tirto.id - Indosat dan Telkomsel pernah dibesarkan dari ibu yang sama yakni Pemerintah Indonesia. Keduanya sempat tumbuh besar bersama, hingga kemudian “diadopsi” oleh perusahaan asing yang sama yakni Temasek. Indosat oleh anak usaha Temasek yakni Singapore Technologies Telemedia (STT), Telkomsel oleh anak usaha Temasek lainnya, Singapore Telecom (Singtel). Didikan ibu kandung dan ibu angkat yang sama itu ternyata tetap tak mampu membuat mereka tidak akur. Indosat dan Telkomsel kini justru saling gelut, menjatuhkan.
Perseteruan Indosat dan Telkomsel memang membuat prihatin. Sejatinya, Telkomsel dan Indosat masih bersaudara karena ada porsi kepemilikan pemerintah Indonesia. Karena ada kepemilikan merah putih itu, Telkomsel dan Indosat seharusnya bahu membahu membangun industri telekomunikasi yang lebih sehat.
Porsi kepemilikan pemerintah memang masih ada, hanya saja di Indosat cukup kecil hanya 14,29 persen. Mayoritas kepemilikan saham Indosat Ooredoo masih dikuasai Ooredoo Asia Pte. Ltd sebesar 65 persen. Sisanya 20,71 persen dimiliki oleh publik.
Indosat sebenarnya sudah berdiri sejak 1967. Ketika itu, Indosat masih menjadi perusahaan penanaman modal asing pertama di Indonesia. Pada 1980, ketika marak gelombang nasionalisasi, Indosat akhirnya 100 persen menjadi milik pemerintah Indonesia, setelah dibeli dari asing. Pada 1994, Indosat melepas sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan New York Stock Exchange. Kepemilikan saham pun bergeser menjadi 65 persen pemerintah Indonesia dan 36 persen publik.
Pada 2002, Singapore Technologies Telemedia (STT) memenangkan divestasi 41,94 persen saham Indosat. Nilai penjualannya mencapai Rp5,62 triliun. Pada 2009, STT secara diam-diam melepas 40,8 persen sahamnya ke Qatar Telekom (kini Ooredoo Asia Pte. Ltd). Transaksinya cukup fantastis mencapai Rp16,8 triliun. Qtel terus menambah kepemilikan sahamnya hingga kini mencapai 65 persen.
STT melepas Indosat karena waktu itu sering menghadapi kritikan monopoli di Indonesia. STT dan Singtel merupakan unit usaha dari BUMN investasi Singapura, Temasek. Selain menguasai Indosat melalui STT, Temasek juga menguasai saham provider lain yakni Telkomsel melalui Singtel. Kepemilikan silang itu sempat disoroti karena dikhawatirkan memunculkan persaingan tidak sehat terkait tarif.
Singtel terlebih dahulu menguasai 35 persen saham Telkomsel. Kepemilikan itu awet hingga kini. Singtel membeli saham Telkomsel secara bertahap. Sebesar 22,3 persen dibeli pada 2001 dan 12,7 persen setahun kemudian. Total dana yang dikeluarkan Singtel untuk membeli saham Telkomsel mencapai 1,6 miliar dolar. Sisa kepemilikan saham Telkomsel masih dikuasai oleh Telkom.
Dengan sejarah keterikatan yang sedemikian panjang, maka perang yang kini terjadi antara Indosat dan Telkomsel merupakan sebuah hal yang cukup memprihatinkan. Pertikaian ini juga menarik perhatian Garuda Sugardo, mantan Direksi Telkomsel, Indosat, dan Telkom. Ia menuliskannya di laman Facebook-nya. Berikut nukilannya.
“Ini masih di bulan Ramadhan, hai seluler Indonesia jangan tawuran atau saling serimpung lagi. Kalian ada di bawah satu wadah, yaitu Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI). Merah putih-kah benderamu? Mari kita berkompetisi secara bermartabat, bersaing dan bersanding. Mau terus berperang? Ingat Pak Harto: 'ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake!'.”
“Kita berharap pertempuran ini berpindah ke layar kaca, dua CEO berdebat di televisi, kita tonton siapa yang benar-benar mengibarkan panji-panji kepuasan pelanggan. Itu baru keren. Atau, boleh pilih Hikayat Aji Saka: “hana caraka data sawala, pada jayana manga batangha” (dua pesuruh berbantah-bantah, saling tidak mau mengalah; karena sama-sama sakti, akhirnya sama-sama mati).”
Pasukan Indosat dan Telkomsel saling bertarung di lapangan, saling menjatuhkan untuk mendapatkan pasar. Mereka bertingkah tidak seperti dua perusahaan yang pernah tumbuh bersama, dan dididik oleh “ibu” yang sama. Intinya kini cuman satu: bagaimana bisa menjadi pemenang.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Sapto Anggoro