Menuju konten utama

Bagaimana Indonesia Harus Bertarung dengan Antraks

Negara menanggung kerugian sebanyak Rp2 miliar per tahun akibat antraks.

Bagaimana Indonesia Harus Bertarung dengan Antraks
Seorang warga menunjukkan penyakit di tangannya yang diduga antraks di Desa Toto Utara, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Jumat (24/11/2017). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin

tirto.id - Antraks, penyakit menular mematikan ini telah menjelma menjadi ancaman kesehatan serius, tak hanya di Indonesia, tapi dunia. WHO bahkan menyejajarkan keganasan bakteri Bacillus anthracis ini dengan virus Ebola. Sekali spora Bacillus anthracis menguar di udara, mereka siap menginvasi dalam skala luas, dan masuk ke tubuh inang hewan ataupun manusia dan akibatnya mematikan.

Satu setengah bulan berlalu setelah sapi pertama milik Partini terserang antraks. Kesibukan penanganan antraks di dusunnya kala itu terjeda, digantikan riuh ramai suasana lebaran. Di tengah perayaan Idul Fitri 2019, Partini harus kembali kehilangan ‘tabungan’ karena sapi terakhir miliknya lagi-lagi mati mendadak.

Pagi hari, sapi berjenis simmetal itu masih lahap saat diberi pakan jerami, tapi pukul empat sore volume makannya mulai berkurang. Lantaran sudah belajar dari pengalaman sebelumnya, suami Partini, Jumiyo langsung melaporkan gejala ganjil tersebut ke Kepala Pedukuhan untuk diteruskan kepada Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Gunung Kidul.

Namun, karena hari sudah menjelang malam, pemeriksaan pada sapi Jumiyo diputuskan untuk dilakukan keesokan harinya. Di tengah waktu tunggu, pada pukul dua malam hari, Partini bangun untuk memastikan kesadaran si sapi.

“Sapinya masih lari, aman,” pikir Partini setelah memukul pantat sapi.

Namun, prediksi Partini meleset. Pukul empat pagi, sebelum sempat DPP Gunung Kidul datang, sapinya sudah mati tergeletak di kandang. Jumiyo tetap melapor ke pedukuhan, menitipkan kabar bahwa Simmetal sudah tidak bernyawa. Kali ini, Jumiyo tak lagi memanggil blantik (pedagang sapi), ia memilih menguburkan sapi di pojokan kandang.

Jumiyo hanya punya dua ekor sapi yang ia pelihara dari lima tahun lalu. Seperti warga pedesaan kebanyakan yang menjadikan sapi sebagai barang berharga, begitu juga Jumiyo. Ia membeli bibit sapi dari sekitar umur lima bulanan, berharap supaya sapi-sapi itu bisa digunakan sebagai tabungan, kala anaknya menikah nanti.

Namun, malang, simpanan harta keluarga ini ludes sekejap. Dalam setahun ke depan, ia juga dilarang memelihara ternak untuk menghindari serangan antraks kembali. Dengan matinya sapi terakhir milik Jumiyo-Partini, total ternak yang mati akibat antraks di Dusun Grogol 4, Desa Bejiharjo, Gunungkidul, Yogyakarta mencapai enam ekor.

“Saya itu mau nabung duit ndak bisa, akhirnya pilih nabung sapi. Eh, mati semua,” kata Partini, getir.

Akibat kejadian ini, keluarga Jumiyo menderita kerugian sekitar Rp30 juta. Sapi yang pertama, seharusnya bisa laku dijual hingga Rp18 juta pada harga normal, sementara sapi kedua Rp13 juta. Jumiyo hanya sempat menjual sapi betina pertama seharga Rp3,8 juta—saat belum mengetahui bahwa sapi tersebut terkena antraks.

Antraks dalam Neraca Kerugian

Peternak adalah kelompok pertama yang paling terdampak dari serangan antraks. Setelah kehilangan ternak saat wabah, mereka juga harus berjuang mengembalikan kepercayaan konsumen pasca-wabah berlalu.

Kulon Progo contohnya. Pada 2017 lalu, wilayah ini menduduki jumlah kasus antraks tertinggi di Yogyakarta. Ada 1 ekor sapi, dan 18 ekor ternak kambing positif antraks di Kulon Progo, serta kemungkinan kasus lain yang tidak dilaporkan. Kepala Dusun Ngroto, Kulon Progo, Suyatno berkisah, perdagangan ternak di Desa Purwosari sempat seret selama tiga bulan.

Padahal, kejadian antraks tak terdeteksi di wilayah tersebut. Namun Dusun Ngroto bertetangga dengan Dusun Ngaglik yang merupakan daerah endemik antraks. Efeknya, para peternak harus rela merugi lantaran harga jual ternaknya merosot hingga setengah harga.

“Ngroto ikut kena dampak karena dulu digunakan sebagai sentra informasi. Orang mungkin mengira di sini ikut kena [antraks],” duga Suyoto. “Secara luas, hampir seluruh Kulon Progo kesulitan menjual ternak.”

Dusun Ngroto bisa terbebas dari antraks karena Suyoto langsung melapor pada Dinas Peternakan dan Dinas Kesehatan, begitu mendengar kabar banyak ternak di dusun tetangga mati mendadak. Ia juga selalu berkoordinasi untuk melakukan penyemprotan desinfektan di tempat pemotongan dan wilayah lain secara berkala, terutama menjelang hari raya Idul Adha.

Di Indonesia antraks menyebabkan banyak kerugian, termasuk kematian pada ternak, hilangnya tenaga kerja sawah, tenaga tarik, serta penurunan pasokan daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong. Pada manusia, berdasar data yang dihimpun dari Kementerian Kesehatan menyebut, selama sepuluh tahun terakhir (2008-2017) jumlah kasus dan kematian akibat antraks mencapai 313 jiwa. Sementara pada hewan antara tahun 2011-2019 mencapai 371 ekor.

“Kerugian per tahun (negara) ditaksir sebesar Rp2 miliar,” demikian tertulis dalam laporan “Peta Status dan Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2017” (hal 9).

Tantangan Pengentasan Antraks

Ada beberapa faktor yang membikin antraks sulit enyah di Indonesia, selain karena faktor alam berupa panjangnya umur hidup spora dan kondisi lingkungan di Indonesia yang mendukung daya tahan spora. Pertama, pengetahuan peternak rendah dalam mengenali dan melaporkan dugaan kasus antraks kepada unit veteriner setempat.

Biasanya, untuk menghindari kerugian akibat ternak mati mendadak, sebagian peternak menyembelih dan menjual daging ternak sakit. Darah yang keluar dari tubuh hewan terjangkit antraks dapat menjadi sumber utama pencemaran spora pada tanah. Sementara itu, tak ada upaya pembasmian bakteri dan spora karena kasus tersebut tak dilaporkan pada unit veteriner.

Kedua, cakupan vaksinasi rendah karena kombinasi faktor pertama dengan belum optimalnya unit pelayanan kesehatan hewan daerah melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit hewan. Apalagi, Indonesia saat ini tengah kekurangan dokter hewan. Data dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) menyebut Indonesia butuh 70 ribu dokter hewan.

Namun, saat ini, Indonesia baru memiliki 20 ribu dokter hewan, dan hanya kurang dari empat ribu dokter hewan yang terdaftar di Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (ISIKHNAS) di Sektor Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sementara itu, jumlah peternak yang telah tercatat di ISIKHNAS sudah mencapai 5 juta orang.

“Ada juga yang memindahkan hewan hidup atau yang sudah disembelih dari wilayah terjangkit ke wilayah lain. Padahal, itu dilarang dan melanggar hukum,” ungkap Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Kementan.

Pengentasan antraks jadi bertambah sulit ketika hewan-hewan ternak di Indonesia belum semuanya memiliki identitas. Padahal, idealnya, setiap hewan ternak memiliki informasi yang melekat berupa asal hewan dan riwayat distribusinya. Hanya sebagian hewan ternak yang tercantum identitasnya di ISIKHNAS. Itu pun seringkali peredarannya hilang di tengah alur distribusi karena peternak tak melapor pada Dinas Pertanian dan Pangan setempat.

Infografik Kematian Akibat Antraks

Infografik Kematian Akibat Antraks. tirto.id/Nadya

Solusi One Health Mengentaskan Antraks

Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Pemkab Gunungkidul, Yogyakarta langsung melakukan lokalisir wilayah endemik agar antraks Gunung Kidul tidak meluas. Tujuh dusun dari Grogol I hingga Grogol V, Dusun Kajar 3, hingga Dusun Tawarsari masuk zona merah penyakit antraks. Hewan ternak di wilayah ini mendapat pengawasan khusus dari DPP Gunung Kidul.

Sementara itu, zona kuning sebagai wilayah peringatan antraks meliputi Dusun Grogol VI, Gunungsari, Banyubening I dan II, Dusun Kulwo, Dusun Kedung I dan II, Dusun Budegan I dan II, serta Dusun Selang II. Pencegahan dilakukan hingga radius 1 kilometer dengan melakukan penyemprotan desinfektan, formalin, dan vaksinasi semua ternak di Gunungkidul.

Vaksinasi akan diberikan secara berulang selama enam bulan sekali selama sepuluh tahun ke depan. DPP Gunung Kidul juga memantau peredaran ternak dan daging di Pasar Hewan Siyono, Nglipar, Semanu, dan Ponjong. Fadjar menyatakan vaksin aktif strain yang digunakan pada semua hewan ternak di Indonensia untuk mencegah antraks memiliki waktu kekebalan selama 1 tahun.

Hingga saat ini, vaksin antraks untuk manusia belum diproduksi untuk umum. Amerika Serikat lewat FDA pernah melakukan serangkaian uji coba vaksin antraks terhadap manusia. Namun, banyak efek samping buruk yang dilaporkan dalam uji coba, termasuk kematian. Amerika saat ini masih menyimpan sampel vaksin antraks untuk manusia untuk berjaga dari serangan senjata biologis yang memakai spora antraks.

“Pengendalian antraks yang paling efektif saat ini dilakukan dengan upaya One Health,” kata Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes.

One Health merupakan gerakan global yang dipandu WHO untuk mengatasi zoonosis. Jika selama ini zoonosis hanya ditanggulangi terpisah dan berfokus pada penanganan manusia, inti gerakan ini adalah menangani masalah kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan secara utuh. Kerja sama lintas sektor ini melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perguruan tinggi, lembaga penelitian, pemerintah daerah, serta organisasi internasional seperti WHO dan FAO.

Jadi, ketika gejala penyakit zoonosis ditemukan pertama kali pada manusia dan korban melakukan pemeriksaan ke layanan kesehatan setempat, maka otoritas kesehatan tersebut akan melapor ke layanan kesehatan hewan. Kemudian laporan diteruskan ke tingkat yang lebih tinggi untuk upaya pencegahan dan pengendalian wabah.

Baca juga artikel terkait ANTRAKS atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani