tirto.id - Tiga hari yang lalu, kabar itu menyebar lewat broadcast di media sosial: 15 orang di Kulon Progo diserang penyakit antraks dan sedang dirawat di RS Sardjito. Pesan berantai di grup-grup jejaring sosial pun bermunculan. Isinya berupa imbauan kepada masyarakat untuk menghindari wilayah Godean dan Sardjito. Warga juga dilarang untuk memakan daging sapi. Bakteri antraks disinyalir sedang menghinggapi sapi-sapi di Yogyakarta.
Pesan berantai itu tentu menyebabkan keresahan. Antraks bukanlah bakteri yang bisa dianggap remeh. Dinas Kesehatan Sleman dan RSUP Sardjito segera membantahnya. Kabar burung tersebut muncul setelah tersebarnya surat pemberitahuan No.YK.01-02/I/1222/2017 dari RSUP Sardjito kepada Dinas Kesehatan Sleman, yang menyebutkan bahwa HA kelahiran 18 Maret 2008 meninggal akibat virus antraks.
"Berita itu tidak benar. RSUP dr Sarjdito hanya merawat satu pasien diduga antraks. Masyarakat tidak perlu khawatir karena rumah sakit aman untuk berkunjung maupun berobat," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Oscar Primadi seperti dikutip Antara.
Meski telah dibantah, kekhawatiran warga Yogyakarta atas penyebaran antraks tak serta-merta hilang. Dalam rekam jejaknya, antraks memang menjadi salah satu bakteri yang ditakuti. Sumber penularannya dekat dengan manusia, yakni hewan-hewan herbivora yang telah dijinakkan seperti kambing dan sapi. Penyakit yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis itu bersifat zoonosis, artinya dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan dari manusia ke manusia (lewat luka terbuka).
Di Yogyakarta, diketahui bahwa penyebaran antraks ini bermula pada 12 November 2016, saat salah satu warga setempat menyembelih sapinya yang sakit. Sapi kemudian disembelih dan dagingnya dibagikan kepada tetangga. Selain dikonsumsi, daging juga disimpan di lemari pendingin. Jika dikonsumsi dan hewan yang terjangkit tak segera dimusnahkan, antraks akan makin menyebar dan memakan lebih banyak korban.
Kini, penanganan kasus antraks telah mengalami kemajuan pesat dibanding beberapa dekade silam. Dalam kasus di Yogyakarta misal, Ketua Tim Respon Cepat Waspada Antraks, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad menghimbau masyarakat agar tidak panik menghadapi penyakit antraks, tetapi perlu waspada.
“Antraks pada manusia dapat disembuhkan dengan penanganan yang tepat,” kata Riris di Ruang Fortakgama UGM.
Kondisi yang lebih dinamis terjadi dalam rekam jejak kemunculan antraks di Indonesia di masa lalu. Kadang, sebuah kasus antraks tak menimbulkan korban, baik manusia maupun hewan peliharaan. Di saat lain, ada hewan-hewan yang perlu dimusnahkan. Indonesia pernah mengalami kasus antraks yang parah hingga perlu ditetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) di daerah yang terjangkit.
Penyakit Lawas yang Menjangkiti Indonesia
Dalam tulisan ilmiah Asih Rahayu, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusama Surabaya, yang bertajuk “Antrax di Indonesia”, disebutkan antraks pertama kali ditemukan di Teluk Betung, Provinsi Lampung pada 1884. Pada 1885, antraks dilaporkan menyerang daerah Buleleng (Bali), Rawas (Palembang), dan Lampung. Setahun berselang, antraks dilaporkan terjadi di daerah Banten, Padang, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Asih mengutip catatan Sukmanegara, seorang ahli yang mendalami penyakit antraks, yang menyebut wabah penyakit ini pada sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi terjadi pada periode 1906- 1957 di berbagai daerah Indonesia seperti Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu, Buktitinggi, Sibolga, Medan, Jakarta, Purwakarta, Bogor, Priangan, Banten, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Banyumas, Madiun, Bojonegoro, Sumbawa, Sumba, Lombok, Flores, Bali, SulawesiSelatan, Menado, Donggala dan Palu.
Pada 1975, wabah antraks berjangkit di enam daerah, yaitu Jambi, Jawa Barat, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Jumlah kemunculan penyakit (morbidity rate) tiap 100.000 populasi hewan dalam ancaman tiap provinsi menunjukkan angka tertinggi ada di Jambi (530 tiap 100.000) dan terendah di Jawa Barat (0,1 tiap 100.000). Dari laporan juga diketahui bahwa ada lima daerah yang mempunyai morbidity rate lebih rendah, yakni 15 tiap 100.000 populasi dalam ancaman dan hanya Jambi yang mempunyai angka ekstrem.
Pada 1980, di Nusa Tenggara Timur terjadi antraks, yakni di Sumba Timur. Wabah ini mengorbankan banyak sapi, kuda, kerbau, babi,anjing, dan manusia. Hewan yang paling banyak terserang adalah kuda. Manusia yang terserang tidak ada yang meninggal dunia, tetapi 14 orang menderita karbunkel kulit atau bisul yang berujung pada pengelupasan kulit.
Pada 1990, dilaporkan terjadi serangan penyakit antraks terhadap peternakan sapi perah di Kabupaten Semarang dan Boyolali yang menyebabkan kematian ratusan ekor sapi. Empat tahun setelahnya, laporan serangan antraks hanya berasal dari Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat.
Pada bulan April 1997, Indonesia sempat dikejutkan adanya berita kasus antraks pada sapi yang terjadi di Victoria dan New South Wales (Australia). Sebagian daging sapi yang dijual di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia berasal dari Australia. Maka, untuk melindungi konsumen di Indonesia, Direktorat Jenderal Peternakan sempat mengeluarkan larangan sementara impor daging sapi dan bahan-bahan asal hewan dari Australia itu sampai situasi benar-benar aman.
Memasuki tahun 2000, Indonesia dikejutkan lagi dengan munculnya antraks di peternakan burung unta (Struthio camelus) di Purwakarta, Jawa Barat. Wabah kemudian menyerang satu per satu warga yang lokal. Sementara itu, kasus antraks di Purwakarta, Jawa Barat, tercatat mulai 1962 di desa Cibungur, tahun 1963 di desa Cirende yang berulang pada tahun 1985 dan 1965 di desa Cikadu. Lalu tahun 1966 di desa Cibukamanah yang berulang pada tahun 1975 dan 1983, serta 1985 di desa Cirangkong, serta di tahun 1999-2000 di desa Cipayungsari.
Dalam rentang waktu 1,5 dekade setelahnya atau di antara tahun 2001-2016, kasus penyebaran antraks di Indonesia merentang dari Bogor hingga Yogyakarta. Secara umum, kasusnya serupa dengan di daerah-daerah lain. Namun, pernah juga Indonesia mengalami stastus Kejadian Luar Biasa (KLB) akibat antraks. Ia terjadi pada 2001 di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan 22 penderita dengan 2 kematian. Kejadian itu terjadi di kecamatan Citereup, Cibinong, dan Babakan Madang.
Menurut Menurut Kementerian Pertanian, saat ini ada 11 provinsi di Indonesia yang telah tertular antraks dan merupakan daerah endemis. Antara lain: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Jambi, dan DI Yogyakarta.
Eksis Sejak Sebelum Masehi
Dalam kompilasi catatan sejarah yang dikumpulkan Centre of Disease Control and Prevention, antraks diduga bermula dari Mesir dan Mesopotamia. Sejumlah ahli berpendapat antraks muncul di zaman Musa selama Mesir dilanda 10 macam wabah penyakit. Antraks dimungkinkan menjadi penyebab wabah penyakit nomor lima, dijelaskan sebagai penyakit yang menyerang kuda, sapi, domba, unta, dan sapi milik warga.
Warga Yunani dan Roma kuno juga berdampingan dengan antraks. Buktinya tergambar dalam banyak tulisan kuno yang dihasilkan oleh para cendekiawan terbaik di zamannya. Sebagai contoh, banyak ahli berpendapat bahwa antraks digambarkan oleh Homeros dalam The Iliad yang dikerjakan sekitar tahun 700 SM. Antraks juga ada di lirik puisi gubahan Virgil yang hidup pada era 70-19 SM. Sejumlah ahli bahkan menyebutkan bahwa antraks juga bertanggung jawab atas runtuhnya kota Roma.
Secara medis, antraks pertama kali ditemukan pada bulan Maret 1752 dan selanjutnya pada 1769. Ilmuwan pertama yang meneliti Bacillus anthracis sebagai penyebab antraks adalah Robert Koch. Pada tahun 1877, rekam jejak pentingnya itu dinamai Postulat Koch. Dalam penelitian awal Koch, disimpulkan bahwa bakteri tersebut memiliki kekuatan bertahan yang tinggi dan mampu hidup di lingkungan yang beragam.
Di tahun 1881 Louis Pasteur menciptakan vaksin pertama untuk antraks. Setengah abad selanjutnya, seorang ilmuwan bernama Max Sterne sukses menciptakan vaksin antraks untuk binatang yang terjangkit dan berhasil menurunkan kasus penyebarannya pada manusia. Pada 1944, penisilin mulai dipakai untuk menanggulangi antraks. Enam tahun berselang, vaksin antraks pertama untuk manusia akhirnya ditemukan.
Pada 1970, vaksin antraks mengalami perkembangan yang pesat karena ada penemuan vaksin jenis baru. Sayang, antraks sendiri pun tak mau kalah dalam berinovasi. Pada 2010, antraks jenis baru menyerang Jerman dan Inggris. Hingga kini, vaksin terbaru dan yang lebih kuat untuk menanggulangi antraks jenis baru terus diupayakan.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani