tirto.id - Pada 28 April 1958 seorang bocah menyaksikan kapal perang milik Indonesia diserang pesawat tempur asing di sekitar Teluk Balikpapan. Setalah dibom, kapal itu terbakar dan tenggelam.
Kapal tersebut adalah KRI Hang Tuah, dan bocah yang menyaksikannya adalah Tedjo Edhy Purdijatno yang kelak menjadi Kepala Staf Angkatan Laut dan Menkopolhukam. Kala itu ia tengah ikut ayahnya yang bertugas di Balikpapan. Menurut Tedjo dalam biografinya Mengawal Perbatasan Negara Maritim (2010:10), akibat serangan itu banyak anak buah kapal yang mengalami luka bakar.
Saat itu posisi KRI Hang Tuah berada di sekitar instalasi minyak yang berharga dan menjadi rebutan dalam perang. Pihak yang bertanggungjawab atas tenggelamnya KRI Hang Tuah adalah Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) Permesta yang berpangkalan di Manado. AUREV dipimpin oleh Petit Moeharto, pelarian Mayor TNI AU yang berdarah Jawa. Sementara pilot pesawat yang menenggelamkan KRI Hang Tuah adalah Allan Pope.
Dalam Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut 1950-1959 (1987:111) disebutkan bahwa KRI Hang Tuah mulanya adalah milik Koninklijk Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda) dengan nama HrMs Morotai. Bersama HrMs Tidore, HrMs Morotai diserahkan kepada Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada 28 Desember 1949, sehari setelah pengakuan kedaulatan.
Kapal ini jenis korvet yang punya kemampuan tempur jarak dekat. Ukurannya lebih besar dari kapal patroli biasa dan lebih kecil daripada fregat. Ukurannya 162x26 meter, kecepatannya 15 mil perjam, diawaki 80 orang dengan senjata 1 meriam penangkis udara kaliber 44 mm dan 4 mitraliur kaliber 20 mm. KRI Hang Tuah mulanya dipimpin Mayor Raden Eddy Martadinata yang kemudian menjadi KSAL dari tahun 1959 sampai 1966.
Selain mendapatkan HrMs Morotai dan HrMs Tidore, ALRI dapat dua korvet lagi yaitu HrMs Ambon dan HrMs Banda. Keduanya kemudian berganti nama. HrMs Ambon menjadi KRI Banteng yang dipimpin Mayor HP Simanjuntak, dan HrMs Banda menjadi KRI Radjawali di bawah komando Mayor John Lie.
Buku Almanak Angkatan Perang (1955:236) mencatat bahwa keempat kapal itu adalah yang pertama diserahkan KM kepada ALRI. Setelah itu, KM juga menyerahkan sejumlah kapal kecil yang digunakan untuk patroli.
Kehadiran kapal-kapal tersebut mengawali era baru ALRI yang pada tahun-tahun sebelumnya minim kekuatan dan kerap kucing-kucingan dengan Angkatan Laut Belanda yang banyak memblokade perairan Nusantara.
Secara keseluruhan, menurut buku Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut 1950-1959 (1987:116), ALRI mendapat 4 korvet, 1 kapal pemburu torpedo, 6 kapal peronda pantai, 7 kapal penghubung, 4 kapal penyelamat, 2 kapal ponton, 2 kapal barang, dan 11 kapal bot kecil. Selain dari KM, ALRI juga mendapat kapal dari jawatan pelayaran dan Marine Etablissement. Selain itu, sejumlah personel KM juga ada yang pindah ke ALRI.
Sebelum menjadi milik KM Belanda sebagai HrMs Morotai, pada 1942 kapal yang kelak menjadi KRI Hang Tuah dioperasikan oleh Angkatan Laut Australia dengan nama HMAS Ipswich. Selama Perang Dunia II, kapal ini berlayar hingga Laut Tengah dan ikut serta dalam Kampanye Sisilia. Namun pada 1944 kapal sudah kembali ke Samudra Hindia.
Di pengujung Perang Dunia II, kapal ini pernah juga berlayar ke Jepang dan kembali ke Australia pada 15 Februari 1946. Selama menjadi milik Angkatan Laut Australia, ia telah berlayar sekitar 143.000 mil. Lalu pada 4 Juni 1946 kapal ini diserahkan kepada KM Belanda.
Penumpasan Andi Azis dan RMS
Tahun 1950, KRI Hang Tuah dan tiga korvet lain yang baru bergabung dengan ALRI langsung diterjunkan dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Makassar. KRI Hang Tuah dan KRI Banteng pada 19 April 1950 melindungi pendaratan pasukan dari Batalion Mayor HV Worang di Jeneponto sebelum masuk ke Makassar.
Di bawah pimpinan Martadinata, seperti dicatat Zamzulis Ismail dan Burhanuddin Sanna dalam Siapa Laksamana R. E. Martadinata (1977:95), KRI Hang Tuah ”mengadakan patroli dan blokade laut di sekitar perairan Makassar, untuk menjaga pelarian dan infiltrasi dari pihak musuh dan memberi bantuan kepada Batalion Worang bilamana diperlukan.”
Sementara menurut Soeharto dalam biografinya yang bertajuk Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1991:77), dari KRI Hang Tuah pula pengarahan untuk operasi militer melawan sisa KNIL pemberontak di Makassar dilakukan.
”Pada tanggal 24 April [1950], sedikit lewat setengah dua belas malam, dalam briefing di kapal korvet Hang Tuah, waktu berada di tempat rendezvous di pulau De Bril, Kolonel Kawilarang mengadakan perubahan rencana operasi,” tutur Soeharto.
”Bahkan korvet Hang Tuah ikut menggempur posisi KNIL/KL dengan tembakan meriamnya,” imbuh Soeharto.
KRI Hang Tuah juga ikut dalam operasi penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS), termasuk mengantar dr Johannes Leimena dalam upaya diplomasi. Meski kemudian misi damai Leimena tak memperoleh hasil yang diharapkan.
Dalam 60 Tahun TNI AL Mengabdi (2005:60) disebutkan bahwa selama operasi itu KSAL Kolonel Raden Soebijakto memerintahkan kepada KRI Hang Tuah, KRI Pati Unus, dan KRI Radjawali untuk melakukan blokade laut di perairan sekitar Ambon. KRI Radjawali bahkan ditugaskan pula untuk mengevakuasi 4200 penduduk sipil yang keluar dari wilayah pertempuran.
Editor: Irfan Teguh Pribadi