Menuju konten utama

Kok Bisa Ada Sapi Kena Antraks di Indonesia?

Faktor alam mendukung berkembangnya penyebaran spora bakteri antraks.

Kok Bisa Ada Sapi Kena Antraks di Indonesia?
Seorang warga memilih daging sapi yang akan dibeli di lapak pasar Sentral Kota Gorontalo, Gorontalo, Kamis (31/1/2019). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/hp.

tirto.id - Senin, 29 April 2019 dini hari, Partini seperti hari-hari biasa sudah bangun sebelum muazin di kampungnya sempat mengumandangkan azan subuh. Pukul empat pagi, ia menyiapkan pakan sapi, mencacah kolonjono—rumput gajah—dan daun mahoni. Namun, pagi itu, usai Partini mencacah pakan, sapi miliknya tiba-tiba melenguh dan ambruk.

“Pak, bangun, Pak, sapinya kok seperti sakit. Coba ditengok.”

Pukul setengah enam, Jumiyo bangun, tergopoh-gopoh ia lari menuju kandang di samping rumah untuk menengok kondisi ternaknya. Jumiyo heran melihat sapinya sudah sekarat, padahal hingga pukul 12 malam si sapi masih makan seperti biasa, malah habis sampai separuh komboran—makanan tambahan ternak yang dicampur dari bekatul, tebu, kedelai dll.

“Bu, sudah seperti ini, saya panggil Pak Blantik saja, langsung sembelih.”

Jumiyo bergegas pergi ke rumah Slamet, pedangang ternak yang biasa membantu penjualan sapi-sapi warga sekitar. Oleh Slamet, sapi milik Jumiyo disembelih di kandang lalu dibawa ke penjagalan di Desa Gedangrejo. Partini tak tahu lagi, ke mana daging sapi miliknya kemudian terdistribusi. Dari hasil penjualan itu, ia menerima uang sebesar Rp3,8 juta.

“Ya, saya ndak tahu kalau sapinya mati karena antraks,” jawab Partini, saat saya tanyakan alasan menjual sapi yang sudah sekarat.

Empat hari sebelum sapi milik Partini dan Jumiyo dipotong, Wagito, tetangga sebelah utara mereka, lebih dulu melakukan hal serupa. Seekor sapi betina berumur satu tahun miliknya tiba-tiba kembung pada Kamis, 25 April 2019 pagi hari. Wagito langsung menyembelih sapinya di luar kandang, jeroan sapi ia kubur, sementara dagingnya dijual ke Wates.

Setelah itu, berturut-turut pada 30 April 2019, dua sapi, masing-masing milik Sardi dan Ponoji, mati dengan kronologi serupa. Lalu, pada 8 Mei 2019, kembali seekor sapi betina kepunyaan Purnasib sakit mendadak. Ketiga sapi tersebut juga sama-sama disembelih dan dijual dengan harga murah. Hanya saja, sapi milik Ponijo lebih dulu mati sebelum kemudian disembelih.

Ada lima sapi mati mendadak di Dusun Grogol 4, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul, Yogyakarta dengan jangka waktu satu bulan (data 25 April-8 Mei). Dari 48 sampel tanah yang diuji laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVET) Wates, ada tiga sampel positif. Sementara itu, hasil uji laboratorium satu orang yang memiliki luka dan mengalami kontak saat melakukan pemotongan, negatif.

Indonesia Langganan Antraks

Wabah antraks pada bulan April-Mei lalu adalah kejadian pertama yang menimpa Gunung Kidul. Namun, hal ini bukan fenomena anyar di wilayah Yogyakarta. Antraks di Yogyakarta, sebelumnya, pernah dilaporkan di Sleman (2003) dan Kulonprogo (2017). Menurut data Kementerian Pertanian (Kementan) yang didapat dari investigasi lintas sektor, kejadian antraks di Kabupaten Kulonprogo merupakan kasus tertinggi di Yogyakarta.

“Ada 1 ekor sapi dan 18 ekor ternak kambing serta kemungkinan kasus lain yang tidak dilaporkan,” papar Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Kementan.

Kejadian antraks di Gunung Kidul diduga akibat daerah ini masuk sebagai wilayah perlintasan ternak. Gunung Kidul sempat jadi daerah yang bebas antraks ketika daerah-daerah sekitarnya seperti Blitar, Pacitan, Sragen, Wonogiri, dan Kulon Progo terjangkit antraks. Peluang penyebarannya diduga berasal dari pergerakan spora antraks yang menempel di alat transportasi atau tercecer dari darah daging yang terinfeksi.

Tak hanya di Yogyakarta, penyakit menular yang disebabkan oleh Bacillus anthracis ini sudah menjadi penyakit langganan di negara kita. “Peta Status dan Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2017” menyebut antraks terdeteksi pertama kali di Indonesia pada tahun 1994. Saat itu, antraks menyerang kerbau-kerbau di wilayah Teluk Betung, Lampung.

Setelahnya, penyakit zoonosis ini menyebar di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Sampai 2017, hanya satu provinsi yang ditetapkan bebas historis dari penyakit antraks yaitu Papua. Antraks merupakan jenis penyakit yang menular dari hewan ke manusia, manusia ke manusia, tetapi tidak kembali dari manusia ke hewan.

“Kasus hewan ternak yang mati mendadak, apa pun penyebabnya, keluar darah dari lubang-lubang tubuh, dilarang disembelih apalagi dikonsumsi,” drh. Basuki Rochmat, Kasi Informasi dari BBVET Wates, memaparkan.

Penularan antraks pada manusia dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, infeksi antraks kulit, sebagian besar terjadi akibat bakteri masuk lewat luka ketika bersentuhan langsung dengan produk hewani terkontaminasi antraks, seperti wol, tulang, rambut, dan kulit. Infeksi jenis ini merupakan paparan yang paling banyak terjadi pada manusia (95 persen).

Infeksi kedua adalah antraks pulmonal (paru), terjadi ketika spora bakteri di udara terhirup ke saluran pernapasan. Terakhir, infeksi intestinal (pencernaan) yang penularannya lewat konsumsi daging terinfeksi antraks. Meski termasuk penyakit mematikan, sejatinya, penanganan antraks cukup mudah dilakukan, yakni dengan menggunakan antibiotik.

Tingkat kematian antraks pada manusia bergantung pada seberapa cepat penanganannya. Tanpa antibiotik, menurut FDA, presentase kematian antraks kulit mencapai 20 persen, antraks intestinal 25-75 persen, dan antraks pulmonal dengan tingkat kematian paling tinggi, yaitu 80 persen lebih.

“Mereka yang melakukan kontak dengan hewan positif antraks, dari hulu ke hilir berisiko tertular. Seperti penjagal, pedagang daging, petugas kesehatan hewan, dan konsumen produk ternak,” terang Basuki.

Ancaman Perubahan Lingkungan

Menurut laporan WHO, antraks lebih banyak terjadi di wilayah peternakan pada negara-negara berkembang—yang belum memiliki manajemen vaksinasi bagus. Spora bakteri Bacillus anthracis sangat tahan terhadap panas dan sebagian besar disinfektan. pH basa tanah, kadar organik tinggi, kelembaban, dan suhu sekitar 15,5 derajat celcius sangat berperan dalam menjaga ketahanan spora, hingga beberapa dekade lamanya.

“Spora adalah bentuk non-aktif dari bakteri ketika tidak ada persediaan makanan. Mereka tumbuh kembali dan membikin penyakit ketika kondisinya mendukung, seperti dalam tubuh manusia,” demikian WHO melaporkan.

Infografik Antraks

Infografik Antraks. tirto.id/Fuadi

Kebetulan, faktor-faktor penunjang kehidupan spora Bacillus anthracis tersebut sangat cocok dengan kultur alam dan iklim di Indonesia. Di Gunung Kidul, tanah cenderung bertipe mollisols. tanah ini berkembang pada vegetasi padang rumput atau lereng gunung. Ia memiliki memiliki solum tanah dangkal, kaya mineral, dan organik.

Laporan Status Lingkungan Hidup Gunung Kidul 2014” (hal 30) juga menyebut kadar pH di daerah ini netral hingga cenderung agak basa (7,88-8,36). Pas sekali sebagai tempat berdiamnya spora antraks dalam waktu lama. Ditambah wilayah ini memiliki curah hujan tinggi. Kemunculan wabah antraks di suatu daerah seringkali berhubungan dengan perubahan iklim dan lingkungan.

“Di Indonesia, kaitannya dengan curah hujan tinggi dan banjir,” kata Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Kementan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa.

Rata-rata curah hujan tahunan di Gunung Kidul setinggi 1920 mm/tahun. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi bulan Februari (354 mm) dan terendah terjadi bulan Agustus (16 mm). Kasus antraks di Gunung Kidul muncul saat musim penghujan usai, pada bulan April – bulan pertama di musim kemarau.

Kebanyakan kasus antraks terjadi di daratan rendah dan datang bersamaan atau selepas musim hujan. Spora yang berada dalam tanah bisa muncul kembali akibat pengikisan tanah oleh air hujan, lalu mereka naik ke permukaan, mengalir ke berbagai tempat, menempel pada tanaman—yang nantinya dimakan ternak, atau terbawa di udara.

Di Siberia, wabah antraks pernah dengan cepat menginfeksi dua ribu rusa dan membikin satu anak meninggal pada tahun 2016. Wabah ini terjadi di wilayah Semenanjung Yamal yang sebagian besar wilayahnya tertutup salju. Dipacak dari NPR, musim panas telah membuat lapisan es di wilayah tersebut meleleh dan membuka bangkai rusa terinfeksi antraks yang telah terkubur 75 tahun lalu.

Kasus antraks di Kabupaten Maros, Sulsel yang menyerang sapi potong dan sapi perah peternak pada Agustus 2017 pun dipicu perubahan iklim. Spora muncul dari tanah lokasi penguburan sapi yang tidak memiliki tanda khusus. Tim BBVET Wates juga pernah menemukan ancaman antraks di Pacitan, Jawa Timur pada tahun 2016.

Wilayah itu baru saja diterpa hujan deras ketika hasil uji sampel tanah dinyatakan positif antraks. Beruntung, upaya pemetaan dan pencegahan yang dilakukan BBVet dilakukan lebih cepat ketimbang infeksi spora di wilayah tersebut. Lazimnya, upaya pengentasan antraks akan dilakukan dengan penyemprotan desinfektan dan formalin, mekanisme penyemenan tanah, dan vaksinasi ternak di daerah endemik.

Baca juga artikel terkait ANTRAKS atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Mild report
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani