Menuju konten utama

Video Porno Wanita dan Anak-Anak adalah Kekerasan Seksual

Persenggamaan dengan anak di bawah 18 tahun, baik perempuan maupun laki-laki, merupakan pelanggaran hukum di Indonesia.

Video Porno Wanita dan Anak-Anak adalah Kekerasan Seksual
Ilustrasi konten pornografi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sebuah video porno yang melibatkan wanita dewasa dan seorang bocah kembali beredar di media sosial. Dilansir Antara, video ini melibatkan enam pelaku yang kini tengah diproses oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat. Menurut keterangan Kapolda Jawa Barat, Irjen Pol Agung Budi Maryoto, di Bandung, keenam pelaku telah ditangkap pada hari Minggu (7/1) kemarin.

Ada pun pelaku-pelaku yang terlibat memegang peran berbeda: FA sebagai sutradara dan pengambil video, CC perekrut perempuan, IN perekrut anak juga sebagai pemeran perempuan, IM perekrut anak juga sebagai pemeran perempuan, HN perekrut anak juga sebagai pemeran perempuan, dan SU merupakan salah satu orangtua anak.

Video ini dibuat setelah FA mendapat tawaran dari seseorang yang mengaku dari Kanada untuk membuat tayangan persenggamaan dengan anak kecil. Tergiur dengan iming-iming bayaran yang dijanjikan, ia pun mengajak kenalannya untuk mencari pemeran anak kecil, lantas mendokumentasikan adegan mesum wanita dan bocah laki-laki tersebut pada Mei dan Agustus 2017.

Baca juga: Video Porno Anak Bandung Dipesan Orang Kanada

"Salah seorang ibu menyuruh putranya untuk bermain dalam video tersebut padahal sudah menolak, dan akhirnya terpaksa melakukan," imbuh Budi Maryoto.

Pasal Berlapis untuk Pelaku Pornografi Anak

Berbeda dengan kasus pornografi antar-orang dewasa, ada sanksi yang lebih berat yang mesti dihadapi pelaku. Mereka yang dijadikan sasaran sanksi pun lain. Dalam kasus video porno ini, si anak dipandang sebagai korban, sementara orangtuanya turut terseret sebagai tersangka, bersama-sama dengan sutradara dan pemeran-pemeran perempuannya.

Dalam regulasi di banyak negara, persenggamaan dengan anak adalah hal ilegal karena anak dianggap belum paham benar mengenai seksualitas dan mampu memberikan persetujuan (consent). Secara umum, ketiadaan persetujuan dalam persenggamaan ini sama dengan perkosaan.

Kendati dalam video tidak terlihat aksi-aksi koersif, tidak berarti tudingan perkosaan ini gugur lantaran adanya asumsi tadi. Dalam penjelasan mengenai kekerasan seksual terhadap anak, UNICEF pun mendefinisikan eksploitasi seksual dalam prositusi atau pornografi termasuk dalam kategori ini.

Lebih lanjut, seperti dikutip dari Hukum Online, regulasi di negara ini tidak mengenal istilah suka sama suka untuk persenggamaan dan pencabulan pada anak. Meski persengamaan itu dilakukan seolah secara sukarela oleh anak, ia tetap dipandang sebagai korban.

Dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tercantum beberapa pasal yang mengatur tentang hubungan seks dengan anak.

Dalam pasal 67A dinyatakan, “Setiap orang wajib melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi yang mengandung unsur pornografi”. Pasal inilah yang bisa dikenakan kepada orangtua yang tidak menghentikan upaya pembuatan pornografi dengan melibatkan anaknya.

Sedangkan dalam pasal 76E dikatakan, “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

Di samping UU Perlindungan Anak, regulasi lain seperti UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE pun dapat digunakan untuk menjerat pelaku pornografi anak. Setidaknya, ada tujuh pasal dalam UU Pornografi yang mengatur tentang pornografi anak, yakni pasal 4 ayat 1, pasal 11, pasal 12, pasal 15, pasal 16, pasal 37, dan pasal 38. Sementara dalam UU ITE, pelarangan pengunggahan pornografi anak diatur dalam pasal 27 ayat 1, 45 ayat 1, dan 52 ayat 1.

Baca juga: Pedofilia dan Pornografi Anak di Labirin Internet

Mengapa Wanita Dewasa Menyasar Bocah Laki-Laki?

Kasus kejahatan seksual terhadap anak lebih banyak dilaporkan dilakukan oleh laki-laki. Secara sederhana, sebagian orang berpikir ini dikarenakan oleh libido tinggi laki-laki yang tidak bisa ditahan sehingga anak-anak pun menjadi sasaran pelampiasannya.

Namun pada kenyataannya, ada pula perempuan-perempuan yang dikatakan sebagai pelaku kejahatan seksual atau sex offender. Alasan birahi pun bukanlah alasan tunggal yang mendorong dilakukannya pelanggaran hukum ini. Lantas, faktor apa saja yang melatarbelakangi tindakan persenggamaan wanita dewasa dengan bocah laki-laki?

Dalam wawancara dengan CNN tentang orang dewasa yang bersenggama dengan anak kecil, psikoterapis dari South Carolina, Stacey Kaiser, menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena si orang dewasa merasa bocah tidak akan punya kuasa untuk menolak ajakan bersenggamanya.

Selain persoalan relasi kuasa, ada faktor lain di luar seks yang mendorong wanita dewasa memilih bersenggama dengan anak laki-laki.

Hollida Wakefield, peneliti dari Institute of Psychological Therapies di Minnesota berpendapat di ABCNews, “Ada kasus-kasus ketika orang mengalami permasalahan dalam relasi atau perkawinan dan merasa sangat kesepian. Ini yang mendorong mereka menjalin relasi dengan anak-anak, bukan berarti mereka benar-benar terangsang oleh mereka. Ingat bahwa pedofil adalah seseorang yang tergila-gila dengan gagasan terangsang oleh anak di bawah umur.”

Ia menekankan bahwa tidak semua pedofil adalah pelaku kejahatan seksual dan tidak semua pelaku kejahatan seksual merupakan pedofil.

Baca juga: Pedofilia: Sisi Gelap Media Sosial

Motif wanita dewasa yang menyasar anak laki-laki untuk bersenggama juga bisa berasal dari asumsi yang salah mengenai relasi mereka. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak yakin bahwa korban-korbannya menikmati perhatian yang diberikan dan mereka percaya, perbuatannya tersebut dapat diterima. Mereka juga yakin kalau perasaan seksual antara dirinya dan anak adalah mutualisme.

Infografik Seks dengan Anak itu Ilegal

Efek Pornografi bagi Anak yang Terlibat

Dampak pornografi bagi anak yang terlibat boleh jadi belum benar-benar disadari anak pada saat ia mengiyakan direkam. Akan tetapi, hal ini bisa terasa saat ia beranjak dewasa, apalagi sesuatu yang telah tersebar di internet akan sulit dihilangkan. Karenanya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, meminta anak yang terlibat dalam video porno menjalani rehabilitasi. Ia khawatir anak mengalami tekanan psikis, trauma, dan kekerasan seksual pasca-kejadian tersebut.

Sebagai tambahan, UNICEF juga menyebutkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak dapat pula memicu hadirnya stigma, diskriminasi, kesulitan di sekolah, bahkan risiko penyakit fisik tertentu. Efek domino dari hal ini juga bisa dirasakan oleh orang di sekitar anak seperti keluarga dan komunitas tempat ia tergabung.

Kaiser juga menyatakan, efek jangka panjang negatif yang bisa pula dirasakan anak pemeran pornografi dengan wanita dewasa adalah problem dalam relasi. Selain itu, ada pula anggapan yang membuat kondisi psikis anak kian buruk yakni bersenggama dengan wanita dewasa adalah sesuatu yang keren atau bisa meningkatkan penilaian diri anak.

Padahal, anak dapat merasa malu atau tidak nyaman dengan perbuatannya, tetapi tidak bisa mengungkapkan rasa malu ini karena besarnya pengaruh teman-teman yang memiliki anggapan semacam ini.

Baca juga artikel terkait PORNOGRAFI ANAK atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani