tirto.id - Enam mahasiswa dan aktivis ditangkap saat melakukan aksi di depan Universitas Udayana, Denpasar, Bali pada Selasa (15/11/2022) sore sekitar pukul 15.00 WITA. Sore itu bertepatan dengan acara puncak Presidensi G20 Indonesia yang sedang berlangsung di Nusa Dua, Bali.
Namun, keenamnya telah dilepas jelang tengah malam sebelum ganti hari menuju Rabu (16/11/2022). “Sudah keluar, kemarin kami advokasi, dan dibebaskan," kata pengacara publik LBH Bali, Vany Primaliraning, kepada wartawan Tirto, Rabu pagi.
Awalnya, aksi tersebut dilakukan oleh sejumlah mahasiswa Universitas Udayana dan masyarakat sipil lainnya untuk merespons pembubaran paksa diskusi Indonesia People's Assembly di dalam kampus pada Senin (14/11/2022), satu hari sebelumnya.
Di depan kampus, massa aksi membentangkan spanduk bertuliskan: "G20 Bukan Solusi" dan "G20 tidak bisa melahirkan solusi bagi problem di Indonesia dan Bali".
Dalam kronologi yang diterima Tirto, setelah aksi berjalan sekitar tujuh menit, sejumlah orang tak dikenal berusaha membubarkan aksi. Mereka berusaha mencopot spanduk dan menarik paksa dua orang dari massa aksi, sembari menuding sebagai "inisiator". Peserta aksi lainnya juga diintimidasi seperti diambil paksa kamera, KTP, hingga ATM.
Akhirnya, ada enam orang dari massa aksi, yang terdiri dari lima mahasiswa Universitas Udayana dan satu masyarakat sipil, ditahan dan diinterogasi oleh sejumlah aparat berbaju biasa yang mengeluarkan identitas anggota TNI dan Polri. Beberapa di antaranya mengaku sebagai perwakilan daru Majelis Desa Adat (MDA).
Setelah ditahan selama satu jam, massa aksi dibawa ke kantor Satpol PP Provinsi Bali oleh sejumlah aparat TNI dan Polri, dan beberapa orang yang mengaku bagian dari intelijen. Enam orang massa aksi protes meminta pendampingan hukum.
Kemudian, enam orang massa aksi tersebut dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan bermaterai. Keenamnya mengaku tak paham isi surat itu dan menolak tanda tangan.
Lebih dari satu jam ditahan dan diinterogasi di kantor Satpol PP Provinsi Bali, akhirnya Vany sebagai pendamping hukum datang.
“Di sana alot karena mereka [pihak yang menahan] tidak mampu menunjukkan dasar hukum dan hanya teriak-teriak untuk hal yang tidak substansial," kata Vany.
Tak hanya itu, keenam orang massa aksi tersebut dipaksa memberikan identitas pribadi, mulai dari KTP hingga alamat tempat tinggal.
“Saya bilang KTP tidak boleh disebarkan karena ini data pribadi dan ada aturan pidananya. Mereka malah tersinggung dan bentak-bentak, dan meminta untuk tidak melakukan aksi selama perhelatan G20," lanjutnya.
Kata Vany, para aparat yang menangkap massa aksi berkilah bahwa tindakan hari itu bukan merupakan "penangkapan" maupun "penahanan.”
“Padahal pengertian itu jelas diatur dalam KUHAP, dan mereka menyatakan saya tidak paham pengertian dua hal tersebut," kata Vany.
“Yang menjadi lucu menyatakan saya bukan orang Bali asli karena tidak mendukung G20 dengan mengadvokasi kawan-kawan yang ditahan. Padahal posisi saya sebagai pendamping hukum sebagai mandat UU Bantuan Hukum, UU Advokat," tambahnya.
Respons Polisi
Kepala Bidang Humas Polda Bali, Stefanus Satake Bayu mengklaim, aksi hari itu di depan kampus Universitas Udayana dilakukan tanpa pemberitahuan kegiatan, sembari mengutip UU No. 9 tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Stefanus mengaku menyayangkan hal tersebut.
“Apabila Korlap memberitahukan kegiatannya kepada kepolisian, maka kepolisian menjamin kegiatannya, akan mendapat pengamanan oleh kepolisian, serta kepentingan masyarakat umum dapat berjalan sebagaimana mestinya," kata Stefanus saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Rabu siang.
"Terhadap peserta unjuk rasa dilakukan tindakan oleh Satpol PP Kota Denpasar yang menganggap kegiatannya mengganggu ketertiban umum," tambahnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz