tirto.id - "Saya tidak terlalu yakin bahwa mereka masuk ke ISIS. Kalau mau jihad, pasti tidak bawa anak atau istri macam-macam."
Secara skeptis Wakil Presiden Jusuf Kalla masih ragu ada 16 WNI yang bergabung ke Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) saat mereka dikabarkan "hilang" tatkala berlibur ke Istanbul, Turki, pada Februari 2015.
Kelak kesangsian Kalla keliru. Rombongan itu memang bergabung ISIS. Di antara mereka ada keluarga kecil Utsman Mustofa Mahdamy, bersama istrinya, Sakinah Syawie, dan bayi mereka berumur 9 bulan.
Di tengah reruntuk kejatuhan teritorial ISIS di Irak dan Suriah, satu keajaiban berdesing saat keluarga kecil itu ternyata masih hidup. Tetapi, hidup mereka terkatung-katung di Suriah.
Dipandu Hafid & Fauzi
Ke-16 WNI yang dikabarkan "hilang" di Turki itu meliputi delapan orang dewasa, lima anak-anak, dan tiga bayi.
Selain keluarga Utsman, ada pasangan Hafid Umar Babher dan Sorayah Cholid; serta Jusman Ary Sandy dan Ulin Isnuri. Hafid berasal dari Solo, sementara Jusman dari Surabaya.
Dua orang dewasa lain adalah Fauzi Umar Salim, kakak dari Hafid; dan Salim Muhamad Attamimi, teman Utsman dan Jusman.
Azmi Syawie, adik kandung Sakinah, berkata kepada Tirto bahwa nama-nama dalam rombongan itu tak asing baginya. Selain masih kerabat jauh, mereka sering berkunjung ke rumah Utsman di daerah Ampel Cempaka, Surabaya.
Mantan Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal secara tersirat pernah menyebut dua orang dari rombongan itu berafiliasi dengan ISIS.
Dua orang itu adalah Hafid dan Fauzi, yang terafiliasi dengan Tim Hisbah Mojosongo Solo. Nama mereka pernah disebut dalam berita acara perkara Ibbadurahman alias Ibad.
Ibad adalah pemimpin dari kelompok yang merencanakan serangan terorisme di Pasar Kliwon, gereja, dan kuil di Kepunten, Solo, tepat di hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2015.
Ibad dikabarkan kenal dekat dan jadi murid kesayangan Bahrun Naim sebab pandai merakit bom. Bahrun Naim adalah salah seorang petinggi ISIS kelahiran Pekalongan, yang mengendalikan jaringan terornya di Indonesia dari Suriah. Ia diduga terlibat dalam serangan bom Thamrin pada 2016 dan diduga tewas di Suriah pada 2018.
Posisi Hafid dan Fauzi dalam jejaring itulah yang memimpin rombongan tersebut ke Suriah. Namun, nasib tragis menimpa Fauzi. Baru menyeberang dari wilayah Turki dan menuju Raqqa, pusat birokrasi ISIS, ia tewas terkena ranjau. Nasib sama juga menimpa Salim yang tewas tak lama setelah masuk ke wilayah Suriah.
Bekerja di Bagian Komunikasi ISIS
Utsman Mustofa Mahdamy, salah satu rombongan itu, berasal dari keluarga Arab-Ampel, Kota Surabaya. Ia lahir di Surakarta tahun 1990, menikah dengan Sakinah Syawie, perempuan kelahiran tahun 1993 dari Surabaya.
Utsman lulusan IT dari salah satu universitas swasta terkenal di Bandung. Ia melanjutkan studi magister di Universitas Bina Nusantara di Jakarta. Ia dianggap pemuda cerdas. Saat lulus, ia langsung diterima bekerja di Telkom, salah satu perusahaan telekomunikasi bonafide di Indonesia.
Orangtua dia sebetulnya melarangnya bekerja di perusahaan karena mengharapkan dia mengurusi bisnis keluarga. Ayahnya, Mustofa Mahdamy, memiliki bisnis percetakan dan kain di Solo dan Surabaya.
Namun, ketimbang meneruskan bisnis keluarga, Utsman malah bergabung ISIS—keputusan yang sangat mengagetkan ayahnya dan kelak disesali oleh Utsman sendiri.
Birokrasi ISIS mewajibkan setiap orang dewasa yang tinggal di wilayah kekuasaannya mengikuti id’ad atau pelatihan militer. Utsman memilih jalan sebagai kombatan saat tiba di Raqqa, ibu kota kekhalifahan ISIS. Karena kapasitas keilmuannya sebagai ahli IT, Utsman mendapatkan posisi spesial dalam militer ISIS. Ia diberi peran sebagai pengendali pemancar radio. Dalam kondisi perang, peran Utsman amat vital. Nyaris semua informasi di medan tempur didengar olehnya.
Di Suriah, ia dipanggil Abu Tsabitah atau 'Ayahnya Tsabitah'—merujuk nama putrinya. Di Islam, budaya pemberian nama ini disebut kunyah dan bagian dari sunah. Putrinya masih bayi saat keluarga ini datang ke Suriah. Keluarga ini juga kelak memiliki putra yang lahir pada 2017. Dalam dokumen yang dipegang redaksi Tirto, baik Sakinah dan kedua anaknya kini tinggal di kamp pengungsian di daerah otoritas pemerintahan Rojava-Kurdi.
Pada 2015 saat kedatangan Utsman dan istri dan putrinya itu, ISIS masih menjadi organisasi terorisme paling sukses dan ambisius di dunia. Para kombatan berpenampilan kucel merayap dari padang gurun dan mendirikan sebuah negara yang tak diakui oleh siapa pun kecuali mereka sendiri. Teritorial ISIS pada awal berkuasa seluas negara Inggris Raya atau dua kali luas Pulau Jawa, dengan jumlah penduduk sekitar 12 juta orang.
Namun, kehidupan mereka berubah sejak awal 2017. Satu per satu wilayah kekuasaan ISIS jatuh, para pengikutnya terusir dari Mosul dan Raqqa, digempur lewat serangan udara dan darat oleh Pasukan Koalisi dan para milisi Kurdi. Puncaknya, pada akhir Maret lalu, benteng terakhir mereka di Baghouz resmi dikuasai oleh otoritas setempat, mengakhiri petualangan Daulah Islamiyah di bawah Bendera Hitam ISIS.
Kondisi ISIS yang semula kuat lalu mengendur dan terdesak dan kembali menjadi organisasi tanpa pemerintahan bisa kita baca dari pengalaman Utsman lewat korespondensi yang dia sampaikan ke keluarganya di Indonesia.
Azmi Syawie, adik kandung Sakinah, istri Utsman, berkata kepada Tirto bahwa keluarga itu selalu memberi kabar sejak bermukim di wilayah ISIS. Namun, intensitas komunikasi itu semakin berkurang sejak awal 2017.
"Awal 2017 sempat kontak. Namun setelah itu selalu jeda sebulan. Sampai kemudian tiga bulan jedanya dan tak ada kabar dari mereka,” kata Azmi kepada Tirto.
Pada 20 Oktober 2017, Raqqa jatuh ke tangan Pasukan Koalisi-Kurdi. Para simpatisan dan kombatan ISIS mengemasi nyawa ke arah tenggara menuju kota kecil di tepi Sungai Efrat di perbatasan Irak-Suriah bernama Abu Kamal.
Dalam keadaan genting itulah muncul friksi antara Utsman dan Hafid Umar Babher, orang yang memandu dia ke Suriah.
Utsman, yang menyimak situasi pemerintahan dan medan perang ISIS lewat pemancar radio yang menjadi tugasnya selama di Suriah, menyadari bahwa apa yang dia perjuangkan bersama ISIS ternyata omong kosong belaka.
“Dari situ dia mendengar dan akhirnya tahu informasi bahwa ISIS itu ternyata seperti apa,” ujar salah satu kerabatnya yang pernah diceritakan oleh Sakinah, istri Utsman.
'Dikafirkan' karena Membelot dari ISIS
Utsman mengeluhkan keadaan moral pemerintahan ISIS. Ia dalam situasi psikologis yang limbung: apakah mau mempertahankan atau memilih menyerah.
Saat Raqqa jatuh, alih-alih mengikuti anjuran pindah ke wilayah ISIS, Utsman lebih memilih kabur dari ISIS dan menyerahkan diri pada pasukan Kurdi di luar Kota Raqqa pada Desember 2017. Selain mengajak istri dan anaknya, ia berusaha membujuk Hafid Umar Babher untuk turut serta.
Hafid menolak. Ia malah menyudutkan Utsman sebagai pembangkang dan pengkhianat dan menyebutnya "kafir".
Sifat loyal Hafid ke pemimpin Abu Bakar Al-Baghdadi, pendiri ISIS, dilakoninya sampai akhir hayat. Hafid tewas saat ISIS mempertahankan wilayah terakhirnya di Baghouz pada awal Maret lalu. Kabar kematiannya dibenarkan oleh kakaknya, Muhammad Arif, saat ditemui Tirto di Solo, awal April lalu.
Pasukan milisi Kurdi memisahkan antara kombatan dan keluarganya. Utsman dikurung di penjara Al-Malikiyah, pusat distrik pemerintahan Kota Hasakah. Sementara istrinya, Sakinah dan kedua anaknya, ditempatkan di kamp pengungsian al-Roj, sebelah utara perbatasan Irak, yang hanya berjarak dua desa dari penjara tempat Utsman ditahan.
Media-media internasional menulis kamp pengungsi keluarga ISIS dan penjara para kombatan ISIS itu adalah kantong-kantong manusia yang kini diabaikan oleh dunia luar.
Menyesal dan Minta Perlindungan Pemerintah Indonesia
Pada akhir Februari 2018, usai hilang kontak, Utsman kembali mengirim kabar kepada keluarganya di Indonesia. Kali ini pesan itu bukan lagi lewat WhatsApp atau Telegram seperti biasanya. Ia mengirim secarik kertas yang difasilitasi lembaga kemanusiaan internasional.
Kami mendapatkan salinan surat itu. Surat itu ditujukan kepada ayahnya, Mustofa Mahdamy.
“Aku benar-benar menyesal, dan ini adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. [..] Aku benar-benar tertipu,” tulis Utsman dalam surat bertanggal 25 Februari 2018.
“Allhamdulillah, Allah telah menyadarkan aku. Dan aku sekarang ingin memperbaiki kesalahan aku. Oleh karena itu aku menyerahkan diri kepada pihak yang berwenang. Dan aku siap menjalani hukuman.”
Dalam surat itu, Utsman bersedia bekerja sama dengan pihak keamanan di Indonesia untuk membongkar jejaring kelompok ISIS. Dengan tawaran ini, ia berharap pemerintah Indonesia mau memulangkannya dari Suriah.
“Dan aku minta tolong untuk Baba agar menghubungi kedutaan dan Kementrian Luar Negeri, atau pihak yang berwenang dari pemerintah Indonesia agar mereka membantu memulangkan aku dan keluargaku ke Indonesia. Dan aku siap menjalani hukuman atas kesalahanku. Dan aku siap bekerja sama dengan pemerintah Indonesia.
Aku hanya ingin menjalani hidupku seperti dahulu, hidup bersama Baba dan mama dan keluarga. Juga kembali ke masyarakat dan teman-teman terdahulu. Aku berharap masih bisa kembali ke Indonesia dan bertemu lagi Baba dan semuanya. Walaupun semua itu dari balik jeruji penjara Indonesia
Jangan lupa doakan kami. Aku tunggu balasan surat ini."
Utsman tak pernah menerima kabar balasan dari ayahnya. Mustofa membaca surat itu tapi sepertinya tak berniat memulihkan jembatan keluarga yang sudah dihancurkan Utsman. Ayahnya masih terpukul sekalipun keputusan putra sulungnya telah tiga tahun berlalu.
“Saya sudah tahu," ujar Aisyah Mahdamy di Solo saat Tirto bertanya soal surat yang dikirim kakaknya. "Waktu itu bapak memberi tahu kepada keluarga, 'Utsman baik-baik saja'.”
Sejak kepergian Utsman, Mustofa enggan menyebut nama anaknya, apalagi membicarakannya. Pihak keluarga menolak bercerita mengenai kabar Utsman. “Kami menunggu keputusan pemerintah,” kata Aisyah.
Di penjara, Utsman memohon. Ia tanpa henti menitipkan pesan lewat keluarga istrinya di Surabaya agar orangtuanya di Solo mau membuka pintu maaf.
Namun, secuil harapan besar Utsman untuk kembali berjumpa sang ayah tak akan pernah terwujud. Mustofa meninggal dunia pada Ramadan tahun lalu.*
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan & Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam