narapidana yang memamerkan kerajinan tangan berbentuk karpet sulam.
Apa yang disajikan rombongan India membuat Victoria terkesan. Ia pun meminta Tyler menunjuk dua orang India untuk membantu penyelenggaraan acara Golden Jubilee (perayaan 50 tahun kekuasaan ratu). Walhasil, dipilihlah Abdul dan satu orang lainnya bernama Mohamed Buxshe. Keduanya ditugaskan untuk menjembatani komunikasi antara pejabat India dan pihak kerajaan, selain tentunya menemani Victoria sepanjang hajatan berlangsung.
Abdul sempat panik. Ia beranggapan tak punya kemampuan menjalankan tugas barunya. Dibanding Buxshe, yang pernah menjadi pelayan jenderal Inggris, Abdul merasa kalah pengalaman. Ia takut gagal memenuhi ekspektasi. Namun, Abdul mencoba membuang pikiran-pikiran itu. Ia mempersiapkan segala hal dengan seksama, termasuk kursus kilat bahasa Inggris.
Pada 1887, Abdul tiba di London. Umurnya masih 24 tahun. Ia diperkenalkan di hadapan Victoria dengan embel-embel “hadiah dari India.” Abdul, demikian kesan pertama yang ditangkap Victoria sebagaimana ditulis Smithsonian, ialah “lelaki yang tinggi dan berwajah tampan.”
Setelah acara Golden Jubilee selesai, Abdul mengunjungi rumah musim panas milik Victoria di Isle of Wight. Sesampainya di sana, Abdul memberi kejutan: menjamu Victoria lewat masakan kari ayam dengan bumbu rempah yang menggoda. Victoria seketika dibuat terkesima sesaat setelah menyantap racikan Abdul. Ia pun langsung memerintahkan agar kari ayam masuk ke dalam menu kerajaan.
Belajar India dan Respons Negatif Kerajaan
Kari ayam membuka pintu bagi hubungan pertemanan antara Victoria dan Abdul ke tingkat yang lebih jauh. Tak lama kemudian, Victoria meminta Abdul mengajarinya segala sesuatu tentang India, seperti Bahasa Urdu atau Hindustani. Sebagai balasannya, Victoria mengajarinya Bahasa Inggris.
“Aku belajar beberapa kata Hindustan untuk berbicara dengan para pelayanku,” tulis Victoria tentang motivasinya belajar bahasa tersebut, mengutip Smithsonian. “Ini menarik buatku dan baik untuk pengembangan bahasa dan orang-orang sekitar.”
Atas bantuannya itu, oleh Victoria, Abdul dianugerahi gelar Munshi Hafiz di depan namanya. Penyematan gelar tersebut membuat Abdul punya status setingkat dengan pejabat India. Ia juga bebas dari tugas-tugas kasarnya sebagai pelayan.
Mereka kian dekat. Abdul setia menemani ke manapun langkah Victoria pergi, mendengar setiap keluhannya, bertukar cerita, dan berbagi kebahagiaan. Victoria pun mendefinisikan Abdul dengan sebutan “teman terdekat.” Sebagaimana dicatat BBC, kedekatan mereka lebih intens dibanding relasi Victoria bersama asisten sebelumnya asal Skotlandia, John Brown, yang meninggal pada 1883. Hubungan Victoria-Brown terjalin usai kematian suami Victoria, Pangeran Albert, pada 1861.
Kedekatan keduanya juga dibuktikan dengan pelbagai pemberian Victoria untuk Abdul. Victoria mengizinkan Abdul memboyong istri dan keluarganya ke Inggris, menyambut mereka dalam jamuan makan malam, memberinya fasilitas kereta pribadi serta kursi pertunjukan opera, sampai diberi tanah hibah di kampung halamannya di Agra.
Bahkan dalam wasiatnya, Victoria berpesan agar Abdul diundang jadi salah satu pelayat utama di pemakamannya. Menjadi pelayat di pemakaman ratu merupakan kehormatan yang hanya didapat segelintir pihak.
Meski dekat, relasi keduanya tak bersifat seksual. Intim, seperti yang dikatakan Basu, adalah istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan pertemanan Victoria-Abdul.
“Terkadang, dia [Victoria] adalah sosok ibu baginya. Kadang juga, dia jadi teman dekatnya,” jelas Basu kepada The Telegraph.
“Dia berbicara kepada Abdul sebagai manusia, bukan ratu. Di saat semua orang menjaga jarak dari Victoria, termasuk anak-anaknya sendiri, Abdul datang di hidupnya, memberitahu segala hal soal India, keluarganya, dan menjadi pendengar yang baik untuk segala masalah yang dialami Victoria.”
Persahabatan mereka, bagaimanapun, dipandang miring oleh lingkungan kerajaan. Ada ketidaksukaan, kebencian, dan penghinaan terhadap relasi mereka. Orang-orang ini marah sebab Abdul mendapatkan segala hal yang menurut mereka tak pantas. Sosok seperti Abdul semestinya tidak bergaul dengan Ratu Inggris. Tempat dan status yang pas untuknya tak lain dan tak bukan adalah pelayan.
Segala macam tuduhan negatif pun dilayangkan kepada Abdul. Berkali-kali Abdul dipojokkan dengan citra pencuri, mata-mata, pembohong, serta hanya memanfaatkan Victoria hanya untuk meningkatkan status sosialnya. Pernah juga, sekretaris Victoria bernama Arthur Bigge, meminta Abdul dan keluarganya dipenjara. Mendengar kabar itu, Victoria tak bergeming. Ia pasang badan dan berupaya menepis semua pemberitaan negatif mengenai Abdul.
Saking bencinya orang-orang kerajaan kepada Abdul, mereka langsung memulangkannya ke India begitu Victoria mangkat pada 1901. Tak cuma itu saja, berkas-berkas yang berhubungan dengan Abdul-Victoria (termasuk surat pribadi), dibakar habis oleh Edward VII, putra Victoria. Mereka ingin jejak yang membuktikan bahwa Victoria pernah menjalin pertemanan dengan Abdul, lenyap. Sejarah ditulis ulang dan narasi tentang Abdul dihapus.
Riwayat Abdul-Victoria ternyata tak semudah itu dihilangkan. Sejarah pertemanan itu tetap hidup berkat kisah-kisah yang ditulis Abdul dalam buku hariannya, yang kemudian dijaga dengan baik oleh generasi keluarga Abdul selanjutnya. Kisah yang terekam dalam buku harian tersebut lalu disusun ulang oleh Basu lewat bukunya,Victoria & Abdul: The True Story of the Queen's Closest Confidant (2010).