tirto.id - Belum lama ini, publik Indonesia dikejutkan dengan berita pengungkapan Official Loly Candy's Groups 18+ di Facebook yang mempromosikan pedofilia. Berbagai konten bermuatan pelecehan dan pencabulan anak beredar dalam grup beranggotakan 7.497 orang tersebut.
Dilansir Antara, Kepada Sub-Direktorat Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Kombespol, Roberto Pasaribu, menyatakan grup tersebut terhubung dengan sebelas grup lain yang terlibat kejahatan terhadap anak di beberapa negara.
Indonesia memang menjadi salah satu negara yang rawan kasus pedofilia. Tak sedikit pula pelaku berasal dari luar negeri. Bahkan dalam laporan KPAI di situsnya, Indonesia menjadi incaran warga asing yang mencari kepuasan seksual dari anak-anak. Sekretaris KPAI, Erlinda, menyatakan, para turis kerap menutupi operasi kegiatan (pedofilia) mereka dengan sangat rapi. Erlinda menunjuk beberapa wilayah, misalnya Sumatera, Cianjur, Semarang, Solo, Palu, dan Bali sebagai titik-titik paling sering disasar oleh turis pedofil dengan target anak usia 4-8 tahun dan remaja 9-15 tahun.
Dalam kasus grup pedofil di Facebook ini, empat admin yang semuanya berusia di bawah 30 tahun telah berhasil dibekuk polisi. Menurut laporan Kompas, mereka dijerat dengan pasal berlapis Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Saat kasus ini terungkap, sebanyak 500 video dan 100 foto berkonten kekerasan terhadap anak ditemukan dalam grup tersebut.
Tak cuma tindakan hukum yang diambil aparat untuk menanggapi kasus kriminal terhadap anak ini, sanksi sosial pun terus menghujani salah satu grup pedofilia di internet ini. Sebagian besar netizen mengungkapkan kemarahan dan hujatannya saat petikan-petikan komentar dalam Official Loly Candy’s Group 18+ dan akun Facebook pribadi Wawan—salah satu administrator yang telah diamankan polisi—menjadi viral di dunia digital.
Netizen berkomentar, misalnya, “Semoga mereka dikena karma dari Allah...dapat azab yang pedih karena mereka bukan manusia tapi mereka melebihi binatang yang buas,” atau “Jadiin viral aja biar tau rasa… kalaupun maksud dia cuma joke, joke-nya gak pantas.”
Mengenal Pedofilia Lebih Jauh
Perdebatan mengenai pedofilia dari sisi yang membela dengan alasan hak seksualitas seseorang versus sisi yang melarang karena pertimbangan moral dan keselamatan anak seolah tidak kunjung berakhir sejak beberapa dekade silam. Orang kerap keliru memahami pedofil. Pedofilia kerap dianggap sebagai kelainan jiwa yang pasti membahayakan orang lain atau pedofil pasti bertindak kriminal terhadap anak-anak. Nyatanya tak serta merta demikian.
Pedofilia merupakan sebuah parafilia, yakni kondisi hasrat dan pemenuhan seksual seseorang bergantung pada tindakan yang dikategorikan tidak normal dan ekstrem. Menurut situs Psychology Today, seseorang mengidap pedofilia ketika ia tertarik kepada anak-anak yang belum akil balig atau di bawah 13 tahun.
Definisi dari The Sex Offender Act yang diterapkan di Amerika pada 1997 menyebut pedofilia merupakan hubungan seksual antara orang berusia di atas 18 tahun dengan anak-anak di bawah 16 tahun. Kebanyakan pedofil merupakan laki-laki yang dapat tertarik kepada sesama maupun lawan jenis.
Menurut tulisan pada Huffington Post, sejak 2013 American Psychiatric Association (APA) telah memperbarui kategorisasi pedofil dalam DSM V yang menjadi buku pegangan para psikolog dalam mendiagnosis kondisi mental seseorang. Terdapat perbedaan antara mereka yang berhasrat kepada anak-anak dengan mereka yang melakukan tindakan berdasarkan hasrat tersebut.
Orang-orang yang sebatas berhasrat kepada anak-anak saja tidak lagi dikategorikan memiliki problem psikis yang membahayakan bagi diri sendiri maupun orang lain, sebagaimana tercantum dalam DSM yang diperbarui. Seseorang baru dikatakan memiliki pedophilic disorder begitu tindakan dilakukan berdasarkan hasrat tersebut.
Mulanya, APA mengategorikan pedofilia sebagai orientasi seksual, yakni kecenderungan seseorang untuk terangsang secara seksual oleh orang lain seperti homoseksual atau heteroseksual. Namun kini, APA memandang lebih tepat mengatakan pedofilia sebagai bentuk ketertarikan seksual semata.
Laporan The Guardian menulis bahwa tidak semua pedofil merupakan penyerang anak dan begitu pun sebaliknya. Sejumlah pakar menyatakan, hanya 20 persen orang yang sungguh-sungguh pedofil yang melakukan kekerasan seksual. Sementara di LA Times dinyatakan, berdasarkan studi, separuh pelaku kekerasan terhadap anak tidak benar-benar tertarik secara seksual kepada korbannya. Mereka kerapkali memiliki kelainan kepribadian lain dan menyerang anggota keluarga sendiri.
Dr. Fred Berlin, psikiater yang mengepalai John Hopkins Sexual Behaviors Consultation Unit, menyatakan kepada media tersebut bahwa sebagian pedofil merupakan orang-orang baik yang tengah berjuang menghadapi kondisinya. “Mereka adalah jiwa-jiwa tersiksa yang mati-matian berupaya tidak melakukannya [hubungan seks dengan anak kecil],” imbuh Berlin.
Lebih lanjut, profesor bidang Hukum dari Rutgers University Camden, Margo Kaplan, menulis di The New York Times bahwa terdapat situs seperti Virtous Pedophiles yang memberikan dukungan terhadap pedofil yang tidak melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak dan tetap percaya bahwa berhubungan badan dengan mereka adalah salah.
Dalam situs tersebut, dimuat sederet testimoni dari orang-orang yang bersumpah tidak akan menyentuh anak kecil sekalipun harus berjibaku dengan teror sepanjang hidup mereka. Risiko kehilangan pekerjaan dan pendidikan menuntut para pedofil untuk menutupi kondisi mereka dari orang-orang. Tak pelak, rasa terisolasi pun kerap mereka alami, bahkan muncul pula keinginan bunuh diri.
Ketika Pedofilia Dilekatkan dengan Kriminalitas
Sejauh tak diejawantahkan di kehidupan nyata, pedofilia dianggap belum membahayakan. Ia menjadi masalah ketika melibatkan anak kecil dalam hubungan badan dengan orang dewasa. Argumen pertama yang menentang aktivitas seksual orang dewasa-anak adalah tidak adanya kesepakatan atau consent antara dua belah pihak. Bagaimana bisa dikatakan demikian?
Sebelumnya, penting dipahami pengertian dari consent. Dalam situs Sexual Assault Prevention and Awareness Center University of Michigan disampaikan bahwa consent merupakan persetujuan jelas dan tidak ambigu atau izin yang diekspresikan melalui kata-kata atau tindakan yang dapat dimengerti untuk melakukan aktivitas tertetu. Consent tidak berlaku dalam kondisi seseorang yang terancam secara psikologis maupun fisik dan hanya bisa diterapkan pada mereka yang dianggap ‘mampu’.
Salah satu kata kunci dalam consent atau persetujuan adalah adanya tanggung jawab dari setiap pihak yang membuat kesepakatan, termasuk dalam kegiatan seksual.
Dalam hasil penelitiannya yang bertajuk “What Is Really Wrong with Pedophilia,” Robert Ehman (2000) memaparkan sejumlah pendapat yang menyatakan anak kecil belum mampu membuat persetujuan terkait interaksi seksual sebagaimana orang dewasa. Ehman mengutip pemikiran Primoratz bahwa anak kecil diasumsikan belum dapat membuat kesepakatan dalam interaksi seksual lantaran kurangnya pengetahuan tentang aspek fisik, psikologis, dan sosial dari hubungan badan.
Apa yang termasuk kegiatan seksual belum tentu dipahami betul oleh anak kecil. Mereka juga diasumsikan belum mempunyai kebebasan, baik secara finansial maupun sosial, dan senantiasa menjadi ‘tahanan’ dari orang dewasa. Ketiadaan persetujuan yang berarti adanya tuntutan dari satu pihak sajalah yang membuat tindakan seksual terhadap anak kecil oleh orang dewasa dikategorikan sebagai suatu kejahatan.
Kian Problematik Karena Menghuni Media Sosial
Kemarahan publik terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak makin menjadi ketika hal ini difasilitasi internet. Apa pun yang pernah dipublikasikan di internet akan sulit sekali untuk dihapus dan masih bisa diakses sewaktu-waktu oleh para netizen. Inilah yang menjadi salah satu kecemasan publik yang peduli terhadap anak-anak yang profilnya pernah tercantum dalam situs-situs pornografi anak.
Saluran yang dipakai untuk memproduksi dan mendistribusikan pornografi anak pun tak hanya Facebook seperti Official Loly Candy’s Group 18+ ini. Banyak sekali saluran lain di dunia digital yang dimanfaatkan para pelaku kejahatan seksual terhadap anak seperti situs khusus, melalui web cam, e-mail dan mailing list, bulletin board system, chat room, dan peer to peer.
Situs Parent Herald mengutip data dari The National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC) yang menunjukkan terdapat 3.186 laporan kejahatan seksual terhadap anak-anak di bawah umur di Inggris dan Wales. Mayoritas korban berusia 13 tahun, 272 orang berusia di bawah 10 tahun dan korban termuda berumur setahun. Selain itu, NSPCC juga menemukan fakta bahwa dalam satu hari terdapat delapan kejahatan seksual dilakukan via online oleh para pedofil.
Bentuk kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan pedofil secara online termasuk mengancam anak-anak untuk menemui mereka atau memperlihatkan perilaku seksual provokatif menggunakan webcam. Hal ini merupakan labirin bagi para korban: sekali mereka memenuhi keinginan pengancam untuk mengirimkan gambar tidak senonoh, mereka akan terus diminta berbuat demikian, bahkan diminta membagi gambar yang jauh lebih vulgar. Kejahatan seksual terhadap anak dapat berlangsung lebih jauh lagi ketika kedua pihak berkontak fisik dan pada akhirnya didokumentasikan dan disebarluaskan di internet.
Komisioner anak di Inggris, Anne Longfield berpendapat, data yang disuguhkan oleh NSPCC bisa saja hanya puncak gunung es. Ia berasumsi, banyak korban yang tidak melaporkan kasus-kasus mereka karena tidak begitu paham mengenai tindak kriminal yang menimpanya atau takut menghadapi konsekuensi di kemudian hari.
Sejumlah cara dapat dilakukan orangtua atau orang dewasa untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual melalui internet. Selain memasang filter dan blocker saat anak kecil mulai mengakses internet, orangtua perlu memiliki pengetahuan dasar seputar komputer dan internet.
Menjadi orang yang peka terhadap keadaan anak juga penting untuk mencegah tindak kriminal ini. Jika anak menunjukkan gelagat tidak biasa setelah beraktivitas di dunia digital, orangtua dapat mendekati mereka dan mencari tahu apa yang sebenarnya tengah mereka alami.
Pada saat anak mengenal internet, orangtua juga idealnya mengajarkan informasi mana yang pantas dan tidak disebarkan di sana. Semakin banyak sisi privat yang mereka ungkapkan, semakin besar risiko buruk yang bisa terjadi kepada mereka di masa depan, termasuk yang datang dari predator online.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani