tirto.id - Gelombang kematian tenaga kesehatan (nakes) karena COVID-19 belum juga berhenti sepanjang enam bulan lebih masa pandemi di Indonesia. Organisasi profesi hingga tokoh masyarakat mendesak pemerintah melakukan upaya konkret membendung fenomena ini.
Presiden Joko Widodo telah angkat bicara tentang persoalan ini. Melalui Twitter, Senin (14/9/2020), Jokowi memerintahkan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan.
“Saya telah memerintahkan Menteri Kesehatan untuk segera melakukan audit dan koreksi mengenai protokol keamanan untuk tenaga kesehatan dan pasien di seluruh rumah sakit. Rumah sakit harus menjadi tempat yang aman dan tidak menjadi klaster penyebaran COVID-19,” kata Jokowi.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemkes) Azhar Jaya mengatakan upaya menjamin keselamatan nakes sebenarnya sudah dilakukan sejak awal.
“[Yang sudah dilakukan pemberlakuan] SOP pelayanan pasien COVID-19, standardisasi APD, protokol pengendalian dan pencegahan infeksi di ES, penerapan social distancing di rumah sakit, dan lain-lain,” kata Azhar saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (15/9/2020).
Meski demikian, Azhar mengatakan Kemkes tetap menanggapi permintaan Presiden dengan membahas langkah-langkah apa saja yang dapat dilakukan.
Dalam acara ‘Doa Perawat untuk Negeri’ yang diadakan secara online, Selasa (15/9/2020), Menkes Terawan mengatakan banyaknya nakes meninggal terpapar saat penanganan COVID-19 membuktikan bahwa kerja mereka sangat berisiko. Untuk mengatasi itu, kata dia, kuncinya adalah “disiplin, disiplin, dan disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan” dalam setiap tindakan.
Bentuk Komite Khusus Lintas Sektor
Ketua Terpilih Perhimpunan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengonfirmasi hingga 13 September 2020 terdapat 115 dokter meninggal karena COVID-19. Rinciannya, 60 dokter umum, 53 dokter spesialis, dan dua dokter residen. Ada tujuh dokter yang menyandang gelar guru besar atau profesor.
Banyaknya kematian dokter ini, menurut Adib, juga akan menyebabkan banyak masyarakat tak terlayani. Sebab faktanya persentase dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk (empat dokter melayani 10 ribu orang). Rasio dokter spesialis juga rendah, sebesar 0,13 per 1.000 penduduk. Selain itu, distribusi tenaga medis dan tenaga kesehatan juga terkonsentrasi di Jawa dan kota-kota besar.
“Kematian dokter yang saat ini sebanyak 115 dokter dengan asumsi 1 dokter melayani 2.500 maka menggambarkan rakyat Indonesia sebanyak hampir 300 ribu akan kehilangan pelayanan dari dokter, begitu juga dengan meninggalnya dokter gigi dan perawat,” kata Adib, Senin (14/9/2020).
Oleh karena itu ia mendesak agar pemerintah melakukan langkah konkret untuk menghentikan kematian nakes akibat COVID-19. “Perlu ketegasan pemerintah untuk membuat langkah-langkah konkret dalam upaya perlindungan dan keselamatan bagi para dokter dan tenaga kesehatan lainnya,” ujarnya.
Upaya konkret yang bisa dilakukan pemerintah, menurut Adib, adalah dengan membentuk Komite Nasional Perlindungan dan Keselamatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan. Komite itu bertugas mengintegrasikan seluruh stakeholder kesehatan untuk fokus dalam upaya perlindungan dan pengawasan.
Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah mengatakan komite ini tidak hanya sekadar perlu dibentuk, tapi dipastikan berada di bawah Kemkes atau Satuan Gugus Tugas (Satgas) COVID-19. Berada langsung di bawah instansi yang berwenang menangani pandemi penting agar komite memiliki otoritas untuk melakukan penyelidikan dan investigasi terkait penyebab tenaga kesehatan terpapar virus bahkan sampai meninggal dunia.
“Selama ini kami sulit untuk investigasi teman-teman yang wafat karena keterbatasan akses. Lalu [jika] ada komite, kami memiliki otoritas untuk mendapatkan akses dan data sampai detail,” kata Harif kepada reporter Tirto, Rabu (9/9/2020)
PPNI mencatat hingga 31 Agustus 2020 terdapat 59 anggotanya yang meninggal karena COVID-19.
Jika memang tidak membentuk komite, ia meminta pemerintah melakukan upaya-upaya yang jelas untuk melindungi tenaga kesehatan. Misalnya, mempekerjakan hanya tenaga kesehatan yang dalam kondisi prima dan tidak memiliki penyakit tertentu. Tenaga kesehatan yang bekerja maksimal berusia 50 tahun.
Perhatian ke Nakes Sifatnya Urgen
Desakan tak hanya datang dari organisasi profesi. Tokoh masyarakat, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif juga mendesak agar Presiden segera mengambil langkah menghentikan gelombang kematian nakes.
Buya Syafii menuliskan pesan kepada Presiden. “Yml. Presiden Republik Indonesia. Sebagai salah seorang yang tertua di negeri ini, batin saya menjerit dan goncang membaca berita kematian para dokter yang sudah berada pada angka 115 pagi ini plus tenaga medis yang juga wafat dalam jumlah besar pula," tulis Syafii dalam keterangan tertulis, Minggu (13/9/2020).
"Pak Presiden, mohon diperintahkan kepada Menteri Kesehatan dan jajarannya untuk berupaya semaksimal mungkin menolong nyawa para dokter ini. Jika begini terus, bangsa ini bisa oleng karena kematian para dokter saban hari dalam tugas kemanusiaannya di garis paling depan. Terima kasih Pak Presiden."
Erik Tauvani, asisten pribadi Buya Syafii, mengonfirmasi “Buya mengirimkan langsung pesan itu ke Presiden.” “Lalu dibagikan ke kawan-kawan agar sama-sama menjadi pengingat bersama bahwa wabah ini berbahaya dan kita turut membantu nakes,” ujarnya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri