tirto.id - Majalah The Economist memasukan Indonesia ke dalam daftar negara yang baru akan berhasil memvaksin 60-70 persen warganya pada tahun 2023. Klasifikasi ini adalah yang paling bontot dari tiga lainnya yang memprediksi vaksinasi mayoritas penduduk dapat rampung per akhir 2021, pertengahan 2022, atau akhir 2022.
Prediksi Economist Intelligence Unit (EIU) meletakkan Indonesia setara dengan nasib yang dialami Filipina, Myanmar, Laos sampai Papua Nugini. Di luar itu, kelompok ini juga mencakup kebanyakan negara berpendapatan menengah rendah di Timur Tengah dan Afrika yang bergantung sepenuhnya pada vaksin gratis COVAX hasil kolaborasi WHO dan lembaga donor.
Menurut pemodelan EIU, vaksinasi bagi kelompok rentan diprediksi selesai selambat-lambatnya April 2022 dan sisa populasi lainnya selambat-lambatnya tahun 2023. Jika vaksinasi selesai Desember 2023, maka normalisasi dimulai awal tahun 2024.
Keadaan ini lebih buruk dari negara tetangga RI seperti Malaysia dan Thailand hingga Cina yang mampu beres akhir 2022 dan memulai normalisasi awal 2023. Negara seperti Amerika Serikat dan Eropa diperkirakan bisa menyelesaikan vaksinasi 60-70 persen penduduk per akhir 2021 dan memulai normalisasi awal 2022.
Dalam penjelasannya, EIU memperhatikan sejumlah faktor seperti rendahnya kualitas fasilitas kesehatan, minimnya tenaga kesehatan, sampai absennya lemari pendingin yang vital bagi penyimpanan vaksin. Belum lagi sejumlah produsen vaksin seperti Pfizer dan AstraZeneca beberapa kali melaporkan potensi keterlambatan pengiriman vaksin.
Jumlah penduduk juga ikut menjadi faktor seberapa cepat vaksinasi bisa dilakukan. Hal ini membuat negara seperti Malaysia yang program vaksinasinya lebih terlambat bisa selesai lebih awal dari Indonesia.
Ekonomi RI Bakal Gagal Tumbuh?
Menteri Keuangan Periode 2013-2014 Muhammad Chatib Basri menilai kondisi ini perlu diwaspadai lantaran keterlambatan vaksinasi akan berimplikasi pada tertinggalnya negara yang bersangkutan dari negara lain sudah mulai menormalisasi aktivitas ekonominya. Hal ini tidak bisa dihindari karena dunia sepakat vaksin adalah “game changer” mengatasi pandemi sehingga ekonomi dapat kembali berjalan.
Risiko semakin besar lantaran negara yang akan pulih lebih awal didominasi negara maju dan kaya karena menurut EIU vaksinasi mereka rampung akhir 2021. Pada kasus AS, normalisasi yang terjadi dikhawatirkan memicu terulangnya “taper tantrum” tahun 2013. Bila Indonesia masih belum pulih saat itu terjadi, maka dampaknya akan cukup parah.
“Itu kenapa kita harus memulihkan ekonomi lebih cepat dari negara lain,” ucap Chatib dalam Mandiri Investment Forum, Rabu (3/2/2021).
Menurut IMF, taper tantrum merupakan keadaan ketika pulihnya aktivitas ekonomi AS diikuti normalisasi kebijakan moneternya seperti kembali menaikan suku bunga acuan The Fed. Pelaku pasar biasanya merespons dengan beramai-ramai memindahkan modalnya ke AS karena suku bunga lebih tinggi.
Imbasnya, dollar AS akan menguat dan mengganggu stabilitas nilai tukar negara-negara lain yang dapat mengganggu aktivitas ekonomi. Suku bunga utang pemerintah ikut terkerek naik sehingga menambah beban keuangan negara dunia sekaligus menyebabkan opsi pembiayaan menjadi mahal juga terbatas.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan keterlambatan vaksinasi punya potensi membuat pandemi semakin lama berlangsung. Hal ini dikhawatirkan semakin membuat masyarakat enggan meningkatkan konsumsinya padahal komponen itu menyumbang 57 persen PDB RI.
Dus, pertumbuhan ekonomi RI akan terus tertekan. Meski tetap tumbuh, nilainya masih akan sulit mencapai 5 persen sekalipun.
“Artinya pertumbuhan ekonomi akan stagnan, pemulihan akan jauh lebih lama lagi,” ucap Tauhid kepada Tirto saat dihubungi, Jumat (5/2/2021).
Tidak berhenti di situ, gagal kembali tumbuh 5 persen selekas mungkin membuat Indonesia semakin rentan jatuh dalam jebakan negara berpendapatan menengah.
Menurut pemodelan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia dapat keluar dari jebakan itu selekasnya tahun 2039 jika mampu konsisten tumbuh 7 persen per tahun dan 2042 jika 6 persen per tahun. Jika pertumbuhan 5 persen bahkan kurang, maka target negara maju 2045 praktis meleset dan jebakan kelas menengah semakin sulit dihindari.
Gagal tumbuh sesuai target juga membuat Indonesia semakin rentan kehilangan kesempatan memanfaatkan bonus demografi alias tingginya penduduk usia produktif (15-64 tahun). BPS mencatat, bonus ini terbuka mulai 2012 dan akan berakhir pada tahun 2036.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal pun mendesak pemerintah untuk segera membereskan kendala distribusi vaksinasi demi mencegah efek lebih buruk pada ekonomi. Faisal menilai hal ini harus segera dibereskan agar jerih-payah pemerintah mengunci pasokan vaksin tidak sia-sia.
“Jadi perlu dibenahi efektivitas dari pada birokrasi dan institusi serta kecepatan dalam menjalankan vaksinasi masal ini,” ucap Faisal kepada Tirto saat dihubungi, Jumat (5/2/2021).
Penulis: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Editor: Restu Diantina Putri