Menuju konten utama

Work-Life Balance Strategi yang Lahir dari Resesi dan Pandemi

Work-life balance lahir di masa resesi sebagai cara menghemat anggaran negara. Konsep ini semakin populer saat pandemi seiring bergesernya prioritas.

Work-Life Balance Strategi yang Lahir dari Resesi dan Pandemi
Header INSIDER Work Life Balance. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pandemi membuat banyak orang memikirkan kembali prioritas mereka. Mengalibrasi ulang komposisi waktu demi mencapai keseimbangan antara bekerja dan menikmati hidup atau dikenal dengan istilah work-life balance. Ia bukan teori baru, namun belakangan makin populer di sejumlah negara.

Di Amerika Serikat (AS), total durasi kerja berkurang setara 33 jam per orang per tahun kurun 2019-2022. Berdasarkan penelitian Profesor Yongseok Shin dari Washington University, penyusutan ini bukan karena penurunan jumlah pekerja. Melainkan imbas banyaknya penduduk yang sengaja atau sukarela mengurangi jam kerja mereka.

Mayoritas di antaranya lelaki berpenghasilan tinggi. Sebagai contoh, sekitar 10% pria bergaji di atas USD140 ribu per tahun mengurangi jam kerja dari yang semula 44,7 jam per pekan pada 2019 menjadi 43,2 jam per pekan pada 2022. Sebaliknya, pria bergaji di bawah USD22 ribu justru bekerja dengan waktu lebih lama.

Selain berpenghasilan tinggi, rata-rata lelaki yang mengurangi jam kerjanya berstatus sudah menikah. Dengan cara ini, mereka bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk melakukan aktivitas di luar pekerjaan, seperti bersosialisasi atau pun sekadar bersantai. Konsep hidup semacam itulah yang dimaksud work-life balance.

Menurut Nancy R. Lockwood dalam Work/Life Balance: Challenges and Solutions (2003), maknanya tergantung konteks atau sudut pandang. Misalnya, dari sudut pandang pekerja adalah dilema mengelola kewajiban kerja dengan tanggung jawab pribadi/keluarga. Sementara dari sisi pemberi kerja adalah tantangan untuk menciptakan lingkungan yang suportif di mana karyawan dapat fokus pada pekerjaan mereka.

Pengertian dan aspek work-life balance terus berkembang mengikuti zaman. Secara sederhana, ia diartikan sebagai bentuk keseimbangan antara tanggung jawab pekerjaan dan kehidupan pribadi. Konsep ini tidak hanya menawarkan manfaat bagi karyawan, namun juga memberi keuntungan untuk pemberi kerja.

Dalam studi berjudul Work-Life Balance: An Overview (2018), Chandrani Sen menyimpulkan bahwa keseimbangan membantu kondisi karyawan tetap prima karena terhindar dari pemikiran-pemikiran yang bisa menguras fisik dan mental. Dengan begitu, mereka bisa memenuhi dan menuntaskan segala tugas dan tanggung jawab pekerjaan.

Manfaat work-life balance juga disinggung Putrie Dwi Purwati dalam skripsi berjudul Pengaruh Work-Life Balance Terhadap Beban Kerja Divisi Penjualan di PT Ulam Tiba Halim Cabang Sidoarjo (2016). Menurutnya, konsep ini memiliki banyak fungsi dan kegunaan, baik untuk karyawan maupun perusahaan.

Negara Maju Bekerja Lebih Singkat

Durasi kerja berkaitan erat dengan perekonomian negara. Dikutip dari Our World in Data, jam kerja di negara-negara miskin cenderung lebih panjang ketimbang negara-negara maju. Alasannya karena tingkat produktivitas. Karyawan di negara maju bisa mengantongi penghasilan yang lebih besar meski bekerja lebih singkat.

Di Kamboja contohnya, rata-rata orang bekerja selama 2.456 jam per tahun. Jika dibandingkan dengan Swiss, durasinya 900 jam lebih lama. Meski demikian, bukan berarti penghasilan penduduk Kamboja lebih banyak. Secara tidak langsung, fakta ini membuktikan kesejahteraan bukan semata dipengaruhi etos kerja, namun juga situasi dan peluang.

Berdasarkan data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Kolombia merupakan negara dengan jam kerja terlama di dunia. Pada 2021, durasinya mencapai 2.405 jam per tahun. Setelah itu ada Meksiko, Kosta Rika dan Chili yang masing-masing 2.226 jam, 2.149 jam dan 1.963 jam.

Sementara itu, Jerman dinobatkan sebagai negara dengan jam kerja terpendek pada 2022, yakni 1.341 jam per tahun. Disusul Denmark, Norwegia, Belanda dan Swedia yang masing-masing 1.372 jam, 1.425 jam, 1.427 jam dan 1.440 jam. Secara keseluruhan, rata-rata jam kerja penduduk negara OECD tercatat 1.752 jam per tahun.

Sejatinya, negara maju juga sebelumnya memiliki jam kerja yang tinggi. Merujuk reportase Rapid Transition Alliance, dikarenakan beban jam kerja yang tinggi tersebut, negara maju akhirnya memperkenalkan konsep akhir pekan.

Fakta unik lainnya, transisi jam kerja yang lebih pendek lahir dari strategi negara maju selama periode resesi ekonomi. Ambil contohnya Belanda dan Amerika Serikat (AS).

Pemerintah Belanda menawarkan jam kerja 4 hari dalam seminggu pada pegawai pemerintah ketika “Great Recession” di awal tahun 1990. Kemudian saat periode krisis keuangan 2008, negara bagian Utah di AS juga menerapkan jam kerja 4 hari sepekan pada pegawai publik untuk menghemat anggaran.

Praktik ini kemudian menyebar, terutama pada sektor yang layanannya tidak sensitif terhadap waktu. Jam kerja yang lebih singkat tidak hanya mendongkrak produktivitas, tetapi juga menurunkan biaya kerja yang berkaitan dengan transportasi dan kesehatan.

Hari kerja yang lebih singkat secara langsung mengurangi jumlah perjalanan dan penggunaan energi. Pada tingkat makro, pengurangan waktu kerja sebesar 25% dapat berkontribusi terhadap pengurangan jejak ekologis sebesar 30%.

Lebih lanjut, bekerja dalam waktu yang lama berisiko buruk terhadap kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian World Health Organization (WHO) dan International Labour Organization (ILO), bekerja lebih dari 55 jam per pekan menyebabkan 745.000 orang meninggal pada 2016 akibat stroke dan penyakit jantung iskemik. Jumlahnya naik 29% dari 2000.

Di sinilah pentingnya keseimbangan. Menurut Agnieszka A. Borowiec dalam penelitian berjudul Work-Life Balance and Mental and Physical Health among Warsaw Specialists, Managers and Entrepreneurs (2022), satu di antara dampak negatif rendahnya work-life balance adalah kesehatan fisik dan mental yang memburuk.

Tuntutan kerja dan kepentingan pribadi yang bertentangan menyebabkan stres. Jika berlangsung terus-menerus, ia berpotensi merusak fisiologis atau sistem tertentu yang akhirnya memicu penyakit. Ketidakseimbangan antara kerja dan hidup juga bisa menyebabkan seseorang lebih temperamental, depresi, sulit tidur, dan kelelahan.

Menurut Triyana Muliawati dalam penelitian berjudul Peran Work-Life Balance dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Milenial: Studi Literatur (2020), konsep work-life balance mendorong karyawan memiliki gaya hidup yang sehat. Berkat keseimbangan, mereka akan lebih merasa bahagia sehingga bisa melakukan pekerjaan secara optimal.

Infografik INSIDER Work Life Balance

Infografik INSIDER Work Life Balance. tirto.id/Fuad

Esensi bagi Gen Z

Di samping manfaat, penerapan work-life balance juga memberi tantangan tersendiri untuk sektor dunia usaha. Mengabaikan konsep ini sama saja dengan merancang masalah di kemudian hari. Bagaimana tidak, ia merupakan pertimbangan penting bagi kelompok tenaga kerja masa depan, yakni Generasi Z.

Generasi Z merupakan penduduk kelahiran 1997-2012. Mereka mendominasi susunan demografi Indonesia saat ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlahnya mencapai 71.509.082 jiwa pada 2020, lebih banyak dari Generasi Milenial. Kecenderungan Generasi Z terhadap work-life balance dipengaruhi beberapa faktor.

Satu di antaranya kelenturan waktu. Menurut Arditya Afrizal Mahardika dalam penelitian Work-Life Balance pada Karyawan Generasi Z (2022), generasi ini lebih mengutamakan fleksibilitas kerja serta lingkungan yang mendukung pengembangan diri. Mereka menyukai pekerjaan yang bisa dilakukan dari mana saja tanpa perlu ke kantor.

Bahkan Generasi Z rela mengundurkan diri dari pekerjaan dan memilih jalur wirausaha agar dapat mencapai work-life balance.

Mereka mungkin berkata,”Saya menginginkan lingkungan kerja lebih sehat, sejahtera atau fleksibel. Dan karena Anda para lansia tidak akan menciptakan lingkungan kerja tersebut untuk saya (Gen Z), saya akan menciptakannya untuk diri saya sendiri,” kata Dr. Corey Seemiller, penulis beberapa buku tentang Gen Z, dikutip dari Yahoo Finance.

Meski begitu, Generasi Z punya nilai tawar tinggi. Selain mendominasi angkatan kerja, mereka juga lebih melek teknologi, keahlian mutlak yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnis di era modern. Demi menarik minat sekaligus mengoptimalkan potensinya, perusahaan mesti memfasilitasi dan mengakomodir kebutuhan mereka.

Tantangan ini turut diuraikan Fernanda Rachmadini dalam penelitian berjudul The Impact of Work-Life Balance on Employee Engagement in Generation Z (2020). Sebagai kelompok yang mendominasi pasar tenaga kerja, Generasi Z memegang peran strategis, di mana partisipasi mereka dipengaruhi oleh keseimbangan kerja.

Untuk meningkatkan keterlibatan Generasi Z, mau tak mau, perusahaan harus memenuhi ekspektasi mereka. Termasuk soal kepedulian, mengutamakan kepentingan karyawan, dan fleksibilitas kerja.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas