tirto.id - Indosat dan Telkomsel terlibat perang sengit. Semua bermula dari spanduk IM3 yang menyebut tarifnya paling murah. Indosat menuding Telkomsel pelit tak mau berbagi jaringan di luar Jawa. Telkomsel pun dituding monopoli. Sebaliknya, Telkomsel merasa pangsa pasar besar yang diperolehnya di luar Jawa adalah kerja kerasnya selama bertahun-tahun investasi. Kalaupun sekarang mereka memetik hasilnya, tidak ada yang salah.
Indosat merasa berang karena janji-janji pemerintah agar Telkomsel tidak monopoli tak pernah ditepati. Indosat pun meluncurkan kampanye menelepon murah, untuk bisa mengalahkan dominasi Telkomsel. Padahal, tarif murah itu akan menjadi bumerang bagi Indosat, yang sebenarnya secara laba juga masih kalah dari Telkomsel.
“Cuma IM3 Ooredoo Nelpon Rp 1/Detik. Telkomsel? Gak Mungkin”.
“Saya sudah buktikan nelpon ke Telkomsel Rp1/detik”.
“Saya sudah terbebas dari tarif yang ribet.”
Gara-gara iklan yang menjatuhkan lawan itu, Indosat dikritik dan dianggap tidak etis. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sampai turun tangan menghadapi masalah ini. Ia meminta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk mendamaikan Telkomsel dan Indosat.
BRTI akhirnya memanggil Indosat pada Selasa (21/6/2015). Terungkap alasan Indosat melakukan kampanye tarif murah yang menyerang Telkomsel. Indosat rupanya kesal dengan posisi dominan Telkomsel di Indonesia. Usai dipanggil BRTI, Presiden Direktur dan CEO Indosat Alexander Rusli langsung melakukan pertemuan terbatas dengan sejumlah media. Ia pun buka-bukaan tentang aksi protes Indosat. Ia bahkan mengajak provider lain seperti XL untuk melawan monopoli Telkomsel.
“Saya minta XL dan lain-lain omong apa adanya mengenai monopoli, jangan cuman ngomporin saya dari belakang,” ungkap CEO Indosat Oredoo Alex Rusli kepada tirto.id.
Monopoli yang dipersoalkan Indosat adalah penguasaan Telkomsel atas pangsa pasar di luar Jawa. Hingga kuartal I-2016, Telkomsel tercatat menguasai 87,7 persen pangsa pasar di luar Jawa. Indosat hanya kebagian 7,5 persennya, dan XL sebesar 4,8 persen. Posisi Telkomsel sebagai penguasa pasar luar Jawa ini nyaris tak goyah bahkan cenderung meningkat dalam setahun terakhir.
Indosat kesal karena kerja sama penggunaan infrastruktur jaringan bersama dengan metode multi operator core network (MOCN) yang tak kunjung terealisasi. Padahal dengan kerja sama ini, operator bakal berbagi menara base transceiver station (BTS), termasuk spektrumnya. Penggunaan MOCN diharapkan bisa menghemat belanja operasional provider minimal 60 persen. Namun, kerja sama ini terhambat aturan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit yang tidak kunjung selesai. Terhambatnya aturan ini membuat provider gelisah. Menkominfo Rudiantara sudah menjanjikan aturan ini bisa tuntas pada 2016.
Pemerintah memang sedang berupaya melakukan efisiensi industri teknologi. Salah satunya dengan implementasi berbagi jaringan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Indosat merupakan pihak yang pro, sementara Telkomsel termasuk yang kontra. Kebijakan tersebut menurut Telkomsel, diterapkan setelah pembangunan BTS sudah terpenuhi di seluruh Indonesia. Telkomsel menganggap berbagi jaringan tidak menguntungkan operator terutama terkait percepatan pita lebar Indonesia. Para operator pun harus siap keuntungannya berkurang.
“Penguasaan pasar oleh Telkomsel di luar Pulau Jawa diraih melalui sebuah proses yang panjang dan jatuh bangun yang luar biasa sejak berdirinya di tahun 1995,” tegas Vice President Corporate Communications Telkomsel, Adita Irawati menyoal tentang posisi dominan Telkomsel di luar Jawa.
Pernyataan tersebut seperti sebuah sinyal bahwa Telkomsel tidak mau hasil jerih payahnya selama ini dinikmati oleh operator lainnya, yang selama ini tidak mau bersusah payah membangun infrastruktur seperti Telkomsel.
Di sisi lain, Indosat pun sepertinya sudah tak sabar. Untuk mengambil hati pelanggan, Indosat meluncurkan layanan telepon Rp1 per detik untuk pelanggannya di luar Jawa. Mereka ingin mengambil pangsa pasar Telkomsel yang sangat dominan di luar Jawa dengan persentase penguasaan hingga 80 persen.
Pemberlakuan tarif itu justru menjadi bumerang. Indosat dinilai menerapkan “predatory pricing” atau penetapan harga rendah untuk mematikan pesaing.
“Salah satu ciri dari predatory pricing adalah menjual di bawah harga produksi untuk mematikan pesaing. Praktik pemasaran Rp1 per detik bisa merusak bisnis seluler dalam jangka panjang," kata Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi.
Tarif itu memang merugikan. Berdasarkan kajian yang dilakukan Ridwan Effendi, pendapatan per menit dari layanan suara untuk Indosat Rp136,7 per menit, Telkomsel Rp168,5/menit, dan XL Rp213,4/menit.
Padahal dalam menerapkan Rp1 per detik ke seluruh operator, Indosat diperkirakan mengalami rugi Rp190/menit karena Indosat memberikan tarif retail di bawah biaya interkoneksi Rp250/menit. Kondisi ini sudah berlangsung sejak November hingga Desember 2015.
"Praktik-praktik anti persaingan ini yang harus dicermati regulator," katanya, seperti dilansir dari Antara.
Ia juga menilai, tarif murah tidak akan efektif jika jangkauan sinyalnya tidak luas. Menurut mantan anggota BRTI ini, masyarakat dalam suatu wilayah tidak mungkin tertarik dengan operator yang hanya menancapkan satu unit BTS saja di tengah kota demi untuk memenuhi "modern licensing" di 33 propinsi.
"Prinsipnya, seluler adalah mobile. Pelanggan tentu ingin setiap bergerak selalu ada sinyal, komunikasi lancar. Jadi, sebelum isu monopoli ini bergulir, sebaiknya dicek dulu pemenuhan jangkauan secara layanan dan pemasaran, bukan untuk memenuhi aturan saja. Hukum pasar bicara di sini," katanya.
"Masyarakat Indonesia sudah pintar memilih operator. Ada yang suka tarif murah, ada pula yang suka dengan cakupan yang luas, walau mungkin tarif lebih mahal sedikit. Tarif menjadi berbeda tentu tak bisa dilepaskan dari investasi untuk membangun infrastruktur yang lebih mahal di luar Jawa."
Tarif yang murah memang akan merugikan Indosat. Untuk saat ini, Telkomsel memang masih paling unggul dari sisi pendapatan. Hingga akhir 2015, pendapatan Telkomsel mencapai Rp 76,055 triliun. Perolehan ini jauh melampaui Indosat yang hanya Rp 26,769 triliun dan Xl sebesar Rp 22,96 triliun. Demikian pula dari sisi laba. Telkomsel berhasil meraih laba Rp 22,368 triliun, sementara Indosat merugi Rp 1,164 triliun. XL masih mencatat laba meski hanya Rp 8 triliun. Dari sisi tarif layanan, Telkomsel dan Indosat memang bersaing ketat.
Sementara untuk tingkat pelanggan, Telkomsel hingga akhir 2015 menguasai 152,6 juta pelanggan. Indosat hanya 69,7 juta, Tri Indonesia 55,5 juta, dan dan XL 41,9 juta.
Dengan kondisi yang serba kalah dari Telkomsel, terasa sangat wajar jika Indosat mati-matian berjuang untuk mendongkrak perolehannya. Sementara Telkomsel sebagai raja selular di Indonesia, pastinya tak mau turun dari tahtanya. Persoalannya, apakah langkah untuk bertahan di pasar itu sudah dilakukan dengan mekanisme yang benar? Jawabannya ada di BRTI dan juga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Sapto Anggoro