Menuju konten utama

Wakil Ketua LPSK: Korban TPKS Trauma Seumur Hidup

"Korban TPKS itu dia mengalami trauma seumur hidupnya. Maka, pelakunya sudah selayaknya bertanggung jawab seumur hidup korbannya."

Wakil Ketua LPSK: Korban TPKS Trauma Seumur Hidup
Header Wansus Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati. tirto.id/Tino

tirto.id - Sri Nurherwati dengan semangat menunjukkan beragam tabel berwarna-warni berisi deretan angka di layar tabletnya. Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2024-2029 itu dengan serius menjelaskan peningkatan permohonan korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, alias TPKS, yang diterima lembaganya. Kurva peningkatan itu tampak seperti gunung yang menjulang.

Dijumpai Tirto di sela-sela kegiatan rapat bersama jajaran LPSK di Mercure Hotel Cikini, Jakarta, pada Rabu (21/8/2025) siang, Nurherwati muncul mengenakan jaket antidingin yang tebal ketika sampai di lobi. Ia mengenakan kerudung bercorak batik bernuansa terang, kontras dengan kemeja kerja LPSK yang berwarna biru gelap. Ia langsung tak sabar ingin banyak bercerita.

“Ayo di sini [lobi] saja, di ruang [rapat] atas dingin banget,” kata dia duduk sambil melepas mantel tebalnya.

Komisioner LPSK ini memang bukan orang baru di bidang penanganan TPKS. Ia salah satu tokoh yang mengawal terbentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sebelum mengabdi di LPSK, Nurherwati sudah dua periode mengemban posisi komisioner di Komnas Perempuan.

Namun, sebagai salah satu pimpinan LPSK, ia memang mengaku memiliki aspek tantangan baru yang mesti dihadapi. Sebagai lembaga yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak korban tindak pidana prioritas, termasuk TPKS, pekerjaan LPSK tidak hanya berhenti sampai kasus hukum selesai di meja hijau. Pekerjaan sesungguhnya justru dimulai ketika LPSK berupaya memenuhi hak-hak korban dari pelaku dan negara setelah status hukum yang panjang rampung dijalani.

Sebagai pengampu bidang TPKS, Nurherwati mengaku memang terjadi peningkatan signifikan kepada LPSK untuk kategori kasus kekerasan seksual. Ada pertanda baik dan buruk.

Ilustrasi Pelecehan Seksual

ilustrasi pelecehan seksual. wikimedia commons/arionasis

Positifnya, fenomena ini menunjukkan banyak korban TPKS yang sudah menyadari hak-hak mereka. Tantangannya, peningkatan kasus ini menandakan kasus TPKS terus terjadi dan membutuhkan suatu komitmen lintas sektoral yang efektif untuk memastikan keadilan dan hak korban bisa dipenuhi.

Sayangnya, kata Nurherwati, masih banyak korban TPKS yang belum menyadari hak-hak mereka bisa dibantu oleh LPSK.

“Tadi hak perlindungan, ada hak restitusi, kompensasi tentu saja. Hak untuk mendapatkan bantuan transportasi, biaya hidup. Hampir semua nih banyak yang belum diketahui,” kata Nurherwati, dalam wawancara eksklusif bersama Tirto.

Di sisi lain, upaya menuntut hak-hak korban TPKS dari tangan pelaku juga bukan hal yang mudah. Ada saja taktik muslihat pelaku untuk menghindar dari kewajiban tanggung jawab restitusi.

Namun, dengan ditetapkannya PP Nomor 29/2025 tentang Dana Bantuan Korban [DBK] TPKS oleh Presiden Prabowo Subianto pada Juni 2025 lalu, memang ada angin segar memastikan pemenuhan hak-hak korban dapat terlaksana lebih cepat. Kendati begitu, bagi LPSK, ini menjadi tantangan untuk menyeimbangkan pemenuhan hak-hak korban dengan cepat dan adil, namun juga tetap menuntut keadilan dan efek jera bagi pelaku TPKS.

Selengkapnya, di bawah ini hasil wawancara Tirto dengan Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati.

Dari tren permohonan kasus TPKS ke LPSK sampai saat ini, apakah terjadi peningkatan?

Jadi kita lihat di tahun 2024 ini, memang kalau dibandingkan, jadi akhir 2024 itu saya membuat kajian implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kita ambil 3 tahun ke belakang.

Dari data, memang kekerasan seksual kita membagi kekerasan seksual anak dan kekerasan seksual. Artinya dewasa juga diterima di LPSK.

Dari pengajuannya itu, kalau kita lihat, untuk kekerasan seksual anak tahun 2022, itu kecil, sekitar 539 kasus.

Nah, pada saat 2023, artinya setelah UU TPKS diberlakukan, langsung meningkat hampir 100 persen dari 539 menjadi 973. Kemudian di 2024 agak menurun sedikit, tapi nggak signifikan menjadi 836.

Di tahun ini 2025, baru 8 bulan ya, ini sudah mencapai 927 sampai 19 Agustus 2025 ini.

[Catatan: Untuk korban kekerasan seksual dewasa: 2022 (95), 2023 (214), 2024 (227), dan 2025 (179), per 19 Agustus]

Sementara kalau kita lihat statusnya itu paling banyak adalah pengajuan korban. Artinya kan korban sendiri sudah berani untuk mengakui: saya ini korban. Kemudian punya kesadaran membutuhkan perlindungan.

Ilustrasi Pelecehan Seksual

ilustrasi pelecehan seksual. wikimedia commons/Bayunknown

Dari jenis kelamin, perempuan paling banyak. Laki-laki itu tahun 2022, laki-laki itu 45 pemohon dan perempuan 209. Di 2023, laki-laki itu 88 dan perempuan 668. Artinya, korban ini memang lebih banyak perempuan.

Tapi, kemudian di dalam proses hukumnya, yang kemudian oleh penegak hukum itu diperiksa sebagai saksi, justru lebih banyak yang laki-laki.

Laki-laki itu saksi korban mencapai 57,5 persen. Ini dari kurun waktu 2022 sampai 2023. Sementara kalau perempuan itu hanya 24,5 persen.

Jadi perempuan korban terbanyak, tapi penanganannya dalam proses hukum sebagai saksi korban, sebagai saksi kan berarti dia dimintai keterangan kan dalam proses hukum, itu hanya 24,5 persen.

Kenapa justru laki-laki yang sering diminta keterangan aparat penegak hukum?

Pengetahuan soal kekerasan seksual itu ternyata minim. Ini kan 2022 sampai 2023 itu kan baru UU TPKS baru masuk. Sehingga pengetahuan soal kekerasan seksual itu minim.

Dulu di KUHP itu kan masuk dalam delik kesusilaan. Delik kesusilaan itu artinya, orang akan dilihat menyumbang nggak terhadap kekerasan seksual yang dialaminya sendiri.

Jadi akhirnya nggak ada satu kasus yang itu terbebas dari rasa khawatir, rasa takut, jangan-jangan nanti saya ini nggak dipercaya kalau saya ini korban. Dan ternyata memang di dalam proses hukumnya, selalu mempertanyakan hal-hal itu.

Padahal tahun 2017, Mahkamah Agung keluarin namanya Perma (Peraturan Mahkamah Agung) nomor 3 tahun 2017, pedoman mengadili perempuan berhadapan dengan hukum. Dilarang untuk mereviktimisasi, menstigma, bahkan mengungkit masa lalu soal seksualitas saksi dan korban.

Ternyata laki-laki ini yang lebih kecil tadi mengajukan permohonan, tapi proses hukum yang diberikan sebagai saksi itu lebih besar. Lebih besar ketimbang yang perempuan.

Kalau wilayah apakah semua tercover LPSK untuk korban TPKS?

Dari sisi implementasi ini hampir semua wilayah kekerasan seksual sudah ditangani ini sebenarnya.

Dominan pemohon dari Jawa Barat. Jawa Barat 431 kasus, DKI Jakarta 271, Lampung 258, Jawa Tengah 215, NTT 140, Jawa Timur 125 dan DIY 122. Ini dalam kurun waktu 2023-2024.

Ini yang Papua yang masih minim. Karena jarak terlalu jauh.

Kalau dari permohonan itu paling tinggi untuk kekerasan seksual itu melalui WhatsApp. Menjaga privasi, kan. Dia nggak ketemu, kami nggak lihat dia. Sehingga mungkin menurut saksi korban dianggap itu yang paling nyaman.

Secara prosedural opsi-opsi permohonan itu jalurnya apa saja?

Bisa datang langsung. Bisa lewat WA. Bisa lewat email. Atau juga lewat aplikasi di elektronik. Nama aplikasinya Simpusaka, tapi itu baru kita uji coba untuk kasus TPPO.

Setelah mereka lapor lewat WA, prosesnya, kan nanti diterima oleh petugas. Di-register, kemudian diperiksa. Syarat formil maupun materilnya.

Formilnya itu misalnya ada KTP enggak, identitas lah. Bahwa ini memang bener bukan fiktif. Terus kemudian materil, kalau tindak pidananya merupakan kewenangan LPSK atau bukan.

Sri Nurherwati

Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati. Tirto.id/M Fajar Nur

Nah yang sangat penting itu sebenarnya kronologisnya. Kita itu paling banyak yang mengajukan itu malah penegak hukum dan kuasa hukum. Penegak hukum itu paling banyak dari kepolisian.

Nah kepolisian ini ternyata ada kaitannya dengan proses lidik-sidiknya mereka. Jaksa, mulai sekarang ini karena sudah ada surat edaran dari Kejaksaan, kalau tidak ada penghitungan restitusi dari LPSK, maka Jaksa tidak akan P21 atau dokumen dinyatakan lengkap.

Dikembalikan lagi ke aparat penegak hukum (APH), minta penghitungan dari LPSK. Sehingga itu yang kemudian dimintakan polisi.

Sayangnya penyidik ini, kalau mengajukan permohonan itu hanya selembar. Tidak ada nomor kontak si korbannya atau keluarganya. Tidak ada kronologis. Bahkan alamat itu seringkali salah.

Nanti pada saat LPSK tadi sudah menilai permohonan, didatangi untuk dilakukan penilaian. Ini pengajuan permohonannya dari kepolisian misalnya pemenuhan hak prosedural, pendampingan misalnya pendampingan apa yang dibutuhkan, kalau ada ancaman, ancamannya seperti apa. Yang diharapkan seperti apa.

Sehingga itu akan membantu petugas untuk menganalisis kebutuhan perlindungan saksi korban ini bentuknya apa. Kemungkinan juga, butuh psikososial, misalnya, karena enggak bisa sekolah, enggak bisa kerja, atau bahkan dia membutuhkan bantuan biaya hidup karena setelah peristiwa kekerasan seksual enggak bisa kerja.

Atau kalau korban anak-anak, orang tuanya karena dampingi anaknya terus kemudian dia dipecat. Ada beberapa yang seperti itu. Itu yang kemudian ditelaah dibawa ke pimpinan kayak persidangan. Ini hasil analisisnya ancamannya seperti apa. Kemudian rekomendasinya keluar.

Rekomendasinya misalnya, ini butuh perlindungan fisik yang melekat. Tapi rumah amannya milik kita, milik LPSK. Tapi kalau kemudian diketahui ancamannya landai, tidak masalah kok dia tinggal di rumahnya dia sendiri, tapi dipasang CCTV.

Karena ternyata beberapa kali itu pelakunya diam-diam itu ada sembunyi, dia masuk pintu belakang. Itu CCTV. Dan itu biasanya bekerjasama dengan kepolisian setempat. Atau monitoring melekat di tempat dia tinggal. Jadi itu korban dijaga.

Atau justru ada di rumah amannya LPSK. Tapi di rumah amannya LPSK itu sering kali menimbulkan ketidaknyamanan. Karena kan enggak boleh bebas pegang HP. Tapi kalau misalnya membutuhkan misalnya yang masih sekolah, dia harus mengerjakan tugas itu kita pinjamin.

Kalau jumlah permohonan versus yang diterima, seperti apa angkanya?

Ini yang putusan putusan SMPL [Sidang Mahkamah Pimpinan LPSK] artinya. Dari yang sudah diterima permohonan ketika kita sedang di pimpinan, itu menghasilkan total ada hampir 3.000 terlindung.

Kita sebut terlindung ketika itu sudah diterima permohonannya. Nah terlindung itu berjumlah 2.518 totalnya dari 2022-2024. Dari rincinya, 2022 tadi 489 terlindung. 2023 ada sebanyak 756 dan 2024 kemarin mencapai 1.273 terlindung.

Ilustrasi Pelecehan Seksual

ilustrasi pelecehan seksual. wikimedia commons/Errizdwi

Sering kali, polisi tadi dia enggak melengkapi permohonan, atau ketika dikontak, nggak respons. Banyak penyidik yang hanya bawa selembar permohonan, terus kita telepon bisa enggak dilengkapi nomor kontak dan kronologis. Dijawab iya, tapi enggak melengkapi juga.

Sementara kan kami itu punya jangka waktu. Penelaahan permohonan itu dalam waktu 30 hari. Bisa diperpanjang selama 14 hari. Nah, kalau dalam jangka waktu ini, si polisi ini enggak melengkapi, juga terpaksa kita tutup dulu.

Tidak dapat dilakukan penelaahan. Kita enggak bisa melanjutkan. Karena kurang data dan kurang dokumen.

Ada juga yang itu sudah melengkapi. Waktu didatangi saksi dan korbannya enggak mau. Malah enggak mau bukain pintu. Takutlah.

Artinya apa? Di kepolisian tidak dijelaskan bahwa penyidik sudah mengajukan ke LPSK. Yang diajukan itu apa? Misalnya restitusi. Karena ada juga kasus yang restitusi ya. Tadi karena P19 saksi korbannya menolak.

Ketika saya tanya, Ibu tahu enggak, itu yang namanya restitusi itu apa? Enggak tau. Kenapa menolak? Dia bilang ‘saya takut dan lebih fokus ke proses hukum. Saya enggak maulah ngurus yang macam-macam lagi’. Kira-kira begitu.

Nah, ketika kita berikan informasi akhirnya mengajukan. Artinya memang sebenarnya kita membutuhkan kepolisian ini enggak hanya sekedar mengajukan tapi juga dengan saksi korbannya menjelaskan.

Diinformasikan sehingga pada saat kita turun, dia enggak takut sama LPSK. Ada juga yang takut dipikir kita ini pihak di pelaku. Karena kan kita nanya kan ini nanti restitusi berasal dari pelakunya. Nah, dipikir kita ini atas nama pelakunya.

Hak-hak apa saja yang masih belum diketahui korban TPKS?

Ya tadi hak perlindungan, ada hak restitusi, kompensasi tentu saja. Hak untuk mendapatkan bantuan transportasi, biaya hidup. Hampir semua nih banyak yang belum diketahui.

Tetapi memang kalau kita lihat di program perlindungan ya cukup tinggi [layanannya]. Dan satu kasus ini biasanya enggak hanya satu program perlindungan. Dia bisa macam-macam dapatnya.

Misalnya dia dapat fasilitasi restitusi. Dia juga dapat yang pemenuhan hak prosedural, pendampingan atau bisa jadi dia juga dapat perlindungan fisiknya. Atau bisa jadi dia dapat yang rehabilitasi psikologis maupun medis.

Makanya kalau saksi korbannya menolak untuk dilakukan penelaahan, kita enggak punya data apapun kebutuhannya apa.

Ilustrasi Kekerasan Seksual

Ilustrasi Kekerasan Seksual. foto/Istockphoto

Siapa yang bertanggung jawab menjelaskan hak restitusi dan kompensasi korban?

Kalau diundang-undang TPKS itu, ya, penyidik, jaksa, dan hakim wajib menginformasikan. LPSK sebagai pelaksana tetap saja memang harus melakukan sosialisasi.

Sosialisasi kita sudah coba lakukan melalui program yang namanya Sahabat Saksi dan Korban. Jadi itu masyarakat yang diberikan pelatihan oleh LPSK untuk bisa mendekatkan akses keadilan.

Misalnya kan, ini LPSK belum di semua wilayah ada. Kita baru ada di Jakarta, Jawa Timur itu baru sekarang ya. Jawa Timur, Jawa Tengah itu baru sekarang. NTT ini sudah ada izinnya tapi belum berdiri karena Sarprasnya belum layak. Terus Jogja dan Sumatera Utara sudah ada.

Sementara tadi di semua wilayah, kita sudah dapat permohonan. Sehingga kita melatih yang namanya Sahabat Saksi Korban dari berbagai latar profesi.

Itu yang kemudian membantu kami untuk membantu menjelaskan yang namanya restitusi. Mereka kan sebenarnya masyarakat, ya relawan. Tapi dalam hal tertentu maka kita akan memberikan surat tugas.

Misalnya pernah pas kasus Kapolres Ngada [Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja] itu, korbannya pernah tuh pergi dari rumah aman. Nah harus cepat dicari, sementara kita ada di Jakarta.

Akhirnya kita menugaskanlah Sahabat Saksi Korban bantu ke polisinya untuk cari. Mereka cepat kan. Dibawa asistensi di Jakarta, akhirnya dapat diketemukan lagi.

Ilustrasi Kekerasan Seksual

Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

Banyak permohonan dari pendamping dan penegak hukum. Kalau kesadaran individu langsung dari korban bagaimana trennya?

Ini tadi kan korban tertinggi kategori status hukumnya dari permohonan masuk. Tapi memang dari pengaduan itu paling banyak tadi diterima dari aparat dan pendamping hukum.

Artinya kan memang kesadaran korban, yang kalau dari kepolisian menyampaikan menunjukkan permohonan atas namanya, dia korbannya kan justru malah ada yang nolak dilindungi LPSK.

Artinya memang LPSK belum dikenal. Itu sih, belum dikenal memang. Karena kita tidak ada di dalam hukum acara.

Nah ini yang sedang kita advokasi, supaya LPSK kan masuk di dalam hukum acara, sehingga kita punya kesetaraan dalam sistem peradilan pidana terpadu. Sehingga dimanapun berada, harus ada perlindungan saksi dan korban.

Jadi seharusnya peranan LPSK diakomodir dalam RUU KUHAP?

Ya betul. Kita ada di lex specialis. Seolah-olah kami ini kayak di luar sistem. Padahal seharusnya kita ada di dalam sistem.

Kita itu sebenarnya mensupport penegak hukum dalam pembuktian. Kan ada lima tuh, di antaranya saksi korban. Kita ini kan men-support saksi, korban, ini yang selama ini masyarakat... Untuk bisa memberikan keterangan sebagai saksi dan korban itu kan berat.

Kita itu kan sebenarnya memfasilitasi supaya mereka dimudahkan untuk memberikan keterangan. Sehingga proses penegakan hukumnya lebih jalan.

Karena di KUHAP-nya enggak ada, ini yang seringkali jarang dilibatkan dalam proses peradilan umum. Itu yang kita sedang advokasi.

Tapi kalau dari data, korban ini ingin minta perlindungan dari siapa?

Saya sebutkan tuh kasus kekerasan seksual anak tinggi, anak perempuan tinggi dan pelakunya itu orang terdekat, bapak tiri misalnya. Kalau bapak tiri, itu justru ancamannya orang terdekat, yakni dari ibunya.

Ibunya tidak menghendaki proses hukum berjalan. Kita saat ini juga sedang melindungi salah satu ya, anak perempuan TPKS, yang ibunya itu setiap kali datang ke LPSK, meminta supaya anaknya dipulangkan. Karena ibunya ingin menghentikan proses hukum.

Untuk TPKS anak, dari sekian banyak profil pelakunya, saya kira minimal 40 persen itu orang terdekat. Bapak kandung juga luar biasa, ada juga paman.

Kita pernah, ini lebih ironis lagi. Ini anak yatim piatu dititipkanlah di rumah paman. Pamannya ini pelakunya, korbannya sudah dua tahun kita lindungi.

ilustrasi kekerasan seksual

Ilustrasi kekerasan seksual. FOTO/istockphoto

Kalau perlindungan atau pendampingan LPSK itu ada batas waktu?

Ada sebenarnya, yakni sampai kasus hukumnya selesai. Tapi kan pimpinan punya diskresi. Diskresi melihat kepentingan, karena kan pemenuhan hak saksi korban tadi.

Misalnya dari hasil konseling, dinyatakan anak ini masih membutuhkan rehabilitasi psikologis. Maka kita akan merujuk pada hasil asesmen psikologisnya. Sekalipun proses hukumnya sudah selesai.

Karena kita untuk pemenuhan hak saksi korban, dia sudah memberikan keterangan, proses hukum sudah selesai, tapi dari hasil konselingnya menunjukkan dia masih membutuhkan. Itu dasarnya di situ.

Atau mungkin mengalami sakit tapi proses hukum selesai, dia belum sembuh. Kita perpanjang, jadi dia evaluasi per 6 bulan, 6 bulan, gitu. Rata-rata ya, kita punya yang sudah 2 tahun kita lindungi.

Tantangan kita, ini kan di dalam proses hukum, enggak sendirian. Sementara tugas LPSK kan tergantung pada proses hukum. Tantangan kita kalau pelakunya dinyatakan aparat penegak hukum DPO.

Jadi tidak ada kepastian. Saat ini kita sedang komunikasikan dengan direktur PPA-PPO. Ini sebenarnya penetapan DPO ini seperti apa? Apakah ditetapkan DPO, terus kemudian sudah dibiarkan gitu saja enggak dicari.

Saya tanya di beberapa wilayah, mana surat penetapan DPO? Ada yang bisa menunjukkan, ada yang enggak. Argo kita kan berjalan, karena itu tadi kan setiap 6 bulan harus dievaluasi.

Ini yang saya kira kan kita lintas sektor sesama pengguna APBN. Kalau mau efisiensi harus sama-sama efisiensi juga di dalam kinerja bersama.

Apakah kalau belum ada proses hukum berjalan, korban bisa dibantu?

Kalau untuk kasus perempuan dan anak bisa, kita mulai membangun yang namanya mekanisme khusus. Misalnya dia datang, mengalami KDRT, atau ada yang kekerasan seksual. Tapi enggak berani lapor, karena kalau lapor, nanti tambah repot.

Misalnya, tadi pelakunya bapak tirinya, jadi saya minta didampingi LPSK. Itu kita terima.

Artinya ada layanan pendampingan hukum. Kita dampingi, melapor ke polisi. Tapi memang di awal, mesti kita pastikan soal tindak pidananya ada atau enggak, terus kemudian, mau lapor apa enggak, itu dikuatin.

Kalau mau lapor, ada assessment psikologis, assessment medisnya dilakukan, didampingi untuk lapor.

Dari pemenuhan restitusi oleh pelaku trennya bagaimana?

Ini trennya yang kita juga masih gagap, menghadapi keluarnya PP 29/2025 soal Dana Bantuan Korban [DBK] TPKS. Pelaku itu rata-rata enggak mau bayar restitusi.

Jadi kasus Miss Universe yang viral itu misalnya, pelakunya bikin pernyataan tidak mampu. Padahal dulu konsep Naskah Akademis kita, restitusi sebenarnya bentuk penjeraan buat pelakunya.

Karena selama ini, pelaku itu meremehkan yang namanya penjara. Tapi mereka itu, enggak mau kehilangan apapun untuk saksi korban. Maka itu yang kemudian kita ambil, sebagai penjeraan. Supaya orang enggak berani ngulang.

Ilustrasi Pelecehan Seksual

ilustrasi pelecehan seksual. wikimedia commons/Alnauval

Tapi pengimbangannya ada juga pelaku mulai membayar. Saya belum dapat rekapitulasi, berapa yang sudah mulai dibayarkan. Tapi beberapa kasus sudah mulai meskipun masih minim.

Kita punya tantangan menghadapi PP Dana Bantuan Korban (PP DBK). Kalau pelakunya kurang bayar, dulu konsep kurang bayar itu, misalnya restitusinya 100, pelakunya cuma bisa bayar dua per tiga misalnya, negara akan kompensasi kurang bayarnya.

Nah, di PP ini dijelaskan, kurang bayar itu termasuk ketidakmampuan pelaku. Ini yang bikin kami di LPSK, "Aduh, ini gimana ya, caranya."

Sebenarnya ketidakmampuan itu selalu diasumsikan finansial. Nah kami mulai berpikir, bagaimana kalau ketidakmampuan tidak hanya dari sisi finansial saja, tapi juga harus dilihat, bahwa sebenarnya orang ini pelaku di usia produktif.

Konsep kita dulu, karena dulu saya ikut mengawal lahirnya UU TPKS, konsepnya itu supaya negara memfasilitasi saat pelaku di penjara, ada pendidikan pelatihan, dia bisa ambil tuh, misalnya membuat mebel. Mebel dijual, dia dapat penghasilan kan. Nah penghasilannya lah buat bayar restitusi.

Tapi pendiskusiannya itu tidak disepakati karena dianggap mau berapa lama menunggu. Kan sebenarnya bukan berapa lamanya ya, tapi bagaimana supaya tanggung jawab pelaku ini betul-betul dilakukan.

Korban TPKS itu dia mengalami trauma seumur hidupnya. Maka pelakunya sudah selayaknya, bertanggung jawab seumur hidup korbannya.

Aksi Tolak Kekerasan Seksual

Sejumlah mahasiswa gabungan dari berbagai kampus langsungkan aksi damai di depan Gedung Kemendikbud untuk menuntut Kemendikbud turun tangan atas masalah kekerasan seksual di ranah kampus, Jakarta, Senin (10/2/2020). tirto.id/Andrey Gromico

Bayar restitusi ini untuk penjeraan pelaku. Karena hampir rata-rata ya pelaku itu kita tanya, penjara justru enteng lah, makan gratis dan sebagainya, itu bikin kesel kita.

Sekarang PP DBK itu justru berpotensi mengikis gitu. Jadi ketika pelakunya bilang nggak mampu, itu ya negara saja yang bayar. Ini yang kami sedang coba bahas.

Maka konsep ketidakmampuan, harus kita perketat dulu nih. Bahkan, surat keterangan tidak mampu pelaku, kita menemukan ada data dari pendamping korban yang menyatakan Kadesnya yang bikin surat keterangan tidak mampu masih saudara sama pelaku.

Sehingga memang LPSK akan mengajak kepolisian, karena polisi itu dia punya kewenangan untuk melakukan yang namanya sita restitusi. Kelak restitusi akan dibayar, nanti yang melelang si jaksa ini kan, nah jaksa ini yang harus kita ajak bicara bersama kepolisian, tentang bagaimana menelusuri harta, supaya tidak berpindah tangan, atau dipindahtangankan, atau dihilangkan, atau dijual lebih dulu.

Jaksa juga jangan sampai ketidakmampuan itu diterima secara administratif. Kalau dari penelusuran sita restitusi jalan, artinya kita sudah dapat secara substantif gambaran kemampuan pelaku.

Kalau misalkan lelang hartanya pelaku belum berhasil. Korban tetap menunggu saja gitu?

Itu dia ya, kan kalau dari PP DBK yang baru ini yang kami hati-hati sekali ya. Kalau pelakunya nggak mampu. Nggak mampu tadi, kurang bayar, terus lelangnya nggak berhasil. Itu mekanisme yang ada sekarang, jaksa itu menyerahkan ke LPSK. Supaya LPSK bayar lah.

Makanya kami tunggu dulu. Saya harus lihat dulu. Bener nggak pelakunya itu nggak mampu. Nggak mampu bayar. Dasarnya apa? Dan kenapa nggak laku lelang harta pelaku?

Tapi balik lagi itu uang negara ya tentu tetap dibayarkan. Cuma gini, yang jadi pikiran saya, bukan kita keberatan, kan itu bentuk percepatan pemulihan untuk korban. Cuma kan nggak membuat jera pelakunya kalau polanya begitu.

Justru jadi muncul celah dalih pelakunya. Padahal itu pajaknya seluruh rakyat Indonesia. Terus LPSK kan harus nyari sumber dananya juga, nggak hanya APBN. Dia bisa sumbangan, bisa filantropi.

Di sisi lain, yang masih sulit menerima soal konsep restitusi itu pengadilan militer. Kenapa? Karena kan itu definisi restitusi itu dibayarkan oleh pelaku atau pihak ketiga. Nah biasanya atasannya, kalau pelakunya militer, atasannya itu kasih santunan ke korban.

Kasih santunan itu, mereka maknai sudah cukup restitusi. Pelaku udah dipecat, dia udah dihukum berat. Jadi buat apa lagi dengan restitusi? Padahal kan makna restitusi di situ beda sama santunan.

Jadi kan bisa saja kerugiannya korban di atas santunan. Ini kan dia menghargai restitusinya itu, nggak melibatkan korbannya, asal kasih saja. Dan banyak, banyak yang sampai detik ini ya, proses mediasi itu masih terjadi.

Jadi beberapa waktu lalu misalnya, dengan polisi kita komunikasi. Bagaimana caranya supaya polisi itu memberikan bimbingan ke para tokoh adat, tokoh masyarakat, supaya bekerjasama dengan Polri agar kasus TPKS tidak diselesaikan sendiri.

Meskipun masih belum maksimal, PP DBK sudah ditetapkan. Bagaimana LPSK menjalankan aturan ini dengan maksimal?

Ya, kita akan mengikuti aturan dulu sambil menyusun strategi. Karena apa? Kalau, anggaran tahun ini nggak ada, maka itu jadi utang kami di tahun ke depan.

Di satu sisi itu tadi, ini suatu bentuk percepatan pemulihan untuk korban. Tapi di satu sisi yang lain, Ini kita mesti evaluasi, soal efek penjeraan untuk pelaku agar tetap efektif.

Dan tentunya kita membutuhkan bangunan sistem yang lebih komprehensif bersama penegak hukum yang lain. Supaya tadi ketidakmampuan pelaku itu, betul-betul kita pantau ya, diperketat.

Karena dulu konsepnya DBK itu kan dana talangan. Negara bayarin dulu, pelaku nanti bayar.

Di negara-negara luar itu sudah menerapkan. Saya kemarin dapet informasi di Korea ternyata, Jaksa memantau waktu pelaku di lapas. Pelaku dapet pelatihan nggak, ada order nggak gitu kan. Langsung diambil untuk restitusi kalau dapat bayaran.

Pas dia hukuman udah selesai, dari penjara dia keluar dan bekerja, diambil juga buat bayar restitusi. Nah di sistem kita, sepertinya harus mengkaji ulang, jangan sampai semua dibebankan ke negara.

Kita evaluasi terus menerus pelaksanaan PP DBK, supaya berdampak pada nilai keadilan itu sendiri dan penegakan hukum yang lebih kuat bagi pelaku TPKS.

Kita juga sedang mengupayakan, supaya anak dalam kandungan korban, dari 0 sampai 18 tahun secara hak asasi manusia, harus tetap kita hitung dan kita harapkan jadi tanggung jawab negara ke depan.

Layanan misalnya, nanti waktunya sekolah, ya, Kementerian Pendidikan, siapkan sekolah buat anak itu. Pak Presiden Prabowo Subianto sudah bikin Sekolah Rakyat bisa juga dikombinasikan. Ada makan bergizi gratis.

Ini korban kekerasan seksual, masukin di situ. Sehingga korban ini enggak perlu mikir lagi, bagaimana menghidupi bayinya. Kita udah punya banyak program pemerintah, yang itu harusnya bisa dimasuki bisa terintegrasi untuk pemenuhan hak korban TPKS.

Baca juga artikel terkait LPSK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty