Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

10 Contoh Konflik Ideologi yang Pernah Terjadi di Indonesia

Konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi beberapa kali terjadi di Indonesia, terutama pada awal pasca-proklamasi kemerdekaan.

10 Contoh Konflik Ideologi yang Pernah Terjadi di Indonesia
Ilustrasi peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948, salah satu contoh konflik ideologi di Indonesia. wikimedia commons/domain publik

tirto.id - Konflik ideologi adalah konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi pernah terjadi beberapa kali di Indonesia, terutama selepas masa kemerdekaan.

Dalam konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi tersebut, ada yang berkaitan dengan ideologi yang dipegang oleh kelompok tertentu. Hal inilah yang menjadi latar belakang terjadinya konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi.

Pergolakan ini kadang kala disebut juga sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan Indonesia. Hal tersebut terjadi karena kelompok yang melakukan aksinya menginginkan Indonesia menjadi negara yang sejalan dengan menggunakan ideologi yang dipercayai kelompok tersebut.

10 Contoh Konflik Ideologi di Indonesia

Konflik kasus ideologi di Indonesia terjadi beberapa kali, terutama setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Berikut beberapa contoh konflik dan pemberontakan ideologi di Indonesia:

1. Peristiwa PKI Madiun

Contoh konflik ideologi di Indonesia yang pertama adalah peristiwa PKI Madiun. Pada 1926, PKI pernah melakukan aksi pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Para pemimpin PKI ditangkap dan dipenjarakan.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, PKI kembali hidup. Berdasarkan catatan Abdurakhman dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia (2015:9), PKI masih beriringan dengan pemerintah Indonesia karena anggota kelompoknya terlibat dalam pemerintahan.

Akan tetapi, mulai 1948, PKI mulai terlempar dari kedudukannya di pemerintahan sehingga menjadi partai oposisi. Mereka menggabungkan diri dengan partai-partai golongan kiri lainnya seperti Front Demokrasi Rakyat (FDR), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Pemuda Rakyat, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Kelompok yang berafiliasi ini menginginkan Indonesia menjadi negara berideologi komunis. Awal September 1948, Muso yang memimpin PKI membawa kelompok tersebut melakukan pemberontakan di Madiun.

“Perebutan kekuasaan tersebut pada jam 07.00 pagi telah berhasil sepenuhnya menguasai Madiun. Pada pagi itu pasukan komunis dengan tanda merah mondar-mandir sepanjang jalan. Madiun dijadikan kubu pertahanan dan titik tolak untuk menguasai seluruh wilayah RI,” ungkap Rachmat Susatyo melalui buku Pemberontakan PKI-Musso di Madiun (2008).

Peristiwa pergolakan dengan senjata ini puncaknya terjadi pada 18 September 1948. Kala itu, Muso memproklamasikan lahirnya negara Republik Soviet Indonesia.

2. Peristiwa DI/TII di Jawa Barat

Konflik yang berkaitan dengan ideologi di Indonesia juga pernah terjadi pada 1948, yakni Pemberontakan DI/TII.

Gerakan ini dipelopori oleh Kartosuwiryo, seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Perjanjian Renville dengan Belanda yang memaksa tentara RI di daerah Jawa Barat pergi, membuat Kartosuwiryo memutuskan mendirikan negara Islam.

Bersama pasukan bersenjata bernama Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwiryo membangun Tentara Islam Indonesia (TII). Wilayah Jawa Barat yang tadinya dilindungi sebagai bagian RI, ingin dijadikan olehnya sebagai negara Islam. Akhirya pada Agustus 1948, Kartosuwiryo mendeklarasikan pembentukan Darul Islam (negara Islam) dengan tentaranya yang bernama TII.

Ketika tentara Republik Indonesia kembali ke Jawa Barat, DI/TII tidak menerimanya. Dengan kata lain, Kartosuwiryo bersama kelompoknya tidak mengakui kedaulatan Indonesia yang kala itu Jawa Barat juga menjadi wilayahnya.

Ketegasan pemerintah Indonesia terhadap peristiwa ini pun terwujud dengan operasi “Pagar Betis”. Tentara Indonesia mengadakan penyisiran terhadap kelompok Kartosuwiryo sehingga pergerakannya mulai terbatas. Bahkan, operasi ini berhasil membawa Kartosuwiryo ke dalam genggaman Indonesia dengan ditangkap pada 1962.

Gerakan DI/TII ini tidak hanya terjadi di wilayah Jawa Barat, namun juga di beberapa wilayah lain Indonesia. Daerah yang kala itu diklaim dimotori DI/TII meliputi Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh.

3. Peristiwa DI/TII di Jawa Tengah

Di Jawa Tengah, Gerakan DI/TII dipimpin oleh Amir Fatah. Amir Fatah yang awalnya adalah seorang pejuang kemerdekaan bergabung dengan DI/TII karena kecewa terhadap kebijakan pemerintah. Wilayah operasinya mencakup sekitar daerah Tegal, Brebes, dan Pekalongan.

Sama seperti di Jawa Barat, kelompok DI/TII di Jawa Tengah juga bertujuan membentuk negara Islam yang terpisah dari Republik Indonesia. Pemerintah RI kemudian melakukan operasi militer untuk menghentikan gerakan ini, hingga berhasil menumpasnya pada tahun 1954.

4. Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Di Sulawesi Selatan, Gerakan DI/TII dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Pada awalnya, Kahar Muzakkar adalah seorang komandan militer pro-Republik. Namun, karena kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah, ia kemudian menyatakan bergabung dengan DI/TII pada tahun 1952.

Kahar Muzakkar mengumumkan bahwa Sulawesi Selatan adalah bagian dari negara Islam yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Pemerintah RI kemudian mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan ini, dan setelah berbagai operasi militer, Kahar Muzakkar berhasil dilumpuhkan pada tahun 1965.

5. Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Di Kalimantan Selatan, Gerakan DI/TII dipimpin oleh Ibnu Hajar. Ibnu Hajar yang sebelumnya adalah prajurit militer RI, kecewa terhadap situasi ekonomi dan politik pada masa itu. Pada 1950-an, ia membentuk kelompok bersenjata dengan tujuan mendirikan negara Islam di Kalimantan Selatan sebagai bagian dari DI/TII.

Pemberontakan ini mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, yang akhirnya berhasil menumpas gerakan tersebut pada tahun 1963 setelah serangkaian operasi militer.

6. Gerakan DI/TII di Aceh

Di Aceh, Gerakan DI/TII dipimpin oleh Daud Beureueh. Berbeda dengan daerah lain, latar belakang gerakan ini lebih berkaitan dengan kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil.

Pada tahun 1953, Daud Beureueh mendeklarasikan bahwa Aceh menjadi bagian dari Darul Islam.

Namun, pemerintah Indonesia kemudian mengirimkan pasukan dan mengupayakan pendekatan damai untuk mengakhiri pemberontakan ini. Pada tahun 1962, setelah berbagai negosiasi dan operasi militer, pemerintah berhasil mengakhiri gerakan DI/TII di Aceh.

Secara umum, Gerakan DI/TII di berbagai daerah ini menampilkan motif yang serupa, yakni keinginan mendirikan negara Islam dengan kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah sebagai salah satu faktor utama. Masing-masing daerah pun memiliki cara pendekatan dan penanganan yang berbeda oleh pemerintah pusat.

7. Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)

Peristiwa ini masih menimbulkan perdebatan terkait siapa yang memotorinya. Sebab ada banyak versi terkait peristiwa ini. Akan tetapi fakta yang terjadi kala itu PKI tengah dalam pertentangan dengan Angkatan Darat (AD) dan golongan anti PKI lain.

Situasi politik makin meruncing pada Juli 1965, Sukarno selaku presiden RI 'seumur hidup' jatuh sakit. Kala itu, ia didiagnosa akan lumpuh atau bahkan bisa meninggal. Isu ini memungkinkan bagi pihak berkepentingan untuk mengambil alih kekuasaan jika Sukarno benar-benar wafat.

Melalui rapat Politbiro PKI yang berlangsung dari Agustus hingga terakhir 28 September 1965, PKI memutuskan untuk mengambil 'tindakan'.

Pada 30 September 1965, beberapa pasukan PKI yang dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira yang memiliki hubungan baik dengan PKI, meluncurkan aksinya. Mereka menculik beberapa jenderal dan perwira--yang disebut Dewan Jenderal--dengan dalih untuk dihadapkan kepada Presiden Sukarno. Namun para jenderal yang diculik itu sebagian dibunuh saat diculik maupun di markas gerakan di Lubang Buaya.

Jenazah mereka yang mati ditaruh di dalam sebuah sumur yang terletak di Lubang Buaya, Jakarta. Di antara jenderal dan perwira yang meninggal kala itu adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo, dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.

Selain itu, ada satu Jenderal yang lolos ketika hendak diculik saat itu, yakni Jenderal Abdul Haris Nasution. Bukan hanya orang-orang yang telah disebutkan meninggal di atas, namun di Yogyakarta Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono juga merasakan nasib yang sama.

Dengan tidak adanya pucuk pimpinan AD setelah Jenderal Ahmad Yani diketahui wafat, Mayor Jenderal Soeharto akhirnya memutuskan untuk menggantikan posisinya. Di bawah kepemimpinannya, operasi penumpasan G30S/PKI pun diluncurkan mulai dari Jakarta hingga ke daerah lain.

8. Konflik Aceh

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara resmi didirikan pada 4 Desember 1976 dengan tujuan utama menolak penyatuan Aceh dengan Republik Indonesia. Di bawah kepemimpinan Hasan Tiro, yang kemudian mengklaim dirinya sebagai Wali Nanggroe (pemimpin negara), GAM berambisi menjadikan Aceh sebagai negara merdeka, mengacu pada masa keemasan Kerajaan Aceh di bawah Iskandar Muda.

Hasan Tiro mempromosikan visi romantik ini dengan merinci kemakmuran Aceh pada periode tersebut, termasuk hubungan diplomatiknya dengan Kerajaan Belanda. Sentimen kedaulatan atas sumber daya alam menjadi fokus utama dalam propaganda GAM untuk merekrut anggota.

Dengan peningkatan jumlah anggota, GAM aktif dalam aksi gerilya hingga tahun 1990-an. Namun, pada pertengahan 1990-an, GAM harus menghadapi tentara Indonesia yang jumlahnya jauh lebih besar.

Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dan pasukan kontraterorisme khusus dikirim oleh pemerintah Indonesia untuk menangani situasi tersebut. Pada periode ini, GAM memiliki antara 200 hingga 750 pejuang.

Konflik ini berakhir pada tahun 2005 dengan disepakatinya kesepakatan damai Helsinki antara pemerintah Indonesia dan GAM, memberikan otonomi khusus kepada Aceh.

9. Konflik ideologi pada masa transisi pasca-kemerdekaan

Pada masa transisi kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada periode awal pasca-proklamasi kemerdekaan, terdapat konflik ideologi yang berkaitan dengan pandangan mengenai bentuk negara, sistem pemerintahan, dan nilai-nilai yang harus diadopsi.

Beberapa konflik ideologi utama pada masa transisi kemerdekaan melibatkan pertentangan antara kelompok nasionalis, Islam, dan pihak yang mendukung bentuk negara berbeda.

Dalam aspek bentuk negara, sejak awal memang ada beberapa perbedaan pendapat. Ada yang mendukung negara Islam, tetapi yang lain menginginkan negara sekuler. Ini menciptakan ketegangan antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam.

Perumusan sistem pemerintahan juga menimbulkan perbedaan pendapat. Ada kelompok yang mendukung sistem demokrasi liberal, sementara yang lain mempertimbangkan sistem yang lebih otoriter. Hal ini juga yang kemudian menimbulkan beberapa kali perubahan sistem pemerintahan di Indonesia, dari parlementer hingga kemudian menggunakan sistem presidensial seperti sekarang.

10. Pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta/PRRI

Pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta, atau yang lebih dikenal sebagai PRRI/Permesta, merupakan konflik ideologi dan politik yang terjadi di Indonesia pada akhir 1950-an. Konflik ini bermula dari ketidakpuasan sejumlah tokoh daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat di bawah Presiden Soekarno yang dinilai lebih memprioritaskan pembangunan di Pulau Jawa dibandingkan wilayah lainnya, seperti Sumatera dan Sulawesi.

Ketimpangan ekonomi ini menimbulkan kekecewaan di kalangan tokoh-tokoh militer dan sipil di luar Jawa, terutama di Sumatera dan Sulawesi, sehingga memicu gerakan separatis yang berpuncak pada deklarasi PRRI di Sumatera pada tahun 1958 dan Permesta di Sulawesi pada tahun 1957.

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan di Sumatera Barat pada 15 Februari 1958, dengan tujuan untuk mendirikan pemerintahan sementara yang akan melawan pemerintah pusat yang dianggap tidak adil. Gerakan ini dipimpin oleh beberapa tokoh militer dan sipil, seperti Ahmad Husein, Syafruddin Prawiranegara, dan beberapa perwira Tentara Nasional Indonesia.

Di Sulawesi Utara, gerakan serupa yang disebut Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) muncul pada tahun 1957, dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Letkol Ventje Sumual. Kedua gerakan ini pada dasarnya ingin menuntut otonomi yang lebih besar dan distribusi ekonomi yang lebih merata untuk daerah-daerah di luar Jawa.

Namun, PRRI/Permesta juga mendapat dukungan dari negara asing, terutama Amerika Serikat, yang khawatir akan pengaruh komunisme di Indonesia yang semakin besar di bawah pemerintahan Soekarno. Amerika Serikat dan beberapa sekutu Barat lainnya memberikan dukungan dalam bentuk bantuan persenjataan dan logistik untuk memperkuat PRRI/Permesta. Hal ini memperumit konflik karena selain sebagai bentuk ketidakpuasan dalam negeri, gerakan ini juga dianggap sebagai upaya separatis yang mengancam integrasi Indonesia dan dipandang bersekutu dengan kepentingan asing.

Untuk menumpas pemberontakan ini, pemerintah pusat melancarkan operasi militer yang cukup besar, mengirimkan pasukan ke Sumatera dan Sulawesi untuk menghadapi PRRI dan Permesta. Melalui serangkaian operasi militer, pemerintah berhasil menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh PRRI dan Permesta.

Akhirnya, konflik ini berakhir pada tahun 1961, ketika para tokoh PRRI dan Permesta menyerah atau ditangkap oleh pemerintah. Pemberontakan PRRI/Permesta tidak hanya meninggalkan dampak yang besar pada stabilitas politik dan keamanan di Indonesia, tetapi juga memperkuat tekad pemerintah pusat untuk menjaga keutuhan negara dan meningkatkan upaya pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.

Baca juga artikel terkait IDEOLOGI atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Dhita Koesno