tirto.id - Tabrakan maut Camry hitam yang berujung pada meninggalnya Ammar Nawwar (18) dan Wisnu (18), dua dari enam korban pengendara skuter listrik GrabWheels di kawasan Senayan, Minggu (10/11/2019) dini hari bikin Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kalang kabut.
DH alias Danni Hariyona, tersangka tabrak lari terhadap pengendara Grabwheels patut dijatuhi hukuman setimpal. Kendati demikian, tuntutan itu tidak serta merta bisa jadi landasan pemerintah menutup mata terhadap nihilnya regulasi tegas soal penggunaan skuter listrik di jalanan.
Apalagi faktor minimnya regulasi ini sempat bikin Pemprov DKI kena batunya. Setidaknya sudah ada tiga Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di ibu kota yang mengalami kerusakan dan perlu perbaikan karena menjadi lintasan skuter listrik, yakni JPO Bundaran Senayan, JPO Polda Metro Jaya, serta yang terparah: JPO Gelora Bung Karno.
Pihak Grab selaku penyedia layanan skuter listrik GrabWheels memang telah merespons masalah tersebut dengan melakukan pengawasan khusus di sejumlah titik. CEO GrabWheels, TJ Tham juga menyebut aplikasi Grab kini telah diperbarui dan bisa “memberi notifikasi melalui aplikasi kepada pengguna apabila ada pelanggaran yang dilakukan.”
Namun, langkah dari penyedia layanan saja tidak akan cukup.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyebut pihaknya melalui Dinas Perhubungan (Dishub) DKI sedang berusaha mengimbangi langkah preventif penyedia layanan dengan menggodok Peraturan Gubernur (Pergub) yang khusus mengatur perihal skuter listrik.
“Tentu kalau memang mereka menggunakan kendaraan ramah lingkungan akan kami dukung, seiring dengan terbitnya Perpres Nomor 55 Tahun 2019, untuk mendorong penggunaan kendaraan berbasis listrik,” sambungnya.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) langsung merespons cepat rencana tersebut dengan satu saran tegas yakni sebaiknya operasional skuter listrik ditempatkan di trotoar atau jalur pedestrian.
“Justru skuter listrik ke depan kami imbau untuk ke pedestrian karena kalau di jalur sepeda, kan, tidak ada pengamannya,” ujar Ketua BPTJ Jakarta Pusat, Bambang Prihantoro, seperti dilansir Antara.
Namun, saran ini berlawanan dengan pernyataan Anies dan Dishub DKI yang mengindikasikan bakal menempatkan skuter listrik di jalur sepeda.
“Kami juga sudah katakan pada operator [Grab] agar tidak dioperasikan di trotoar, lalu JPO. Kalau mau beroperasi silakan masuk ke jalur sepeda,” ujar Kepala Dishub Jakarta, Syafrin Liputo.
Ada Pembatas Jalur Sepeda dan Kendaraan
Rencana Anies dan Dishub Jakarta melarang operasional skuter listrik di trotoar sebenarnya bisa dimaklumi. Bukan hanya demi menjaga fasilitas publik, aturan ini akan membuat keamanan pejalan kaki lebih terjamin. Di banyak negara lain, pemerintah setempat pun cenderung mengambil sikap yang sama.
Di Singapura misal, mencuatnya kasus tabrakan yang kerap menjadikan pejalan kaki sebagai tumbal bikin skuter listrik mulai dilarang beroperasi di trotoar, alias cuma boleh di jalur sepeda.
Aturan baru tersebut sudah disosialisasikan pemerintahan setempat mulai November ini. Ke depan, per 2020, jika masih ada yang kedapatan mengendarai skuter listrik di ruas trotoar Singapura, akan ada denda senilai 2.000 dolar Singapura (sekitar Rp20 juta) yang harus dibayar pelanggar.
Aturan ini juga sekaligus merevisi regulasi sebelumnya, sebagaimana tertuang Active Mobility Act (AMA) sejak Mei 2018 lalu, yang membolehkan skuter listrik beroperasi di trotoar (batas kecepatan 10 km per jam) atau jalur sepeda (batas kecepatan 25km per jam).
Regulasi pembatasan skuter listrik untuk melindungi pejalan kaki, juga diterapkan di Perancis. Pemerintah Kota Paris menetapkan denda senilai 135 euro (sekitar Rp2 juta) apabila ada pengguna skuter listrik yang melintas di trotoar Paris.
Kendati demikian, untuk kasus Jakarta, aturan ini tidak bisa serta merta diadopsi tanpa adaptasi khusus. Sebab tak seperti di kota-kota besar di atas, di Jakarta jalur sepeda relatif belum memihak kepada keselamatan penggunanya.
Salah satu kekurangan jalur sepeda di ibu kota—yang kelak bisa jadi halangan pula bagi pengguna skuter listrik—adalah banyaknya rute yang terputus.
“[Padahal] kalau terputus kasihan perlindungannya tidak ada. Seharusnya berjaring, jalannya harus tersambung. Saat ini masih banyak yang terputus,” tutur pemerhati transportasi, Azas Tigor Nainggolan, seperti dilansir Antara.
Tak cuma pengamat, saran agar pemerintah mengimbangi regulasi skuter listrik dengan pembangunan jalur sepeda yang lebih ideal juga disuarakan Fajar Wicaksono (18), korban selamat yang sempat terlibat dalam insiden tabrakan skuter listrik di Senayan akhir pekan lalu.
Bukan semata kesinambungan jalur, Fajar juga menyarankan ada pembatas yang tegas untuk menjamin agar pengguna kendaraan di jalan besar tak menerabas jalur sepeda.
“Kalau bisa jalur sepeda itu jangan gabung jadi satu sama jalanan besar. Di Jakarta, kan, kita tahu sendiri banyak yang masih jadi satu, dan pengendara kerap menerabas rambu. Sebaiknya ada pembatas yang tegas supaya pengguna kendaraan enggak bisa masuk ke dalam,” tuturnya saat ditemui di Jakarta Pusat, Minggu (17/11/2019).
Mengatur Jelas Standar Keselamatan
Menimpali argumen Fajar, Wanda (18) korban selamat lain dari insiden maut pekan lalu juga memberi masukan lain: agar ada ketentuan soal standar keselamatan pengguna.
“Safety-nya sih, juga harus ditingkatkan. Misal diwajibkan pakai helm, atau deker dengan lebih tegas, regulasi dan gimana pemakaiannya itu harus diatur, menurutku,” ujarnya.
Saran ini tidak lepas dari fakta bahwa penyedia layanan skuter listrik saat ini kerap abai menjamin kelengkapan alat keselamatan. Soal yang paling sepele misal, helm, banyak stasiun skuter listrik yang tak menyediakan helm dalam jumlah memadai. Akibatnya, banyak pengendara berkeliaran di atas skuter listrik tanpa memakai pelindung kepala.
“Juga petugasnya misal, kalau di jasa penyewaan skuter, misal harus pakai seragam. Biar pelanggan juga tahu dan bisa bertanya kalau bingung. Yang terjadi sekarang banyak petugas enggak berseragam. Pengguna jadi susah membedakan dan kebingungan bertanya semisal bingung,” pungkasnya.
Perkataan Wanda penting untuk didengar, sebab jika mengacu pada riset ilmiah, skuter listrik bukanlah alat transportasi yang tergolong aman. Kendati difungsikan untuk jarak dekat, banyak kasus cedera akibat penggunaan alat ini.
Di Amerika, contohnya, University of California Los Angeles pernah mengeluarkan penelitian yang menyebut 40 persen kecelakaan skuter listrik di AS berujung patah tulang. Lalu 31,7 persen menyebabkan trauma kepala, sementara 27,7 persen juga mengakibatkan terkilir atau memar.
Dalam penelitian yang mengambil 249 sampel kasus pada rentang 1 September 2017 sampai 31 Agustus 2018 itu, data bahkan menunjukkan cuma sekitar empat persen responden yang rutin memakai helm tiap mengendarai skuter listrik.
“Kita harus memahami bahwa sekarang, semakin banyak orang di dunia ini yang mulai menggunakan skuter listrik. Sangat penting untuk memahami bagaimana pengaruh alat ini terhadap keselamatan penggunanya,” ujar Tarak Trivedi, penanggung jawab penelitian tersebut.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Maya Saputri