tirto.id - Karmila tidak memiliki pengalaman membeli hewan kurban. Tahun ini, Iduladha 1441 Hijriah, menjadi momen pertama ia berkurban seekor kambing.
Di salah satu penjual di Jakarta Selatan, ia dan suami mengandalkan petuah dari orangtua dalam meminang calon hewan kurban: kambing yang terlihat bugar, organ tubuhnya lengkap, dan tidak cacat, mereka pilih dan langsung bayar.
“Sempat nanya sih ke yang jual, ‘sehat nggak’. Tapi, kan, namanya penjual pasti bilangnya sehat saja. Tapi kalau di mata saya enggak, saya enggak bakal pilih itu,” ujarnya ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (29/7/2020).
Ia mendaku tak pernah mengetahui standar kesehatan hewan korban secara formal. Semua informasi ia dapatkan secara serampangan, hasil dari pengetahuan orang tua. “Enggak pernah baca-baca. Tahunya, nanya saja sama orang tua atau ke orang terdekat yang pernah beli hewan kurban,” ujar perempuan 38 tahun itu.
Apa yang dilakukan Karmila tidak sepenuhnya salah, menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Memeriksa kondisi fisik adalah salah satu cara mengetahui kondisi kesehatan dari hewan kurban.
Namun, menurut Tulus, ada hal yang tak kalah penting, yakni mengecek sertifikasi pada hewan kurban. Sertifikasi tersebut bisa dilakukan oleh dinas peternakan atau dokter hewan setempat. Pembeli dapat membatalkan pembelian jika penjual tidak memiliki sertifikasi hewan sehat. Terlebih lagi, lanjut Tulus, pembeli bisa saja melayangkan komplain kepada penjual jika merasa ditipu usai pembelian.
YLKI mendesak pemerintah setempat, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta, ketat mengawasi peredaran hewan kurban. Pemerintah perlu meninjau langsung ke tempat-tempat penjualan untuk memastikan seluruh hewan telah tersertifikasi.
Jika tidak, pemerintah wajib menguji kesehatan hewan di tempat. Terkhusus hewan-hewan kurban yang berasal dari luar DKI Jakarta, semisal dari Bali atau NTB.
“Sertifikasi tersebut bukan hanya sebagai syarat sah hewan itu saja. Melainkan perlindungan bagi manusia,” ujar Tulus kepada reporter Tirto.
Kepala Seksi Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta, Isminarti mengatakan sudah memeriksa 59.461 ekor hewan kurban per 28 Juli 2020. Itu terdiri dari sapi, kerbau, kambing, dan domba, yang tersebar di 649 lokasi penampungan hewan.
Dalam kegiatan pemeriksaan menjelang Iduladha, Dinas KPKP mengerahkan 589 tenaga pemeriksa yang didukung petugas Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Jakarta sebanyak 76 orang, serta 26 orang dari Kementerian Pertanian.
Penyakit yang Perlu Diwaspadai pada Hewan Kurban
Untuk mengetahui hewan yang sehat, menurut Ismi, tempat penampungan tersebut akan diberikan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) oleh Suku Dinas KPKP di masing-masing wilayah.
Masing-masing hewan kurban, menurut Ismi, rentan terkena penyakit seperti konjungtivitis, dermatitis, scabies, enteritis, bloat, hingga penurunan nafsu makan. Untuk memastikan kesehatan hewan kurban, Dinas KPKP melakukan upaya surveilan; pemeriksaan kesehatan dan pemberian vitamin pada hewan kurban.
Semua penyakit yang kemungkinan rentan menjangkiti hewan kurban sebagaimana yang disebutkan Ismi di atas, menurutnya, tidak akan menular kepada manusia. Namun, pengecualian untuk jenis penyakit antraks.
Dalam artikel Tirto berjudul ‘Bagaimana Indonesia Harus Bertarung dengan Antraks’ disebutkan bahwa penyakit tersebut menjadi ancaman serius serupa virus Ebola menurut WHO.
Merujuk data ‘Peta Status dan Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2017’, disebutkan bahwa antraks menyebabkan banyak kerugian, termasuk kematian pada ternak, hilangnya tenaga kerja sawah, tenaga tarik, serta penurunan pasokan daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong di Indonesia.
Pada manusia, berdasar data yang dihimpun dari Kementerian Kesehatan menyebut, selama sepuluh tahun terakhir (2008-2017) jumlah kasus dan kematian akibat antraks mencapai 313 jiwa. Sementara pada hewan antara tahun 2011-2019 mencapai 371 ekor.
Dalam keterangan tertulis, Dinas KPKP DKI Jakarta akan bekerja sama dengan Balai Besar Veteriner Subang untuk pengambilan sampel tanah di tempat penampungan hewan di DKI Jakarta. Hal tersebut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya antraks.
Namun, menurut Ismi, apabila kedapatan penjual memperdagangkan hewan sakit, Dinas KPKP tidak dapat menindak dan memberikan sanksi.
“Tidak bisa. Itu urusan dengan Tuhan,” ujar Ismi kepada Tirto, Rabu.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri