tirto.id - Sebuah trem listrik melewati ruas jalan di dekat Pasar Glodok yang ramai. Ia berbagi jalan dengan mobil, sepeda, dan becak. Foto itu diambil pada 1950. Jakarta sudah punya trem sejak 1869 saat masih bernama Batavia, yang saat itu masih ditarik empat ekor kuda.
Dua belas tahun kemudian muncul trem uap dari perusahaan Stoomtram Mij. Pada 1897, trem uap digeser trem listrik Elektrische Tram Mij, yang mengisi jalanan Jakarta. Pada 1930-an, kedua perusahaan merger dan berganti nama menjadi Batavia Verkeer Maatschappij.
Saat nasionalisasi pada 1957, perusahaan itu diambil alih pemerintah Indonesia. Namanya menjadi Perusahaan Pengangkutan Djakarta. Dianggap terus-terusan merugi, trem digantikan bus. Kini, di jalan yang sama, 70 tahun kemudian, yang melintas adalah bus TransJakarta koridor Blok M–Kota.
Di Pasar Senen, ada wilayah yang disebut “segitiga Senen”, yang diisi Mal Atrium pada 1992. Sebelumnya, pada 1970-an, di segitiga itu berdiri rumah-rumah dan kios warga Tionghoa.
Jalan Sudirman-Thamrin kini menjadi pusat bisnis. Jalannya lebar, trotoarnya luas, gedung-gedung pencakar langit berbaris di kiri-kanan jalan. Pembangunan gedung-gedung itu menggusur perkampungan di Jakarta.
Zaini dan keluarganya, salah satu yang tergusur. Tadinya mereka tinggal di perkampungan di belakang Sudirman Park. Makin lama, perkampungan itu makin sempit, gang-gang mengecil.
Pada 2015, pengembang properti membeli tanah keluarga Zaini. Kini mereka pindah ke Kebayoran Lama, meski tetap di gang sempit, tapi mereka bisa beli rumah lebih besar.
Semula Jalan Sudirman-Thamrin dibangun untuk menghubungkan kawasan Medan Merdeka dengan Kebayoran Baru di Jakarta Selatan. Pada 1950-an, Kebayoran Baru masih berstatus kota satelit. Pembangunan ruas jalan sepanjang tujuh kilometer itu selesai pada 1952.
Pada awal 1960-an, pembangunan Jakarta gencar. Salah satunya Gelora Bung Karno sebagai persiapan Asian Games 1962 saat Jakarta menjadi tuan rumah. Jalan yang menghubungkan Jakarta barat ke timur dan utara ke selatan dibangun pada dekade ini.
Presiden Sukarno tak mau ada kemacetan di Jakarta karena menurutnya, itu simbol kerusakan suatu kota. Maka, dibangunlah Bundaran HI untuk memecah kemacetan antara Jalan Sudirman dan MH Thamrin. Di tengahnya berdiri Patung Selamat Datang. Di sekitar Bundaran HI juga dibangun Wisma Nusantara, Hotel Indonesia, dan Sarinah.
Dalam Jurnal PWK yang terbit Desember 1994, Udin Abimanyu, Kepala Dinas Tata Kota Jakarta saat itu, bersama Djoko Sujarto, Dosen Teknik Planologi ITB menulis artikel berjudul Operasionalisasi Rencana Tata Ruang Jakarta, menulis bahwa sebagian besar pembangunan fisik saat itu mengarah ke selatan.
Kami mengumpulkan data gedung-gedung pencakar langit Jakarta, baik yang sudah resmi berdiri ataupun yang dalam proses pembangunan. Dari 2005 sampai 2015, jumlah gedung pencakar langit di Jakarta bertambah banyak.
Dipotret dari langit, wajah Jakarta dulu dan kini banyak berubah. Kami mengolah data Satelit Sentinel untuk melihat bagaimana rupa Jakarta tahun 1970-an dan menemukan satu citra satelit pada 1976.
Saat itu, lahan hijau masih menutupi Jakarta terutama di kawasan barat, timur, dan selatan. Tiga puluh tahun kemudian, lahan-lahan hijau itu tergerus. Lahan hijau di selatan semakin sedikit. Pada 2019, lahan hijau yang sudah sedikit itu tergerus lagi.
==========
Fotografer: Richka Hapriyani
Sumber foto lama: Arsip Nasional Republik Indonesia
Visualisasi dan olah data: Andi Harlan, Louis Lugas, dan Wan Ulfa Nur Zuhra
Liputan ini dibiayai oleh DW Akademie sebagai bagian dari program Dataship.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam